Rabu, 21 Februari 2018

APBD DI TAHUN POLITIK


Pembicara: Endi Jaweng, Yenny Sucipto, Ray Rangkuti, Gulfino C., dan Gurnadi R.
Konpers SEKNAS FITRA APBD di Tahun Politik.

Pilkada serentak pada tahun 2018 menyajikan 574 pasang calon kepala daerah yang tersebar di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Berdasarkan data olah FITRA, dari 574 pasang calon kepala daerah, 38% merupakan pejabat eksekutif dan legislatif, sedangkan pejabat yang merupakan kepala atau wakil kepala daerah seperti bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, gubernur, dan wakil gubernur mencapai 19%. Pejabat daerah tersebut tidak semua menjadi Incumbent, ada juga yang menyalonkan diri ke jenjang kebih tinggi seperti bupati/ walikota mencalonkan menjadi gubernur, atau mencalonkan diri di wilayah lain.


Banyaknya kepala daerah dalam pilkada tentu harus dikawal dengan baik karena berpotensi memanfaatkan jabatan, hal tersebut tentu akan mencoreng nilai demokrasi apa lagi sampai mengorbankan kepentingan publik seperti penyalahgunaan anggaran APBD untuk kepentingan pilkada. Berikut adalah modus-modus politisasi APBD ditahun politik:

1. Mark down PAD

Calon kepala daerah yang berasal dari pejabat publik terutama incumbent, berpotensi memanfaatkan APBD untuk kepentingan pilkada, seperti me-mark down Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk modal pemenangan. Walaupun banyak faktor yang membuat PAD menurun, tetapi kita juga patut mengawasi daerah yang terjadi penurunan PAD menjelang tahun politik, apa lagi penurunan PAD tersebut signifikan.

Berdasarkan data olah FITRA di provinsi peserta pilkada, rata-rata mengalami penurunan PAD mencapai 7% dari total belanja pad atahun 2017. Sedangkan berdasarka nilai penurunan Prov Jawa barat, Prov Jawa Timur, dan Prov Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki nilai penurunan terbesar rata-rata mencapai Rp 7,2 miliar. (LAMPIRAN 1).

sedangkan, kota Bandung pad tahun 2016 memiliki PAD sebesar 2.153 miliar di tahun 2017 hannya mencapai Rp 978 miliar atau turun sebesar 45%. Kota Bekasi pada tahun 2016 memiliki PAD sebesar  Rp 1.607 miliar, pada tahun 2017 hanya memiliki PAD sebesar Rp 677 miliar atau turun sebesar 42,2%, dan Kota Tangerang pada tahun 2016 memiliki PAD sebesar Rp 1.590 miliar, pada tahun 2017 hannya mencapai Rp 664 miliar atau turun sebesar 41,8%. (LIHAT LAMPIRAN 2).

Di tingkat kabupaten, terdapat dua daerah dengan tingkat penurunan PAD terbesar yaitu di Kab bogor dengan persentase penurunan sebesar 55% dan Kab Tangerang dengan persentase penurunan sebesar 52%. (LIHAT LAMPIRAN 3).

2. Memanfaatkan Belanja Hibah-Bansos

Tidak hannya perbaikan infrastruktur, peningkatan belanja sosial pada sektor yang berpotensi mengundang simpati publik menjelang pilkada patut menjadi sorotan. Hal tersebut tentu dapat merugikan publik luas karena bisa jadi proses tersebut tanpa didasari oleh aturan dan terkesan mengorbankan hal yang lebih prioritas. Menurut data olah FITRA terdapat 9 daerah yang meningkatkan belanja hibh dn bansos di tahun 2017 rata-rata 9 daerah tersebut meningkatkan belanja bnsos sebesar 35,4% menjelang pilkada.


3. Memanfaatkan SILPA

Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) merupakan selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Belajar dari kasus Kepala daerah Situbondo pada tahun 2007, dimana uang kas daerah (Kasda) yang disimpan di bank (BUMN) sebesar Rp 43,7 miliar hilang, Uang kas daerah tersebut merupakan Silpa tahun 2005. Bupati Situbondo mendeposikan dan menginvestasikan dana kas daerah (dari Silpa). Pemanfaatan silpa merupakan penyalahgunaan wewenang, berikut adalah SILPA terbesar provinsi (LAMPIRAN 4).

4. Penyalahgunaan Suntikan Dana ke BUMD

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan perusahan daerah yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah daerah. Salah satu tujuan didirikannya BUMD adalah untuk berkonntribusi meningkatkan pendapatan daerah. Menjelang tahun politik BUMD juga sering dijadikan alat bancakan  salah satu modus yang dilakukan adalah suntikan dana ke BUMD. Tidak adanya prosedur yang jelas dalam peraturan perundang-undangan mengenai dana investasi, laba, dan deviden seringkali dimanfaatkan untuk dijadikan bancakan. Selain itu, investasi daerah sering tidak didasarkan pada alasan dan pertimbangan yang jelas. Ada sejumlah kasus beberapa BUMD yang disuntik dana oleh pemerintah daerah, namun dalam laporannya sama sekali tidak memberikan kontribusi pendapatan daerah. Suntikan dana juga sangat rawan mengelembung ditahun politik, memingat momentum politik ini dijadikan transaksi.

REKOMENDASI:
  1. Meminta KPU/ PANWASLU untuk tegas mendorong calon kepala daerah untuk membuka dana kampaye kepublik (baik incumbent atau non incumbent ), ini merupakan bentuk terobosan transparansi anggaran untuk megurangi potensi politik uang di pilkada.
  2. Mendorong lembaga audit negara atau daerah (BPK dana BPKP) agar tetap netral, apa lagi menjelang pilkada, karena bisa jadi dimanfaatkan oleh petahana dalam upaya melakukan rekayasa keuangan.
  3. Penuruanan PAD di barengi dengan peningkatan belanja tidak langsung, merupakan evaluasi yang harus dilakukan daerah dan calon kepala daerah. Jangan sampai peningkatan dana transfer pusat hannya dibelanjakan untuk belanja birokrasi sehingga porsi belanja publik dan sektor produktif tidak banyak. Kepala daerah kedepan tentu harus memiliki visi dalam peningkatan pendapatan daerah dan melepas ketergantungan dana transfer daerah.

LIHAT JUGA: 





















LAMPIRAN

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4



0 komentar:

Posting Komentar