Tema : Fenomena Urban
Meledaknya Urban dan Bertambahnya Penduduk Miskin
Kota
Memasuki abad
milenium kedua, sebagian besar negara periferi makin mendongkrak pembangunan
dari pusat Ibu Kota sampai ke Desa terpencil. Akan tetapi pesatnya pembangunan
tidak dibarengi dengan pemerataan antara kota dan desa, sehingga pembagunan pun
menjadi asimetris. Angka urbanisasi yang meledak dari tahun-ketahun penulis
rasa juga diakibatkan dari ketidak meratayan pembangunan.
Tingginya tingkat urbanisasi membuat kota
menjadi sarang kriminalitas, banyak hal yang mendorong masyarakat bertindak negatif, hal ini akibat kontestasi pekerjaan yang ketat (persaingan horizontal atau pencarian lapangan pekerjaan), sebagaian orang mengunakan jalan pintas semata-mata untuk memenuhi standar kebutuhan primernya/ terlepas penyakit phiskologis dan sosialisasi lingkungan sosial. Selain itu perkampungan kumuh yang berdiri dipusat dan pinggiran kota mulai meningkat dari tahun-ketahun. Para urban umumnya ketika ke kota tidak memiliki
kemampuan yang memadai sehingga keberadaan mereka hanya menambah kepadatan kota
dan angka kemiskinan. Kebanyakan kaum urban hanya bermodal nekat dan tidak sedikit yang
mengandalkan teman dan saudaranya yang sudah tinggal terlebih dahulu.
Alasan
Logis pergi ke Kota
Menurut penulis bagaimana
penduduk desa tidak melakukan urbanisasi, bila ditempat asal mereka (desa)
tidak ada alat yang bisa membuat mereka berdaya atau pun mampu menghasilkan
pendapatan yang layak, lapangan pekerjaan baik dibidang sumber daya alam/manusia
nampak masih sulit untuk dikelolah dan dimaksimalkan akibat modal yang minim, sehingga wajar bila penduduk desa hijrah kekota semata-maat untuk
melakukan mobilitas vertikal (dengan cara berkerja) meski bermodal nekat.
Sarana dan prasarana
pun masih dibilang seadanya, contoh saja lembaga pendidikan di Jawa Barat,
Kabupaten Kuningan, Kecamatan Subang Desa Subang. Sarana dan prasarana di
sekolah tingkat SD-SMA dirasa sangat memprihatinkan, buku yang dibilang gudang
ilmu nampak tidak menjadi linik vital yang diprihatinkan oleh pemerintah
daerah. Perpustakaannya hanya menyediakan buku-buku kurikulum lama yang
jumlahnya pun tidak banyak, buku-buku penunjang dan umum dirasa masih kurang. Muatan
lokal dan jumlah komputer bisa dibilang masih jauh dari cukup, hal ini
berdampak pada kurangnya SDM yang berkualitas dan kreatif di desa. Dari
penjelasan sederhana diatas penulis menyimpulkan sangat wajar bagi penduduk
desa bila mereka lebih memilih tinggal di kota.
Lembaga pendidikan memiliki andil besar dalam pembangunan daerah, penanaman jiwa kemandirian dan kewirausahaan dirasa bisa menopang bangkitnya industri-industri kecil di daerah -yang berdampak pada menurunya angka urbanisasi. Apa lagi jika lembaga pendidikan mampu menanamkan pendidikan lokal yang mampu menanamkan rasa cinta dan peduli terhadap lingkungannya, pendidikan diarahkan pada wawasan kedaerahan, bukan hannya dalam arti budaya tapi juga potensi lingkungan. Bisa jadi ditahun 2030, desa sebagai pemasok pangan bisa mandul memproduksi pangan.
Pendapat
penulis
Menurut penulis solusi
dari masalah tersebut bisa diselesaikan dengan cara melakukan pembangunan yang
merata dengan cara menerapkan otonomi daerah sesuai dengan prinsip Good
Governance
1.
Partisipasi
masyarakat
2.
Penegakan
hukum yang tegas dan universal
3.
Tranparansi
program-program kerja dan informasi
4.
Kesetaraan
5.
Daya
tangkap ( komunikasi )
6.
Wawasan
kedepan
7.
Pengawasan
yang netral dan adil
8.
Akuntabilitas
9.
Efesiensi
dan Efektifitas
10.
Profesionalisme
Bila pembangunan kota
dan desa sudah merata, angka urabanisasi pun bisa ditekan. Sehingga peduduk
desa tidak lagi menjadikan kota menjadi wahana aduh nasip yang berdapak pada
meledaknya jumlah penduduk kota. Mendorong industri kreatif/ lokal dan pariwisata bisa menjadi solusi asimetrisnya pembangunan dan meledaknya angka urbanisasi.
Oleh : Gurnadi Ridwan PN
Sosiologi FIS UNJ
Staf Pusgerak GF
0 komentar:
Posting Komentar