Sabtu, 05 November 2016

Aksi 4 November 2016 : Sebuah Sejarah

Oleh: Gurnadi R.

".......And if you can't help them, at least don't hurt them." -Dalai Lama-

Aksi 4 november 2016 merupakan respon umat islam atas pernyataan gubernur non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok. Pak Ahok dianggap menistakan agama, ketika sedang melakukan kunjungan dinas di kepulauan seribu. Diperkirakan hampir 200.000 demonstran memenuhi ring satu RI. Dalam agenda aksinya, demonstran melakukan longmuch dari Patung Kuda menuju Istana RI. Demonstran tidak hannya berasal dari Jakarta, tapi juga dari berbagai daerah seperti: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra, dan Nusatenggara. 

Aksi 4 november, tersebut menunjukan bahwa solidaritas keagamanan tidak hannya ditingkat lokal (jakarta) dan elit (pemuka agama), tetapi juga muslim secara keseluruhan (apapun latar belakang sosial-ekonomi). Jika dilihat kacamata positif, hal ini tentu bisa menjadi kekuatan di masa mendatang, tinggal bagaimana negara dan organisasi terkait menata menjadi gerakan yang konstruktif dan positif. Kecepatan dan kepekaan negara menangkap situasi ini, tentu menetukan kesatuan bangsa kedepan.

Menanggapi aksi damai yang dilakukan pada 4 november, para pendukung Ahok memberi pukulan balik,  bentuknya bermacam-macam. Saling serang antar kelompok kepentingan ini, meningkatkan ketegangan di Ibu kota selama beberapa pekan. Tidak jarang kata-kata yang tidak pantas keluar dari kedua belah pihak.

Di sosial media, sekali nada-nada sinis dan propokatif muncul, baik dalam bentuk kalimat atau meme (gambar). Pendukung Ahok menuduh bahwa gerakan 4 november sebagai gerakan nasi bungkus atau rasis, hal tersebut tentu memperkeruh kondisi yang berakibat pada ketegangan keagamanan. Pendukung aksi 4 november juga melakukan serangan balik dengan kalimat yang dapat mengikis rasa toleransi, dan tidak jarang menghujat keimanan pendukung setia Ahok.

Untuk meng-counter pihak yang menuduh gerakan 4 november dengan membabi buta, saya membagi 3 tipologi demonstran yang mengikuti aksi tersebut berdasarkan motifnya. Tipologi pertama adalah demonstran yang melakukan aksi karena didorong oleh kesolehan sosial sehingga aksi 4 november sebagai misi dari perjuangan menegakan nilai-nilai agama dan keadilan hukum. Tipologi kedua adalah demonstran yang melakuan aksi karena didorong oleh kepentingan politik, hal ini digunakan untuk meningkatkan citra atau misi yang berkaitan dengan tujuan jangka pendek atau panjang (pribadi), hal ini bisa kita lihat dari beberapa demonstran yang memiliki atribut kekuasaan yang mengikuti aksi damai 4 november. Tipologi ketiga adalah demonstran yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan politik atau semangat kesalehan tertentu, tipologi ketiga ini lebih didasarkan rasa empati dan simpati, salah satunya adalah kebijakan pemerintah DKI yang tidak pro pada kelompok tertentu (penggusuran, reklamasi, atau upah buruh rendah). Perasaan empati dan simpati ini bisa juga muncul dari rasa persamaan nasip (catatan: penilaian ini tidak sampai tahap %, hannya membagi berdasarkan motif). Kenapa pembagian tipologi ini penting, seingkali pendukung ahok menyerang dengan membabi buta. Serangan yang membabi buta ini cenderung meng-generalize, akibatnya saling serang antara pihak yang pro dan kontra tidak apple to apple dan melebar.

Pak JK selaku pihak pemerintah (Wakil Presiden) berjanji akan menyelesaikan perkara ini dalam waktu 2 minggu, hal itu tentu harus bisa diterima dengan legowo oleh demonstran. Tidak perlu melakukan interpensi hukum yang berlebihan, karena demo yang dilakukan dengan damai saja dengan mudah dipelintir oleh oknum bebal, apa lagi jika buah dari aksi damai ini benar menjadi anarkis.

Seperti mata koin, kasus pak Ahok seolah ingin menguji keadilan hukum sekaligus rasa toleransi. Suka tidak suka, masalah keadilan hukum, melebar ke masalah keagamanan. Respon lelet pemerintah pusat juga menyumbang dampak negatif, seolah lebih senang memelihara konfik yang tentu bisa menjadi bom waktu bagi integrasi bangsa. Oleh sebab itu, perlu upaya pendinginan agar situasi tidak menuju keperpecahan bangsa. Faktanya, pak Ahok sudah meminta maaf, proses hukum juga sudah digulirkan kepolisian. Umat islam tentu harus bertindak elegan dan strategis. Sekarang demonstran berperan mengawal proses hukum. Harus dimaklum, lambatnya proses hukum dikarenakan situasi pollitik DKI menjelang pilkada, ini sarat dimanfaatkan pihak kepentingan (fakta yang bisa dipelintir). Negara harus bisa menawarkan jalan tengah, disaat maraknya meme toleransi atau kebinekaan yang berwajah sinis, dan juga ucapan-ucapan yang mematahkan semangat seolah negara ingin kiamat. Menjelang putusan hukum, perlunya presiden mengumpulkan pihak-pihak kepentingan, hal ini merupakan upaya mencegah melebarnya konflik. Meskipun penulis menyesali absennya presiden ketika demonstran ingin bertemu. Komunikasi dan dialog kadang merupakan obat yang paling mujarab, apa lagi presiden yang langsung memimpin. Semoga kita selalu diberikan kesehatan, tidak hannya lahiriyah, tapi juga fikiran.

0 komentar:

Posting Komentar