Rabu, 15 Mei 2013

BUKU TEKS SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM KURIKULUM 2013



 Oleh: Erianjoni, S.Sos, M.Si
(Prodi Pendidikan Sosiologi-Antropologi FIS UNP Padang)



 
ABSTRAK

Persoalan tentang buku teks dalam kebijakan kurikukulm baru menjadi sesuatu yang krusial untuk menjadi sebuah diskusi. Selain menuai banyak kritikan tentang kesiapan pelaksanaan Kurikulum 2013, isu pengadaan buku teks yang bersifat sentrilstik dan pembuatannya yang terkesan cepat dipandang oleh banyak fihak akan menjadi masalah baru, walaupun sistem penyeragaman ini dipandang untuk menghindari kesalahan konsep seperti buku teks yang sebelumnya dibuat oleh penerbit swasta dan membantu program pendidikan murah tetapi ada persoalan teknis dan non teksnis lain yang barangkali luput dari kacamata pengamat yang diprediksi akan memperburuk implementasi kurikulum 2013 tersebut.


A.  PENDAHULUAN
      Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Sosiologi berubah menjadi Sosiologi dan Antropologi. Sebenarnya format serupa sudah pernah ada pada kurikulum 1984, barangkali kita bisa melakukan kilas balik kembali seperti apa mata pelajaran itu seperti di masa lalu. Tetapi pada Kurikulum 1994 Sosiologi dengan Antropologi menjadi terpisah, sedangkan Kurikulum SMA 2004 dan KTSP 2006, Sosiologi diajarkan di Program IPS saja, sementara Antropologi menjadi mata pelajaran utama di program Bahasa. Di rencana Kurikulum 2013, Sosiologi dan Antropologi akan menjadi salah satu pelajaran kelompok peminatan IPS, sedangkan Antropologi di peminatan Bahasa.
Salah satu hal yang menjadi esensi Perubahan kurikulum KTSP ke kurikulum 2013 harus dibarengi dengan peningkatan kemampuan guru dalam mengimplementasikan program tersebut di lapangan. Guna memaksimalkan perubahan kurikulum tersebut tidak cukup dengan sosialisasi tetapi perlu adanya pembenahan di berbagai sarana dan prasarana pendukung program itu khususnya buku teks baik bagi guru ataupun bagi siswa. Jika sarana pendukung seperti guru tidak diberi pemahaman yang memadai terhadap kurikulum ini, maka implementasinya akan terjadi seperti kurikulum sebelumnya. Sedikitnya ada dua faktor besar dalam ke­ berhasilan kurikulum 2013. Pertama, penen­tu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependi­dik­an (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan buku sebagai ba­han ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pem­bentuk kurikulum; (ii) penguatan peran pemerintah da­am pembinaan dan penga­wasan; dan (iii) penguatan ma­naj­emen dan budaya sekolah (skpd.batamkota.go.id)
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan telah menyusun buku pegangan untuk kurukulum 2013. Rencananya, tanggung jawab buku tersebut akan terpusat pada tim penyusun yang dibentuk Kemendikbud. Penerbit-penerbit lain hanya akan memiliki hak untuk menggandakan bukan untuk menulis buku baru. Menurut Mendikbud M. Nuh sperti dilansir (news. detic.com) “Buku tidak kita serahkan ke siapa pun, tapi oleh tim yang kita bentuk sendiri. Harus ada penanggung jawab yang utama, yang lain cuma tinggal mencetak saja. Kita pastikan dulu ini beres, urusan siapa yang mencetak itu urusan belakangan. Hal ini dilakukan aga kebijakan pertanggungjawaban terpusat atas buku pegangan guru dan siswa diimplementasikan untuk menanggulangi kesalahan penerbit-penerbit buku pelajaran. Selain itu dengan ditetapkannya satu buku acuan bagi peserta didik, maka akan meringankan siswa-siswi sendiri dalam membeli buku. Selama ini siswa-siswi masih dibebani dengan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang harus dibeli terpisah.
Di samping itu kebijakan ini dapat ditafsirkan kebijakan, sekaligus menandai berakhirnya era Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang pernah diterapkan oleh Mendiknas, Bambang Sudibyo, sejak tahun 2007 yang lalu. Permendiknas Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008 pun diluncurkan untuk memuluskan langkah dan terobosan baru yang memiliki jargon “buku sekolah murah untuk rakyat” .
Di tataran mikro seperti mata pelajaran seperti sosiologi dan Antropologi, pengadaan buku teks sosiologi diperkirakan juga akan menimbulkan banyak persoalan. Selain terintegrasinya sosiologi dengan antropologi dalam satu mata pelajaran,  juga masalah penting yang muncul kepermukaan seperti ditemukan juga materi ajar sosiologi di tingkat SMA/ MA yang ada pada buku paket, buku ajar, LKS dan lain-lain cenderung bersifat generalis atau sentralis, sehingga tidak menyentuh aspek lokalitas (local wisdom dan local knowledge), selain itu kurangnya pengetahuan guru dalam menghubungkan antara materi dengan kontekstual masyarakat, sehingga hanya terkesan menjejal siswa dengan materi-materi yang padat, akibatnya hanya mengarah pada upaya mengisi ranah kognitif siswa, sedangkan upaya pembentukan ranah afektif (sikap dan karakter sosial) dan psikomotor (keterampilan sosial) terabaikan (Erianjoni, 2012: 8)
Selain itu penulis melakukan analisis pada beberapa sumber belajar sosiologi seperti buku teks sosiologi terbitan percetakan nasional seperti: Erlangga, Tiga Serangkai, Esis dan Phibeta, materi sosiologi pada buku tersebut terlalu generalis non kontekstual padahal telah dikaji oleh BNSP. Konsekuensinya pada ditataran epistemologi ”legitimasi sosiologi sebagai body of science mengalami kemandekan di Indonesia dalam mencari relevansi sosial maupun intelektual, sehingga cenderung terjadi the poverty of sociology”. Ditataran praksis guru dan siswa teralienasi dengan materi yang diajarkan karena tidak menyentuh aspek lokal dan kontestual lingkungan sosial dimana guru dan siswa berada.
Berangkat dari persoalan kurikulum dan buku teks sosiologi dan antropologi, maka penulis tertarik membahas isu tersebut dalam artikel ini, sebagai bahan diskusi dan argumentasi dalam memikirkan persoalan-persoalan pendidikan khususunya sosiologi dan antropologi. Sebetulnya banyak persoalan lain yang mesti kita bahas terkait tentang kesiapan PBM, media, evaluasi dan paradigma pembelajaran termasuk sumber daya yang tersedia di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan), tetapi masalah buku teks menjadi esensi menyonsong perubahan kurikulum 2013 ini.

B. BUKU TEKS
1.      Konsep Buku Teks
Beberapa pengertian buku teks dikemukakan oleh para pakar ya seperti menurut Hall-Quest (dalam Tarigan 1986:11). Menurutnya buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun untuk maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional. Lain lagi dalam pandangan Lange (dalam Tarigan 1986:11), ia menjelaskan bahwa buku teks merupakan suatu buku standar, buku setiap cabang khusus dan studi dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan. Dapat disimpulkan bahwa buku teks adalah buku pelajaran yang disusun oleh para ahli atau pakar dalam bidangnya untuk menunjang program pengajaran yang telah digariskan oleh pemerintah. Penyusunan buku teks sosiologi dan antropologi SMA/MA dalam kurikulum 2013 disusun secara sentralistik (top-down) oleh negara dalam hal ini Kemendikbud.
2.      Fungsi buku teks
Kedudukan buku teks sebagai salah satu sumber belajar di sekolah dan salah satu media menyamoaukan materi/ kurikulum memiliki peran atau fungsi. Menurut Green dan Pretty (dalam Tarigan, 1986) Fungsi dan peranan buku teks itu yaitu: (a) mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan, (b) menyajikan suatu sumber pokok masalah yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan dimana keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya, (c) menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampila-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok dalam komunikasi, (d) metode da sarana penyajian bahan dalam buku teks harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya harus menarik, menantang, merangsang, bervariasi sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari buku teks tersebut, (e) menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis, (f) di samping sebagai sumber bahan buku teks juga berperan sebagai sumber atau alat evaluasi dan pengajaran remidial yang serasi dari segi fungsi dan tepat guna dalam segi pencapaian. Adapun fungsi buku teks bagi guru dipandang sebagai pedoman untuk mengidentifikasi apa yang harus diajarkan atau dipelajari oleh siswa, mengetahui urutan penyajian bahan ajar, mengetahui teknik dan metode pengajarannya, memperoleh bahan ajar secara mudah, mdan menggunaknya sebagai alat pembelajaran siswa di dalam atau diluar sekolah (Krisanjaya 1998:85).
Selanjutnya fungsi buku teks bagi siswa adalah sebagi sarana kepastian tentang apa yang ia pelajari, alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh ia telah menguasai materi pelajaran, alat belajar (di luar kelas buku teks berfungsi sebagai guru) di mana ia dapat menemukan petunjuk, teori, maupun konsep danbahan-bahan latihan atau evaluasi (Krisanjaya 1998:86). Dalam kurikulum 2013 terdapat dua jenis buku yaitu buku siswa dan buku pengangan guru yang diakomodasi dan diberikan oleh negara secara gratis.
3.      Kriteria Buku Teks Berkualitas
Kualitas buku teks berkaitan erat dengan kurikulum yang sedang berjalan. Buku teks yang baik tentu memiliki persyaratan utama yaitu harus relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Menurut Tarigan (1986: 12) ada 11 (sebelas) kiteria untuk menentukan kualitas buku teks, yaitu (a) memiliki landasan prinsip dan sudut pandang yang berdasarkan teori linguistik, ilmu jiwa perkembangan, dan teori bahan pembelajaran, (b) kejelasan konsep, (c) relevan dengan kurikulum yang berlaku, (d) sesuai dengan minat siswa, (e) menumbuhkan motivasi belajar, (f) merangsang, menantang, dan menggairahkan aktivitas siswa, (g) ilustrasi tepat dan menarik, (h) mudah dipahami siswa, yaitu bahasa yang digunakan memiliki karakter yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa, kalimat-kalimatnya efektif, terhindar dari makna ganda, sederhana, sopan dan menarik, (i) dapat menunjang mata pelajaran lain, (j) menghargai perbedaan individu, kemampuan, bakat, minat, ekonomi, sosial dan budaya, (k) memantapkan nilai-nilai budi pekerti yang berlaku di masyarakat (Tarigan 1986:22).
Hal-hal yang berhubungan dengan kualitas buku pelajaran menurut tim penilai buku ajar dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek, yakni (1) isi atau materi pelajaran, (2) penyajian materi, (3) bahasa dan keterbacaan, dan (4) format buku atau grafika. Keempat aspek ini saling berkait satu sama lain (Depdiknas 2004:15). Dengan demikian, secara garis besar standar buku pelajaran diukur melalui aspek isi atau materi, penyajian materi, bahasa, dan keterbacaan, serta grafik.

C.      ISU TENTANG BUKU TEKS DALAM KURIKULUM
Terdapat beberapa isu tentang buku teks dalam kurikulum 2013, yang pada dasarnya juga berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran sosiologi dan atropologi di tingkat SMA/MA, yaitu:
1.      Sentralisasi Pendidikan
Ketika muncul kebijakan baru tentang buku teks seiring dengan rencana diberlakukannya Kurikulum 2013, era sentralisasi buku teks kembali menggema. Penyusunan dan pencetakan buku teks dikontrol dan dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah cq Kemdikbud. Jauh sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan, secara marathon para penyusun buku teks telah menyiapkan buku teks utama yang kelak akan dijadikan sebagai buku acuan utama di sekolah. Penerbit hanya berhak untuk menggandakannya. Artinya buku teks akan kembali menjadi seragam dalam pendidikan Indonesia, sehingga akan menghambat pengembangan potensi lokal yang sudah dirancang sedemikian rupa pada KTSP 2006.
Pada satu sisi, kebijakan buku teks semacam ini diharapkan mampu mengikis kesenjangan kompetensi peserta didik antardaerah dan wilayah. Semua peserta didik pada setiap jenjang menggunakan buku teks yang sama. Guru pun dibekali buku pegangan yang sama. Strategi, metode, model, bahkan langkah-langkah pembelajarannya sudah tersusun secara rinci dalam buku pegangan itu. Guru hanya tinggal melaksanakan apa yang tersurat dalam buku pegangan. Peserta didik di seluruh wilayah nusantara pun mendapatkan “asupan” materi pembelajaran dan soal-soal uji kompetensi yang sama dalam buku teks. Tak ada lagi alasan hasil kompetensi peserta didik dalam ujian nasional bermutu rendah. Kalau toh itu terjadi, pasti gurunya yang salah karena gagal mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran dengan baik.
2.      Kontekstualitas Materi dan kemandulan Kreativitas Guru
Problem lain yang akan mengemuka, penyeragaman buku teks bisa menyebabkan terjadinya kemandulan kreativitas, baik bagi guru maupun peserta didik. Nilai-nilai kearifan dan genius lokal  atau sosiologi yang indigenous (membumi) yang diharapkan mampu meneguhkan dan menguatkan karakter serta kepribadian (character building) siswa justru makin tercerabut dan sulit dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pada sisi ini, penyeragaman buku teks hanya akan melahirkan generasi “robot” yang serba patuh dan penurut. Guru dan siswa menganggap apa yang tersurat dalam buku teks dan buku pegangan guru ibarat “kitab suci” yang tabu dibantah dan diperdebatkan. Imbasnya, dinamika keilmuan akan makin “stagnan” karena peserta didik tidak dibudayakan untuk bersikap kritis dan kreatif.
Selagi masih ada waktu untuk berbenah, tidak ada salahnya kalau kebijakan sentralisasi buku teks, hanya dijadikan sebagai sebuah model. Selebihnya, berikan kesempatan kepada para guru untuk menerjemahkan materi ajar dalam kurikulum sesuai dengan dinamika keilmuan dan nilai-nilai kearifan lokal secara kontekstual. Sungguh naif kiranya kalau melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan berkarakter tangguh hanya mengandalkan sebuah buku teks yang sudah diseragamkan, berarti siswa juga akan menjadi korban (Sawaliinfo.com).
3.      Korupsi dan Kolusi dalam Pengadaan
Bukan hanya segi isi buku, proses pengadaan buku juga rawan korupsi. Ini sudah rahasia umum. Tahun 2007, terjadi kasus korupsi di Kemendikbud dalam lelang pencetakan buku keterampilan fungsional. Pelaku korupsinya tak lain adalah pejabat Kemendikbud sebagai panitia lelang dengan modus mark up (penggelembungan). Pengadaan buku Kurikulum 2013 tidak menutup kemungkinan terjadi korupsi. Ingat, anggaran buku Kurikulum 2103 adalah 1,1 triliun rupiah. Patut menjadi acuan bahwa 77% kasus korupsi yang ditangani KPK adalah soal pengadaan. Di kurikulum 2013, pengadaan buku dianggarkan 1,1 triliun. Bukan uang kecil (http: index okezone.com)
4.      Relevansi Buku teks dengan Metode tematik Integratif
Kurikulum 2013 yang akan menggunakan metode tematik integratif dalam penyampaian mata ajar dinilai membingungkan. Tidak hanya bagi penulis buku teks dan penerbit buku, tetapi juga bagi guru sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum di ruang kelas. Hal ini terungkap pada diskusi pendidikan “Quo Vadis Pendidikan Indonesia? Suatu Tinjauan Berdasarkan Rencana Pemeerintah Melaksanakan Kurikulum 2013” yang diadakan IKAPI DKI Jakarta. Selain itu, diskusi ini juga menyoroti buku pegangan Kurikulum 2013 untuk guru dan siswa yang disiapkan pemerintah, yang dikwatirkan tidak efektif dan guru menjadi tidak kreatif. Padahal, pemerintah berniat memudahkan guru dan siswa dengan membuat buku pegangan atas buku teks. Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Soedijarto mengatakan, penulisan buku sekarang hanya berorientasi buku pegangan dengan menyesuaikan kebutuha/standar ujian nasional. Akibatnya, buku yang ditulis tidak merangsang kemampuan berpikir imajinatif dan kreatif, hanya sekedar menghapal (acdpindonesia.wordpress.com)
5.      Waktu penyiapan buku teks
Penyiapan buku teks dan buku pegangan guru di jenjang SD-SMA sederajat untuk implementasi Kurikulum 2013, terus disorot banyak pihak. Pembuatan buku yang dinilai terburu-buru dan didistribusikan secara ‘mepet’ ke sekolah, mengkhawatirkan pihak sekolah dan guru. Timbul pertanyaan bagaimana guru akan memahami buku teks dalam waktu yang singkat sedangkan mereka tidak mendapat pelatihan atau analisis buku, diperparah lagi dalam mata pelajaran sosiologi dan antroplogi banyak ditemukan guru ’loncat pagar’ atau tidak pernah mengecap pendidikan sosiologi dan antropologi terutama di tingkat SI.

D.  PENUTUP
Buku teks menjadi hal yang perlu kita bahas dalam diskusi-diskusi ilmiah karena bagaimanapun keberhasilan pembelajaran di kelas oleh guru sangat ditunjang oleh keberadaan buku teks tersebut tapi dalam kurikulum 2012 yang terkesan dadakan masalah pengadaan buku teks sebagai sumber belajar menjadi sesuatu yang perlu kita sorot. Diskusi lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kesiapan LPTK Sosiologi di Indonesia menyongsong pelaksanaan kurikulum  2013.  LPTK Sosiologi dihadapkan pada beberapa persoalan, selain terintegrasinya sosiologi dan antropologi seperti pada kurikulum 1984, juga ada konsekuensi perubahan kurikulum ini pada kurikulum LPTK sosiologi, padahal tahun 2012 yang lalu LPTK telah melakukan perombakan kurikulum menjadi KKNI, apakah ganti kurikulum di tingkat SLTA akan ganti pula kurikulum di LPTK? Atau hanya mengadaptasi dan mengadopsi perubahan tersebut, misalnya dengan mengembangkan silabus atau memunculkan mata kuliah yang baru, serta  dengan mengintegrasikan beberapa mata kuliah. Semuanya tergantung dari pemahaman dan perspektif kita terhadap kurikulum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA:
Acdpindonesia. Wordpress.com diakses tanggal 7 Mei 2013
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran.World Bank. 1995.
Erianjoni. 2012. Indigenousasi Sosiologi: Melalui Pengembangan Materi Bermuatan  Nilai-nilai Lokal (Minangkabau) di SMA. Makalah dalam Semnas Dies Natalis UNY ke 48 tanggal 1 Mei di Yogyakarta.
Krisanjaya. 1998. Teori Belajar Bahasa, Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta. IKIP Jakarta.
Skpd.batamkota.go.id diakses tangaal 7 Mei 2013
Sawaliinfo.diakses tanggal 8 Mei 2013.
Tarigan, H.G. & Tarigan, Djago. 1986. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.


 

0 komentar:

Posting Komentar