Rabu, 15 Mei 2013

Menumbuhkan Imajinasi Sosiologis sebagai Tujuan Pembelajaran Sosiologi

Dr. Robertus Robet (UNJ)
 




Pengantar
            Seminar pada hari ini pada dasarnya mau memeriksa segi-segi mendasar yang muncul atau yang bakal muncul dalam pengajaran mata pelajaran sosiologi dan antropologi: apa dan bagaimana kompetensi, substansi sosiologi dan antropologi untuk sekolah dalam kurikulum 2013. Untuk memenuhi keperluan itu, makalah berikut bermaksud menyampaikan beberapa pandangan ringkas mengenai kompetensi dan substansi kurikulum 2013, namun karena alasan kapabilitas, penulis hanya akan berfokus pada mata pelajaran sosiologi saja. 

            Apakah tujuan dan kegunaan mempelajari sosiologi bagi siswa/mahasiswa sosiologi? Apakah sosiologi memiliki kegunaan yang kuat dan khas bagi profesi-profesi di luar sosiolog? Apa guna sosiolgi bagi yang tidak mencintai sosiologi sebagai disiplin?
            Selama ini, tujuan-tujuan pembelajaran sosiologi selalu dirumuskan secara praktis melalui jalur atau cara di luar disiplin sosiologi. Rumusan tujuan-tujuan itu bersifat umum dan tidak menunjukkan kekhasan yang membedakan sosiologi dengan disiplin lainnya. Banyak orang, misalnya, yang secara sederhana menjelaskan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dan fakta sosial. Rumusan ini memiliki dua kesalahan yakni: bahwa di satu sisi ia terlampau umum dan tidak bisa secara jernih dan spesifik membedakan sosiologi misalnya dengan etnografi yang sama-sama mempelajari masyarakat. Di saat yang sama rumusan itu juga terlalu sempit ketika menyebut sosiologi mempelajari fakta sosial mengingat ada banyak pemikir sosiologi dari klasik hingga kontemporer yang sama sekali membantah bahwa fakta sosial adalah subject matter sosiologi. Marx misalnya lebih menekankan formasi sosial dan mode produksi masyarakat, sementara Weber misalnya lebih menekankan tindakan sosial yang dimaknai sebagai subject matter sosiologi. Di sini, tujuan pembelajaran sosiologi mestinya dirumuskan di dalam sosiologi tapi sekaligus dengan melampaui perbedaan mazhab serta variasi paradigmatis dari para pemikir sosiologi yang beragam.
            Dalam praktik, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi pembelajaran sosiologi bahkan sering dilakukan dalam kekaburan yang menunjukkan keraguan bahkan dari guru dan dosen terhadap substansi, disiplin dan kegunaan pelajaran itu. Hal ini nampak dari fakta bahwa guru dan dosen biasanya sering mencampur-aduk antara subject matter sosiologi dengan tujuan pembelajaran sosiologi; antara obyek pikiran dalam sosiologi dengan kualitas berfikir yang hendak dicapai oleh pembelajaran sosiologi. Ketika guru misalnya mengatakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat, maka hampir pasti guru akan kesulitan menjawab pertanyaan berikut: apa pentingnya, apa gunanya mempelajari masyarakat?  Kesulitan muncul pertama persis karena bisa saja guru juga tidak yakin bahwa mempelajari masyarakat itu penting. Kedua, karena banyak kita memang sedari awal telah salah paham karena menempatkan  ‘mempelajari masyarkat’ sebagai tujuan sekaligus subject matter sosiologi.  “Mempelajari masyarakat’ untuk satu perspektif memang adalah materi utama sosiologi, tapi ia bukan tujuan dari pembelajaran yang khas sosiologi. Dalam banyak percakapan pengantar antara guru dengan murid di kelas, topik ini yang lebih banyak diungkap sementara apa dan bagaimana tujuan mempelajari sosiologi tidak pernah diungkap secara benar dan tepat. Akibatnya, selama bertahun-tahun siswa juga memandang sosiologi sebagai pelajaran yang penuh kekaburan, abstrak, umum dan kurang penting, kurang berguna.
            Dengan kekaburan macam itu, efek epistemic mengenai guna pengetahuan sosiologi bagi kualitas pikiran siswa –secara subyektif-memang menjadi tidak terjelaskan. Pada matematika atau bahasa Inggris aspek estetis dan efek epistemic terasa jelas; setelah belajar matematik bisa menghitung dan memecahkan rumus; setelah belajar bahasa Inggris bisa mendapat kosa kata baru, sementara pada sosiologi setelah belajar Parsons saya bisa apa ? Apa yang berubah pada saya kalau saya mengetahui atau hafal semua teori itu? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggantung, sementara kita hanya menjawab dengan bulak-balik menyodorkan ‘masyarakat’, masyarakat dan masyarakat.
            Untuk itu penelusuran epsitemis diperlukan untuk bisa menemukan tujuan pembelajaran sosiologi yang jelas dan khas sosiologi sekaligus merangkum semua pendirian dalam berbagai  teori sosiologi yang terus muncul dan berkembang hingga saat ini. Untuk itu, dalam diskusi ini, saya hendak mengajukankembali konsep lama yang dikemukakan oleh sosiolog Amerika C Wright Mills mengenai Imajinasi Sosiologis. Saya ingin menekankan bahwa –dengan mengikuti Mills, selayaknya tujuan pembelajaran sosiologi mesti dirumuskan sebagai upaya untuk membangun/membentuk/memberdayakan imajinasi sosiologis.  Imajinasi sosiologis di sini dimengerti sebagai kualitas pikiran atau kapasitas intelek tertentu yang memungkinkan orang (siswa) memahami diri, sejarah serta dunia atau struktur masyarakat secara simultan. Imjinasi sosilogis sebagai kemampuan untuk mentransformasikan perkara atau soal-soal yang semula ‘polos’ menjadi soal-soal kepublikan yang mengundang perhatian.
            Namun demikian, sebelum menjelaskan lebih jauh Imajinasi Sosiologis sebagai tujuan pembelajaran sosiologi ada baiknya kita memahami terlebih dahulu bidang-bidang kajian yang berkaitan dengan peran sosiologi di dalam masyakarat.

Empat Bidang Sosiologi

            Sosiologi M. Burwoy menjelaskan bahwa dengan mempertimbangkan peran dan kegunaanya dalam masyarakat, pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi empat bidang kajian yakni: Pertama Sosiologi Profesional, Kedua, Sosiologi Kritis, ketiga, Sosiologi Kebijakan dan Keempat Sosiologi Publik. Tentu saja keempat bidang ini tidak terpisah secara ketat dan steril.masing-masing bidang bisa saling mempengaruhi satu-sama  lain
            Dalam skema Burawoy, Sosiologi Profesional adalah sosiologi yang diarahkan dan berkonsentrasi pada pendalaman pengetahuan empirik dan pemahaman teoritis. Sosiologi profesional tercermin dari kerja-kerja serius di bidang pendalaman ilmu sosiologi dan pengajarannya: mengajar, menulis teks, meneliti. Sosiologi professional  boleh dibilang merupakan landasan atau dasar dari profesi sosiologi yang lainnya. Hampir sebagain besar pemikir sosiologi dari klasik hingga kontemporer memulai dirinya dengan sosiologi professional. Hal ini nampak dari fakta bahwa kebanyakan mereka memulai diri sebagai guru besar di kampus-kampus.
            Sementara Sosiologi Kritis diarahkan pada maksud untuk memberikan evaluasi atas perkembangan dalam masyarakat. Sosiologi kritis tumbuh dan diarahkan sebagai bagian dari perubahan sosial. Tidak jarang, sosiologi kritis kemudian juga ikut ambil bagian berbagai perumusan kritik dan aktivitas politi. Untuk peran ini sosiolg seperti Marx adalah figure yang sering disebut, namun demikian dalam konteks masa kini  guru besar dan teoritisi seperti Anthony Giddens, Jurgen Habermas, yang hidup dan karyanya berbasis di pengajaran universitas juga sangat dikenal sebagai sosiolg yang menganjurkan keterlibatan dan peran dalam Sosiologi Kritis.
            Sosiologi Kebijakan adalah sosiologi yang diarahkan untuk menggunakan pengetahuan empiric dan teoritis untuk menyelesaikan persoalan konkret dan penyusunan kebijakan. Sosiologi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas yang bersifat teknikal teknokratis dengan tujuan yang telah makin spesifik. Misalnya bagaimana merancang tata kota yang lebih manusiawi, bagaimana membangun industry tanpa menimbulkan konflik sosial.
            Sementara Sosiologi Publik adalah memfokuskan diri pada transfer pengetahuan dan informasi dalam berbagai perbincangan public. Sosiologi public dalam arti yang mirip bisa dikatakan sebagai ‘kritisisme sosial’ yakni penggunaan pemikiran sosiologis dalam perbincangan/diskurus publik debat’ dan penulisan. Sejumlah sosiolog ternama seperti Pierre Bourdieu, Michele Foucault boleh dibilang adalah para guru besar yang dikenal sebagai penganjur kritisisme sosial.
            Namun demikian, perlu untuk dipahami bahwa meski keempat orientasi sosiologi ini dapa dibedakan berdasarkan orientasi praktisnya, namun keempatnya jelas membutuhkan satu syarat fundamental yakni pembelajaran sosiologi sebagai ilmu dengan segala kelengkapan teoritis, metodis dan pengalaman menangani persoalan empiris di dalamnya.[1]

Bidang-bidang dalam Sosiologi
Bidang Sosiologi

Sosiologi Profesional
Sosiologi Kritis
Sosiologi Kebijakan
Sosiologi Publik
Fokus
Pengembangan Ilmu, penelitian dan Metodelogi

Aktivitas dalam perubahan sosial.
Penyusunan Kebijakan Publik.
Sikap Intelektual dan perbincangan Publik.
Profesi
Pengajar/peneliti
Aktivis, Praktisi.
Teknokrat

Peneliti
Aneka profesi public: pengamat, penulis, wartawan.


Imajinasi Sosiologis Sebagai Tujuan Pembelajaran Sosiologi
 Pada tahun 1959, tokoh sosiologi kenamaan Amerika Serikat C. Wright Mills mengukuhkan suatu pandangan –yang untuk konteks Amerika- baru dan progresif mengenai fungsi sosiologi dalam kehidupan akademis dan publik. Mills menyebutnya dengan istilah Imajinasi Sosiologis. Seperti mengantisipasi pemikiran sosiologi kontemporer mengenai kesatuan agen-struktur sebagaimana disajikan oleh sosiolog seperti Giddens dan Bourdieu, Mills mengungkapkan apa yang dimaksud dengan Imajinasi Sosiologis sebagai berikut:

The sociological imagination enables its possessor to understand the larger historical scene in terms of its meaning for the inner life and external career of a variety of individuals. It enables him to take into account how individuals, in the welter of the daily experience, often become falsely conscious of their social positions. Within that welter, the framework of modern society is sought, and within that framework the psychologies of variety of men and women are formulated. By such means the personal uneasiness of individuals is focused upon explicit troubles and the indifference of publics is transformed into involvement with public issues. (Mills, 1959, hlm. 12)


Imajinasi Sosiologis merupakan kemampuan epistemik yang memungkinkan orang memahami khasanah kesejarahan yang luas dalam pengertian makna ‘kehidupan dalam’ dan ekspresi eksternal berbagai kehidupan individu. Imajinasi Sosiologi memungkinkan orang memahami pengalaman individual dalam kaitannya dengan struktur dan relasi masyarakat yang lebih luas. Menurut Mills, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai masalah yang dialami oleh individu, maka individu itu mesti dilihat dalam suatu kerangka situasional periodic dan dalam historisitasnya, serta membangun tautan antara kehidupan privatnya dengan kebijakan sosial dalam masyarakat di mana dia hidup.

Dari sini, Mills kemudian membuat pemisahan antara apa yang disebutnya sebagai ‘the personal troubles of milieu’ dan ‘the public issues of social structure’. (Mills, hlm.13).  Pemisahan ini sedemikian fundamental, karena menurut Mills inilah yang kemudian mendasari secara metodologis makna dari Imajinasi Sosiologis. Tanpa Imajinasi Sosiologis, individu tak akan mungkin memahami diri dan permasalahannya, hingga akibatnya dengan itu ia juga tidak akan pernah sampai untuk tiba pada pemahaman mengenai struktur masyarakatnya. Dari sini Mills kemudian menegaskan Imajinasi Sosiologis sebagai sejenis techne untuk memahami diri-sejarah-masyarakat.

Pertama, ide bahwa individu dapat memahami pengalaman-pengalaman nyatanya hanya dengan menempatkan dirinya dalam suatu konteks. Ide bahwa ia hanya akan mampu memahami kesempatan-kesempatan dalam hidupnya dengan menyadari kehidupan dalam lingkungannya. Dengan itu, kita dapat memahami bahwa setiap individu, dari generasi ke genarasi, hidup dan berelasi dalam masyarakatnya dalam sekuen historis.

Kedua, imajinasi sosiologis adalah kapasitas mental yang memberdayakan hingga memberikan kemampuan untuk memahami sejarah, masyarakat dan biografi diri dan relasi keduanya dalam masyarakat. Inilah kemampuan yang nampak secara jelas melalui karya tokoh-tokoh sosiologi utama mulaidari August Comte, Marx, Weber, Durkheim, Karl Mannhein (Mills, hlm 3-5).

Dengan dua ide besar itu, Mills kemudian menurunkan Imajinasi Sosiologis  ke dalam tiga aspek utama yang dirumuskannya dalam tiga pertanyaan penting yakni (Mills, hlm.6-7):

Pertama, apa dan bagaimana struktur masyarakat particular sebagai suatu keseluruhan. Apa saja komponen-komponen esensial dari struktur dan bagaimana mereka saling berelasi satu dengan yang lain? Bagaimana struktur tersebut dapat dibedakan dengan berbagai variasi tatanan sosial yang ada. Bagaimana struktur itu lestari dan bagaimana ia berubah?

Kedua, di mana tempat masyarakat yang eksis itu dalam perjalanan temporalitasnya atau dalam sejarah yang ada.  Apa faktor-faktor penggerak perubahannya? Bagaimana ia ditempatkan dan bagaimana ia dimaknasi dalam kerangka pembangunan kemanusiaan secara umum? Apa karakter yang muncul dalam cara-cara bagaimana sejarah dan masyarakat berubah?

Ketiga, apa dan bagaimana ragam variasi manusia yang muncul dalam masyarakat dan suatu periode historis? Apa benih-benih keaktoran/agen yang potesial muncul di masa depan? Bagimana mereka diseleksi, dibentuk, dimaknai, dibebasnkan dan disajikan dalam sejarah dan struktur masyarakat. Apa dan bagaimana ciri ‘human nature’ yang berhasil kita pahami dari struktur dan kekinian.

Peningkatan Kualitas Berfikir dengan Imajinasi Sosiologis

Dengan kemampuan mengajukan dan menjawab tiga pertanyaan dasar dalam Imajinasi Sosiologis ditu, individu diharapkan memiliki kemampuan untuk:

Pertama, mampu membedakan troubles (persoalan-persoalan) dengan issues (masalah-masalah). Persoalan (trouble) adalah hal atau perkara dalam karakter individual dalam tautan langsungnya dengan individu lainnya yang bersifat personal (interaksi). Persoalan adalah soal privat. Sementara masalah (issue) merupakan hal atau perkara yang berkaitan dengan relasi antara kehidupan individu dengan lingkungannya (relasi).  Masalah adalah hal publik.

Kedua, kemampuan melampaui hal-hal yang bersifat privat dan personal dan hingga mampu mencipatkan pemahaman akan dunia public yag baru dan lebh baik. (Mills, hlm 8).

Untuk memahami perbedaan keduanya (persoalan dengan masalah), Mills mengajukan beberapa ilustrasi. Misalnya perang. Perang sebagai persoalan individual/privat misalnya adalah mengenai bagaimana seseorang bertahan, hidup atau mati secara terhormat.  Bagaimana mencapai pangkat yang lebih tinggi dalam dunia militer saat perang. Perang sebagai masalah (public), berkaitan dengan apa sebab-sebab perang, tipe-tipe aktor bagaimana yang terlibat dalam berbagai keputusan perang, apa efeknya terhadap keadilan, keluarga, perempuan dan anak, kebijakan ekonomi dan politik. Contoh lain adalah soal perkawinan. Keputusan dan peristiwa perkawinan adalah pengalaman individual. Akan tetapi apabila diketahui bahwa dari 1000 pasangan terdapat 250 pasangan yang bercerai di usia empat tahun pernikahan mereka, maka ini masalah publik bukan lagi soal privat.

Contoh Pengembangan Konsep Kunci Imajinasi Sosiologis

Konsep Kunci
Imajinasi Sosiologis
Pertanyaan Ontologis

Pertanyaan
Epistemis
Pertanyaan etis/aksiologis/
metodologis

Struktur Masyarakat dan Perubahannya
Apa elemen-elemen pokok dalam masyarakat saya kini?


Apa yang paling memungkinkan perubahan?
Bagaimana saya memahami dinamika masyarakat saya?

Bagaimana saya memahami pertumbuhan, keretakan dan perubahan masyarakat?
Bagaimana saya terlibat dalam perubahan?

Sejarah dan Konteks Keberadaan Masyarakat
Bagaimana saya, keluarga, kota dan masyarakat saya tumbuh?

Bagaimana kedudukan saya, keluarga, kota, masyarakat saya di masa lalu, kini dan apa yang bisa terjadi di masa depan?
Pengetahuan apa yang khas dan spesifik yang tumbuh dan berkembang dari masa lalu hingga kini?


Bagaimana saya, keluarga, kota, masyarakat saya menilai perubahan?
Tipe-tipe Manusia serta bentuk-bentuk keaktoran
 Siapakah Saya ?

Di mana tempat saya dalam masyarakat?

Apakah keluarga, kota, komunitas?

Bagaimana saya mengetahui status dan kedudukan saya ?

Bagaimana saya memahami diri saya dalam konteks keluarga, kota, Negara?
Apa saja pola-pola tindakan, aktivitas yang terjadi pada saya, keluarga, kota dan masyarakat saya?


Metode Pembelajaran Imajinasi Sosiologis
Dalam praktik pengajaran sosiologi umum, pandangan Mills ini mulai diterima. Imajinasi sosiologis mulai diletakkan sebagai tujuan sekaligus metoda pokok dalam pembelajaran soiologi baik di sekolah  maupun di universitas. Studi-studi mengenai ini telah banyak dilakukan. Rick Eckstein dan kawan-kawan misalnya mengajukan meneliti dinamika kelas untuk memahami persoalan dalam penerapan Imajinasi Sosiologis (Eckstein, 1995).  Karina C. Hoop mengembangkan metode yang menekankan narasi pengalaman kehidupan siswa dalam pengajaran Imajinasi Sosiologis (Katrina Hoop, 2013).  Sementara Debbie Storrs mengajukan pengalaman mengajar dengan ‘story telling’ untuk mengembangkan Imajinasi Sosiologis di sekolah-sekolah di Tokyo. (Debbie Storrs, 2009). Sementara David S. Adam menjelaskan bagaimana ujian tulis dilakukan dengan mempertimbangkan Imajinasi Sosiologis (Adam, 1986).

Penjelasan yang sedikit ebih memadai menyangkut bagaimana membangun Imajinasi sosiologis dikemukakan oleh  Barbara Trepagnier(Trepagnier, 2002). Menurutnya Imajinasi Sosiologi secara khas merujuk pada kemampuan untuk menyatukan antara kehidupan individual kita dengan relasi dan kekuatan sosial yang lebih luas. Trepagnier mengutip  Mills yang mengemukakan sejumlah ‘langkah’ untuk mengembangkan Imajinasi Sosiologis yakni:

Pertama, senantiasa merangkai dan mengaitkan aneka tema dan konsep. Mills menyarankan sosiolog untuk senantiasa menggali kemungkinan-kemungkinan pertautan antar berbagai konsep. Hal ini tentu mengandaikan prasayarat yakni: kemampuan untuk memahami konsep-konsep, kemampuan untuk mengklasifikasi konsep, kemampuan abstraksi untuk menjelaskan keterkaitan satu konsep dengan yang lain.

Kedua, fleksibilitas dan membuka kemungkinan klasifikasi silang berbagai konsep dan pengalaman empiric. Fleksibilitas dalam hal ini adalah suasana yang memungkinkan siswa berfikir kreatif.

Ketiga, imajinasi adalah hasil dari suasana bebas oleh karenanya suasana menyenangkan harus menjadi dasar dari pembelajaran.


Beberapa Pandangan Mengenai Sosiologi dalam Kurikulum 2013
Setelah memerhatikan konsep kunci dalam Imajinasi Sosiologis, kini perlu menyoroti sosiologi dalam kurikulum 2013. Pertanyaan pokoknya sejauh mana mata pelajaran sosiologi di situ memiliki orientasi sebagai mata pelajaran sosiologi? Mengenai ini ada beberapa persoalan yang patut dikemukakan.

Pertama adalah soal disiplin ilmu dan pembagian mata pelajaran. Kita bisa menerima kenyataan bahwa antara substansi kehidupan akademis  dengan ‘birokrasi dan kebijakan akademis’  seringkali terdapat jarak. Tugas birokrasi dan kebijakan akademis adalah menyelenggarakan praktik dan pelayanan sehingga substansi akademis bisa terlaksana secara baik dan tepat. Sementara tugas dunia akademis adalah memproduksi dan mereproduksi bidang-bidang kehidupan keilmuan secara benar dan tepat.  Dalam derajad tertentu jarak ini bisa kita toleransi. Namun demikian, toleransi itu tentu ada batas. Dalam kondisi di mana ‘birokrasi akademis’ mencederai prinsip-prinsip ‘substansi akademis’ maka kritik dan perbaikan terhadap ‘birokrasi dan kebijakan akademis’ perlu dilakukan.

Dalam hal Kurikulum 2013, salah satu soal krusial untuk Mata Pelajaran Sosiologi (dan Antropologi) adalah ‘penyatuan’ kembali Sosiologi bersama Antropologi.  Penyatuan ini memunculkan pertanyaan tentang: bagaimana pemahaman mengenai disiplin ilmu dalam kurikulum 2013?

Apabila dilihat dalam dokumen kurikulum 2013, sebenarnya kurikulum 2013 membedakan secara baik sosiologi dengan antropologi: sosiologi ditempatkan dalam disiplin ilmu sosial sementara antropologi ditempatkan dalam disiplin humaniora. Namun demikian, dalam penyusunan kompetensi inti dan kompetensi dasar kedua disiplin ini dicampur adukkan.

Pencampuran ini yang kiranya memunculkan persoalan. Soal pertama adalah kelihatan ada inkonsistensi antara pandangan disiplin keilmuan dengan penerapan disiplin dalam praktik pembelajaran yang kurang bisa kita pahami alasannya. Yang pasti mencampur adukan soiologi dengan antropologi adalah hal yang keliru. Sosiologi adalah disiplin yang khas, demikian pula antropologi. Keduanya memiliki asumsi-asumsi dan pendasaran filosofis yang berbeda dan memiliki orientasi praktis dan professional yang juga berbeda. Pencampuran ini menunjukkan bahwa khasanah dalam disiplin ilmu tidak diikuti dengan disiplin dalam menyusun dan membedakan mata pelajaran.

Implikasi dari pencampuran ini adalah merusak ciri dan pandangan siswa mengenai kedua disiplin ilmu. Siswa memasuki kedua pelajaran dengan pengenalan yang keliru bahwa seakan keduanya ‘sama’, atau kalaupun diketahui berbeda dapat ‘disama-samakan saja’. Dari sini lahirlah sikap yang meremehkan kedua mata pelajaran dan kedua disiplin ilmu ini yang akan makin mempersulit pengenalan baik sosiologi maupun antropologi secara tepat dan benar.

Kedua, soal tujuan pembelajaran dalam kompetensi dan substansi mata pelajaran sosiologi. Dalam segi tematik, harus diakui bahwa kurikulum ini memuat berbagai pandangan dan tema baru yang baik dan variatif. Namun demikian, sebagaimana telah disinggung pada bagian awal, nampak jelas bahwa dalam penyusunan kompetensi inti dan kompetensi dasar mata pelajaran sosiologi, kurang dijelaskan secara tepat apa yang menjadi tujuan mempelajari sosiologi sebagai bidang keilmuan. Tujuan pembelajaran sepertinya disamakan dengan ‘subject matter’ sosiologi. Yang kedua, dalam banyak hal kalaupun ada dimensi tujuan dalam kompetensi maka yang terdapat di dalamnya lebih banyak dirumuskan dalam kerangka yang didominasi oleh tujuan-tujuan yang bukan khas sosiologi. Dengan itu pertayaan mengenai mengenai apa yang khas dalam sosiologi, apa manfaat subyektif sosiologi serta efek disiplin/pelajaran sosiologi sebagai kualitas berfikir kurang nampak. Ini yang bisa menyebabkan keadaan ironis yakni bahwa tema yang coba disusun baik dan baru dalam kurikulum 2013 itu akan dikenali secara lama dan keliru akibat kekaburan tujuan disiplin dan pembelajarannya.

Kesimpulan
Penyusunan pembelajaran sosiologi selama ini dihadapkan pada persoalan lama yakni bahwa tujuan-tujuan pembelajarannya tidak pernah mempertimbangkan tujuan-tujuan dalam disiplin keilmuan yang berasal dari sosiologi itu sendiri.  Akibatnya pembelajaran sosiologi kurang dianggap sebagai pembelajaran yang berasal dari suatu disiplin yang khas dan memiliki implikasi langsung terhadap kualitas berfikir siswa.

Konsep Imajinasi Sosiologis yang diajukan oleh Mills mengajukan tujuan pembelajaran sosiologis secara jelas. Imajinasi Sosiologis secara tepat merujuk pada kemampuan siswa untuk memahami diri dalam lingkungan, sejarah dan struktur masyarakatnya. Dengan itu Imajinasi sosiologis bukan hany mendorong pengembangan kualitas berfikir siswa tetapi juga mendorong siswa untuk berani terlibat dalam kehidpan public yang lebih luas. Tujuan-tujuan inilah yang kiranya perlu dipertimbangkan oleh setiap kurikulum sosiologi.


Daftar Pustaka
C. Wright Mills, 1959, The Sociological Imagination, (Oxford: Oxford University Press).

Burawoy.M, 2005,  For Public Sociology, Jurnal American Sociological Review, No 70.

Barbara Trepagnier, 2002, Mapping Sociological Concept, Jurnal Teaching Soiology, Vol. 30, N0 1. Januari 2002.

Debbie Stors, 2009, Teaching Mills in Tokyo: Developing a Sociological Imagination through Story-telling, Jurnal Teaching Sociology, Vol 37. No 1. Januari.

Katrina Hoop, 2009, Student;s experiences as Text in Teaching the Sociological Imagination, Jurnal Teaching Sociology, Vol. 37.. No 1..

Rick Eckstein dkk, 1995, The Voice of Sociology: Obstacles to Teaching and Learning the Sociological Imagination, Teaching Sociology vol 23,.

Ellen Wegenfeld-Heintz, 2001, Developing The Sociological Imagination Through Video, Michigan SociologicalReview, Vol 15.



[1] Burawoy.M, (2005), For Public Sociology,  dalam Jurnal American Socilogical Review, No 70. Hlm. 4-28.

1 komentar:

narania mengatakan...

Hello....
Thank you for the information, don't forget to visit the Walisongo State Islamic University website: walisongo.ac.id

Posting Komentar