Senin, 25 Mei 2015

Refleksi 17 tahun Reformasi

Oleh : Gurnadi R.

Tanggal 21 mei 1998 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tumbangnya rezim Pak Harto, menjadi penanda pindahnya sistem politik diktatorisme ke sistem politik demokrasi. Reformasi tidak terasa sudah berjalan selama 17 tahun, lantas apakah Reformasi sudah sesuai dengan cita-cita kemerdekaan?, dan apa saja cita-cita kemerdekaan itu?.

Cita-cita kemerdekaan diantaranya adalah mencerdaskan anak bangsa, mensejahterakan bangsa, dan ikut terlibat dalam perdamaian dunia. Lengkapnya cita-cita kemerdekaan tertera jelas dalam UUD’45. Lantas apakah cita-cita kemerdekaan dan reformasi sudah berjalan dengan baik?

Sabtu, 23 Mei 2015

Aktivis 98: cita-cita reformasi belum tercapai

"belum mampu melahirkan pemerintahan yang efektif"
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta dan mantan aktivis 1998 dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan cita-cita reformasi menjadikan Indonesia bangsa aman, mandiri, sejahtera, dan tidak korupsi belum tercapai.

"Di bidang politik belum mampu melahirkan pemerintahan yang efektif," kata Badrun ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu.

Aktivis 98: 17 Tahun Reformasi, Oligarki Politik Makin Subur

Jakarta, HanTer - Mantan Aktivis 98 Ubedilah Badrun menuturkan sejak jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) pada masa Presiden ke 2 Soeharto hingga masuk kepada pemerintahan Jokowi-JK, sistem politik Indonesia tidak mampu melahirkan pemerintahan yang efektif.

Senin, 18 Mei 2015

17 Tahun Reformasi (Berita Foto)

Sejak jatuhnya rezim orde baru pada 21 mei 1998, Indonesia memasuki episode baru. Sistem politik diktatorisme telah tumbang dan digantikan dengan sistem politik demokratis. Sayangnya demokrasi yang berjalan selama 17 tahun tidak kunjung melahirkan pemerintah yang efektif. Para pelaku gerakan Reformasi baik yang ada di dalam sistem atau yang ada diluar sistem saat ini, menggugat arah negeri ini.

Foto Diskusi Publik: 17 Tahun Reformasi:

(urutan nama dari kiri ke kanan)
1. Moderator: Ahmad tarmiji Al-Khudri
2. Hanri Basel (Aktifis 98 dan Profesional)
3. Ubedilah badrun (Aktifi 98, Pengamat Politik UNJ, dan Direktur Puspol Indonesia)
4. Kusfiardi (Aktifi 98 dan Pengamat Politik)
5. Sarbini (Aktifi 98 dan Politisi partai hanura)
6. Ronny Setiawan (Ket.BEMUNJ 2015 dan Kor.Wil Jakarta)
7. Masinton Pasaribu (Aktifi 98 dan Anggota DPR RI)

Sabtu, 16 Mei 2015

Etika Politik Puan dan Tjahjo Dipertanyakan


JAKARTA,suaramerdeka.com – Status keanggotaan Puan Maharani dan Tjahjo Kumolo yang masih merangkap jabatan sebagai anggota DPR, adalah pertama kali sepanjang 50 tahun sejarah DPR RI.  Menurut pengamat politik yang Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedillah Badrun, kejadian ini sungguh memalukan dan menunjukan rendahnya mentalitas kenegaraan sekaligus etika politik kedua tokoh tetsebut,  karena sudah sekian bulan berstatus sebagai Menteri tetapi tidak mundur sebagai anggota DPR. “Ini sudah berbulan-bulan, mengapa tidak juga sadar dan segera mundur dari anggota DPR. Yang lebih memprihatinkan lagi jika keduanya ternyata masih menerima gaji sebagai anggota DPR dan tidak menyadari kekeliruannya. Ini bencana politisi. Patut kita pertanyakan etika politik mereka,” kata Ubedillah kepada suaramerdeka.com, malam ini.

Menurut Ubedillah, sebaiknya mereka secara etik mundur dari arena politik atau mundur dari kedua jabatanya, atau paling minimal minta maaf ke publik dan mengembalikan seluruh gaji nya kepada negara. Padahal kalau saja mereka peka sejak awal sebenarnya sederhana saja yang  bersangkutan melalui fraksinya perlu menyampaikan surat pengunduran diri ke pimpinan DPR.