Selasa, 20 Agustus 2013

(OUTLINE SKRIPSI) Civic Space : Kemandirian di Tengah Konflik Ruang Sosial Nelayan Karangsong Indramayu Jawa Barat


Oleh:  Gurnadi Ridwan[1]

            Desa Karangsong adalah salah satu desa di Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Karangsong memiliki luas wilayah  243.067  Ha, dengan batas wilayah Desa Pabean Udik di sebelah utara, disebelah selatan berbatasan dengan Desa Tambak, disebelah barat berbatasan dengan Keluarahan Paoman, dan disebelah timur  berbatasan dengan Laut Jawa.

            Sebagai pelabuan baru, Karangsong mengalami kemajuan. Pelabuan ini sudah ada sejak tahun 90-an, akan tetapi mengalami perbaikan pada tahun 2004, dan pada tahun 2008 pelabuan ini sudah menjadi pelabuan dengan omset terbesar se-Jawa Barat. Sebagai pelabuan Karangsong memiliki daya tarik investor yang tinggi, sehingga menimbulkan geliat ditingkat  civil. Berbagai pemain baru dengan modal besar menanamkan investasinya baik berupa pembelian kapal atau jual-beli ditempat Pelelangan Ikan. Dampak dari kemajuan tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga wajar jika mayorita penduduk karangsong adalah nelayan. 


            Ratusan kapal besar dan kecil mendaratkan ikannya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) peisir karangsong. Biasanya pelelangan dimulai pada pagi hari sampai pada siang hari. 60% distribusi ikan di kirim ke Jakarta dan di susul 40%nya ke bandung, tasik, tegal, Cirebon dan subang. Jika di total omset TPI mencapai 78 milyar rupiah per tahun. Dalam sehari TPI bisa mencapai omset 800 juta dengan rata-rata ikan sebanyak 70-100 ton/hari. Sehingga wajar saja jika pelabuan karangsong menjadi pelabuan terbesar dan tersukses di jawa barat.
            Kondisi Geografis karangsong adalah 0,5 Mdl ketinggian dari permukaan laut. Banyaknya Curah Hujan pertahun bisa mencapai 200 mm, ini menunjukan intensitas curah hujan di Karangsong cukup. Tofografi daerah karangsong termasuk datar, hal ini yang memungkinkan segala bangunan dan arsitektur yang dibuat masyarakat tidak banyak menyulitkan masyarakat. Suhu udara rata-rata mencapai 29 ºC, suhu yang terbilang umum untuk daerah pantai di pulau Jawa yang notabennya subtropis.  Jarak Desa Karangsong ke pusat Pemerintah seperti Kecamatan/administrasi mencapai 5,00 Km, jarak ini sama dengan jarak dari desa karangsong ke Pusat Pemerintah Kabupaten, yaitu 5,00 Km.

            Untuk masalah pertanahan, desa karangsong memiliki Bangunan Umum seluas 1.595 Ha. Total luas Empang dan Tambak yang terdata di desa mencapai 202. 067 Ha. Perladangan mencapai, 2750 Ha. Tegalan mencapai 204 Ha. Sedangkan untuk luas pemukiman dan Penduduk seluas 20,562 Ha. Untuk Jalur Hijau, karangsong memiliki jalur hijau mencapai 47 Ha dan memiliki 3 titik Tempat Pemakanam Umum atau kuburan.

            Penelitian ini sendiri akan mendeskripsikan tentang konsep ruang kewargaan (civic space) [dipinjam dari A. Daniere dan M. Douglass (2009)] di masyarakat Pesisir Karangsong dalam upaya menciptakan kemandirian. Masyarakat pesisir pantai Karangsong adalah masyarakat yang kreatif dan memiliki karakter pekerja keras. Potensi ekologis yang terdapat di Karangsong menciptakan roda ekonomi yang sesuai dangan potensi lokalnya. Berbagai macam bentuk kemandirian ini terlihat dari banyaknya lapangan pekerjaan dibidang ekonomi kreatif yang tercipta di ruang sosial yang mereka (masyarakat) ciptakan sendiri.

            Secara sosiologis, ruang sosial adalah dasar dari berbagai bentuk komunitas yang mengadakan interaksi. Dari interaksi-interaksi tersebut meyebabkan terjadinya relasi antara pengetahuan dan kuasa (Zielniec 2007:128). Kemandirian tersebut tidak berdiri sendiri, berbagai konflik muncul untuk merebutkan sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis.  Konflik tersebut muncul baik ditingkat macro (antara pengusaha dan Negara) dan ditingkat micro (civil dengan civil), hal tersebut membuat sumberdaya alam menjadi satu hal yang sangat berarti bagi kelompok-kelompok kepentingan. Relasi antara ruang dan kekuasaan ini kemudian bersitegang dengan kebutuhan masyarakat. Bagi masyarakat Karangsong, Negara hannya menyediakan market untuk pemilik kapal besar dan pengusaha, sehingga masyarakat ditataran micro terpaksa membuat ruang kewargaannya sendiri.

            Sebagai pelabuan terbesar di Jawa Barat, Karangsong membuat geliat civil yang meningkat tiap tahunnya. Pemerintahan daerah dituntut untuk memberikan inovasi dalam rangka mensejahterakan masyarakat karangsong dan sekitar. Besarnya pemasukan dan omset di Karangsong tidak berbanding dengan fasilitas yang ada, sehingga berbagai konflik ruang sosial dalam perebutan sumberdaya tidak terhindarkan. Kemudian ditataran mikro, masyarakat membentuk ruang kewargaan sendiri, terlepas dari peran pemerintah dan pasar. Disililah konsep civic space lahir.

            Dalam penelitian ini, penulis akan memetakan konflik yang terjadi di Karangsong dalam upaya perebutan sumberdaya ekonomi, diataranya konflik di tingkat nelayan, konflik antara nelayan dan pasar, pasar-negara dan nelayan. Sumber ekologis ini melahirkan pergesekan konflik di berbagai tingkat meskipun dalam tataran nelayan (micro) tidak terlalu besar. Pertikaian besar terjadi di tingkatan pasar dan Negara dimana nelayan menjadi korban dari konfik tersebut. Hal ini tentu berdampak pada pemasukan mereka. 

            Masyarakat Karangsong dan desa sekitarnya adalah masyarakat yang terampil berlayar dan membuat kerajinan perahu, baik perahu besar maupun kecil, wajar saja jika notabennya masyarakat pesisir karangsong  tidak lepas dari pekerjaan di sekitar pesisir dan lautan. Sejalan dengan, Kusnadi ia mengungkapkan tentang karekteristik sosial budaya masyarakat pesisir salah satunya adalah Etos kerja yang tinggi, hal ini kemudian menjadi dasar lahirnya kemandirian masyarakat dengan memanfaatkan ruang publik yang mereka ciptakan sendiri terlepas dari peran pemerintah dan pasar.
 
            Pasar dianggap gagal memberikan lapangan pekerjaan yang membawa masyarakat pada kesejahteraan. Mereka cenderung mementingkan market dan penambahan kapital. Hal ini berdampak pada kesejahteraan nelayan karangsong. Relasi kekuasaan dari interaksi sosial ini kemudian menumbulkan berbagai konflik kepentingan, baik masyarakt di tataran mikro atau Negaran dan Pasar pada tataran makro. Dampaknya bermuara semua ke masyarakat, civil menjadi korban dari pertikaian dan konflik kepentingan ini. Adapun negara dan pasar berdamai, itu semata-mata akibat adanya kepentingan yang memeiliki kapital material. Masyarakat pada tataran makro hannya menjadi korban. Anehnya mereka sulit melawan, dan kemudian mencari ruang sosial yang sekiranya bisa melepaskan dahaga phiscologis dan ekonomi mereka yang begitu penat.  

            Negara dipandang tidak bisa berbuat apa-apa, akibat sumber keuangan yang terbatas sehingga cenderuh hannya bantuan yang sifatnya sementara. Negara Indonesia juga diharapkan tidak hannya mencari citra pada Negara maju –dengan meninabobikan market, tetpai juga harus memperhatikan dampak ekologi dan kebudayaan masyarakat pesisir. Karena bagaimnapun juga pembangunan tidak memiliki makna universal, jika tidak membangun dirinya sendiri, melainkan hannya pada pembangunan sesuatu yang dalam kasus ini adalah kehasan ekologis tertentu.

            Selanjutnya tulisan ini juga menjelaskan bagaimana posisi civil dalam terbentuknya  civic space sebagai ruang baru nelayan. Baik itu nelayan sendiri selaku civil society, pasar (market) atau Negara. Masing-masing memiliki peran dan kontribusinya sendiri dalam menghidupkan perekonomian.

            Terakhir tulisan ini akan menjelaskan bagaimana ruang kewargaan nelayan yang real dan bisa dinikmati sebagai satu yang dimiliki bersama. Ruang ini kemudian menjadi tempat berbagi dan melahirkan solidaritas ditingkan nelayan kecil. Karen abagai manapun juga pelabuan karangsong juga memiliki klasifikasi kapal yang juga menentukan jumlah pendapatan dan lamanya berlayar, ada juga pembagian kerja yang jelas untuk kapal yang lebih modern. Solidarita ini terbentuk dilaut dan menjadi satu ikatan emosional yang sangat hangat sehingga pelabuan sendiri memiliki nilai yang sangat penting bagi nelayan.

Salah satunya dalam tingkatan nelayan adalah dengan budaya minum alkohol dan dandutan, hal ini di anggab sebagai pelepas dahaga dan jamu bagi mereka agar mereka bisa bekerja kembali dengan baik, atau semat-mata untuk melepaskan tekanan yang  ada dalam diri mereka. Bagi mereka itu semua bukan hura-hura, minuman atau dandut keliling yang mereka peroleh semua dari patungan bahkan ikan sisa yang ada dikalap kerap kali ditukar untuk dibelikan minuman. Relasi civil socety pada tataran micro, peopel vis peopel tidak begitu ketara. Kebersamaan ditataran ABK (anak buah kapal) sangat kuat dan kental, bahkan menimbulkan Solideritas organik (Emil Durkehim). Justru kontestasi dan perebutan ruang sosial lebih banyak di laut itu juga dengan nelayan-nelayan nusantara, bukan sesama nelayan Song. Disini munculah konsep viesta extravaganza nelayan dan ruang kewargaannya guna melupakan sejenak tekanan ekonomi dan memuaskan dahaga phiskologisnya.

Untuk data tambahan sebagai temuan lapangan akan dideskripsikan tentang bagaimana ekosistem dipelabuan dan lautan. Dalam temuan lapangan terlihat bahwa aktifitas kapal-kapal besar dan PT.Pertamina berpengaruh pada ekositem yang ada di karangsong dan menimbulkan degradasi lingkungan yang berakibat pada matinya usaha petani tambak. Selain itu akan di jelaskan juga bagaimana usaha-usaha perbaikan lingk,ungan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahan desa.

Degradasi lingkungan berdampak pada nelayan tambak, dimana nelayan tambak mengalami pasang surut dalam mencari penghasilan akibat akitifas nelayan kapal besar/modertn. Dulu dalam sehari petani tambak bisa menghasilkan udang atau kepiting 3 kg perhari, sekarang sudah tidak lagi. Ini akibat aktifitas kapal besar yang sering melakukan pencearan lingkungan seperti membuang oli sembarangan dan putaran kipas kapal besar yang membunuh telur-telur udang dan biota disekitar pantai, akibatnya penghasilan petani tambak berkurang akibat siklus alamiah –modal alamnya rusak.

      Selain itu aktifitas pabrik pertamina menyumbang dampak yang besar terhadap berlangsungnya kehiduan petani tambak. Plangton/makanan ikan pergi atau mati akibat aktifitas pabrik pertamina. Sekarang petani tambak harus membeli pangan ikan bandengnya. Sebelum masuknya kapal-kapal besar dan berdirinya PT.Pertamina, petani tambak hannya memberikan makan ikannya sebanyak 2-3 kali dalam 1 bulan. Sekarang hampir tiap hari patani tambak harus memberikan makan ikannya, ditambah lagi harga pangan ikan dirasa cukup mahal. Usaha usaha yang dilakukan masyarat dalam memperbaiki lingkungan terbilang cukup baik dan menarik, dimana merak berusaha melakukan penanaman pohon disekitar pantai untuk menambah kelestarian pantai dimana perbaikan tersebut berupaya merangsang pariwisata di karangsong.

   Berbagai macam aturan dan upaya pelestarian dilakukan, Karena bagaimanapun juga pantai, laut dan sungai selain menjadi ruang lingkungan yang memiliki dampak kesehatan ia juga menjadi sumber ekonomi bagi nelayan dan petani tambak, sehingga keberadaanya harus tetpa di jaga dan dilestarikan. Sayangnya tidak semua memiliki kesadaran akan pentingnya laut, sungai dan pantai, sebagai kapital-ekologi, kebanyakan mereka berorintasi hannya pada nilai materialinya saja. Contohnya aktifitas meyarakat membuat perahu besar dipinggiran sungai yang dapat menggangu aktifitas pengerukan dan penggalian sungai dengan alat berat. Akibatnya pengerukan dan penggalian jadi tidak maksimal. Juragan dan nakodah sering juga di undang dalam seminar dan sosialisasi terail tingkunan, hannya saja Anak Buah Kapal sering tidak di libatkan sehingga, sebaik apapun penyusunan program ABK hannya di jadikan sebagai subejk dari pembangunan dan tidak memberikan nilai yang berarti bagai lingkungan, karena bagaimanapun juga yang menjalankan pererjaan adalah ABK dan buruh kapal.

 Desa bersama lembaga Pantai lestrai berusaha memberdayakan potensi alam dengan tetap memperhatikan permasalahan ekologis pantai. Akan tetapi peran dan dinergisitas ataran civil society kurang berjalan baik, sehingga bembangunan terkesan asimetris. Harapannya usaha malukukan perbaikan ekosistem di desa karangsing ini kemudian berdampak pada masyarakat into sendiri, terutama untuk ia yang memang menggantungkan nasipnya dengan lingkungan yang baik dan sehat.

Penelitian ini selain mengkaji konsep civic space, baik konflik dan bentuk civic space-nya penelitian ini juga mencoba melihat dampak ekologis yang terjadi dan usaha pelestariannya sebagai data tambahan. Akan tetapi focus penelitiannya adalah civic sepace dan ruang kewargaan nelayan pesisir Karangsong Indramayu.

Sumber Referensi

Buchanan, Robet Angus. (2006) “Sejarah Teknologi,” Yogyakarta: Pall Mall

Hettne, Bjorn. (2003), “Teori Pembanunan dan Tiga Dunia,” Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Mitchell, Bruce. B. Setiawan dan Hadi Rahmi, Dwita, (2003) “Pengelolahan Sumber Daya          Lingkungan,”  Jogyakarta : UGM Press

Daniere, A dan Douglass, M. (2009). “Urbanization and Civic Space in Asia”. Dalam A. Daniere   M. Douglass (Eds.). The Politics of Civic Space in Asia: Building Urban Communities. New York: Routledge.

Dwi Sosilo, Rachmad K. (2012), “Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam”, Ar-Ruzz        Media: Jogyakarta

Emil, Salaim, “Membangun Keberlanjutan Pemabngunan” dalam pidato penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX Tahun 2003, 20 desember 2003. Hlm 6-9

Emil, Salaim. “Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi” Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Fakih dalam noam Chomsky, (2001), “Amerika Serika Dan Dunia Ketiga Pasca Perang   Dingin”  Dilli: Sa’he Institute for liberation

Fatchan, 2004, “Teori-Teori Perubahan Sosial: Dalam Kajian Prespektif Dan Empiric Pada         Proses Pembangunan Pertanian,” Surabaya: Luftansah Mediataman

Van Klinken, Gerry, 2007, “Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi Di        Indonesia,” KITLV dan Yayasan Obor Indoneisai: Jakarta

Habermas, Jürgen “The Public Sphere”, dalam C. Mukerji dan M. Schudson (eds). 1991. Rethinking Popular Culture. Berkeley: University of California Press.

Harry, Hikmat, 2006 “Strategi Pemberdaaan masyarakat” Bandung: Humaniora Utama   Press

Jim ife dalam Zubaedi, 2008 “Wacana Pembanguan Alternative: Ragam Perspektif Pembanguan dan Pemberdayaan Masyarakat,” Jogyakarta : Ar-Ruzz media

Ichsan, Malik, (2003) “Menyeimbaknan Kekuasaan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik          Sumber Daya Alam,” Jakarta: Yayasan Kemala

Ramli, Soehatman, (2010), “Pedoman Praktis Manajemen Bencana,” Jakarta; Dian Rakyat

Sunirtiningsih, Agnes (Ed.), (2004), “Strategi Pemberdayaan Masyarakat” (Yogyakarta: Aditya Meida dan Jurusan Sosaitri, FISIPOL UGM)

Edi D. Suharto 2005 “Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat” hlm 59  

Sukehiro hasegawa dalam FUWA Yoshitaro, (2001) “Evolving concepr of peace bulding: natural Resource Management for Conflict Prevention” Tokyo: FASID

Hadi, Malik dan Widjajanto, andi. (2007) “Disintergarasi Pasca Orde Baru: Negara. Konflik Lokal 
Dan Dinamika Internasional,”  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Purba, Jonny (Ed), (2002), “Pengelolahan lingkungan Sosial,” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Yusuf, Maftuchhah (2000), “Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan,” Jogyakarta:       Lembaga Studi dan Inovasi Pendidiakan



[1] Mahasiswa Program Studi Sosiologi Pembangunan, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2009

1 komentar:

Gurnadi mengatakan...

tulisan ini masih dalam proses pengembangan, tunggu publis selanjutnya ;)

Posting Komentar