RESENSI
Judul Buku
|
: Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut
|
Jenis Buku
|
: Nonfiksi (Kumpulan Esai)
|
Judul
|
: Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?
|
Pengarang
|
: Muhammad RidwanAlimudin
|
Penerbi
|
: Ombak
|
Tahun
|
: 2013 (cetakan II)
|
Halaman
|
: 174
|
Kajian kelauatan dan masyarakat pesisir sekarang mulai disadari sebagai kajian yang penting. Negara Indonsesia adalah salah-satu negara yang memiliki sejarah laut yang besar terutama pada zaman Nusantara. Laut tidak hannya menyumbang sendi ekonomi untuk manusia, ia juga menyumbang kekayaan bagi peradaban bahari bangsa. Kekinian laut menjadi sumber ekonomi masa depan, konsep ekonomi biru (Blue Economi) mulai marak dibicarakan. Zona laut kekinian banyak diperebutkan negara-negara tetangga, liat saja pulau Sipan dan Ligitan. M. Ridwan Alimudin mencoba menyadarkan kita tentang pentingnya mencintai laut, khususnya generasi muda. Penulis menyampaikan kumpulan esainya dengan bahasa yang mudah dicerna (popular) tetapi memiliki makna yang sangat kaya. Gagasan yang coba diangkat sangat tidak biasa, ia melihat nelayan sebagai subjek aktif dari pembangunan itu sendiri. Orang darat mengagap orang laut sebagai pelaut ulung atau penakluk laut, pernahkan menjadi nelayan? –gagasan yang menggelitik namun penuh makna. Sebagai seorang penulis, fotografer, dan jurnalis; M. Ridwan Alimudin mengajak kita untuk melihat laut sebagai budaya, laut sebagai mata ekonomi dan laut sebagai alat pemersatu bangsa.
Kepemimpinan laut pernah jaya dan besar dalam waktu yang lama, lihat bagaimana kerajaan dizaman nusantara sangat kuat dalam segi militer, ekonomi dan pembangunan. Inggris, Amerika (NAVY), Itali, Cina, Arab-islam, Colombus dan Marcopolo adalah segelintiran bangsa dan manusia yang besar karena ekspedisi lautnya. Kepemimpinan laut sukses karena karakternya yang terbuka dan tidak pernah ada pemusatan kekuasaan. Sebaliknya budaya gunung cenderung tertutup dan sulit menyesuaikan diri. Jika kita hendak melihat kepemimpinan laut, lihatlah perahu. Untuk menjadi seorang punggawa (Nahkoda) dibutuhkan pengalaman, keberanian dan pengetahuan. Tidak cukup hannya menjadi anak juragan atau pemilik modal, lantas langsung menjadi punggawa atau nahkoda. Mereka harus memulai dari nol, memulai dari menjadi jurumasak atau sawi (Anak Buah Kapal), disinilah bentuk pendidikan laut. Kepemimpinana laut sangat otonom dan terbuka, tetapi disisi lain mereka bisa semi militer. Organisasi diperahu mengajarkan kita tentang disiplin yang ketat dalam kerjasama tim. Kenapa harus kepemimpinan laut? Karena Indonesia adalah Negara kepulauan yang dominan dengan laut, bahkan DKI Jakarta sebagai Ibu kota Indonesia memiliki pesisir dan kepulauan. Adapun kepemimpinan darat ingin diterapkan, itu berbasis tempat saja, jadi tidak semuanya harus laut. Kepemimpinan laut sangat realistis untuk Indonesia yang dominan adalah laut.
Potensi sumber daya laut Indonesia sama besar dengan permasalahan yang ada. Kerusakan akibat modernisasi alat tangkap dan cara tangkap adalah salah satu contoh. Bom dan bius ikan adalah salah satu yang popular di kalangan nelayan kecil. Bahan baku bom didapat nelayan dari malaysia, diselundupkan lewat Kalimantan timur (tawao-tarakan). Ikan-ikan yang di dapat dari bom dan bius ini di jual ke singapura, hongkong, korea selatan, AS dan Eropa. Penjual bom dan nelayan adalah kejahatan Internasional, akan tetapi konsumen yang memakan ikan karang di kedai-kedai atau restoran mewah bukanlah tindak kejahatan. Sama seperti penangkapan ikan karang dan ikan hias adalah kejahatan, akan tetapi pemilik aquarium ikan laut di rumah-rumah atau kantor pemerintahan bukan kejahatan. Adilkah? Dalam teori ekonomi sederhana penawaran ada karena permintaan. Pangkal utama permasalahan adalah permintaan (denaad). Kadang kita sering menjadikan nelayan kecil sebagai kambing hitam, kita jarang melihat dari sisi nelayan yang hidup bergantung dengan laut tanpa modal besar dan akses ekonomi yang memadai –orang laut akan selalu bergantung dengan laut, tinggal bagaimana pemerintah menjadikan nelayan sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri.
M.
Ridwan Alimudin mengingatkan kita pada sebuah kegiatan penting yang tidak
banyak diketahui oleh orang banyak pada agustus 2003. Riset di gugusan pulau
Spermonde (Selat Makasar) dan kepulauan Taka Bonerate dan sekitar (laut
Flores). Kerjasama antara ilmuan Indonesia dan Jepang tersebut bertujuan
melakukan penelitian laut dengan mengunakan perahu Pinisi Cina Laut. Perahu tersebut pernah berjaya pada zaman
nusantara sebagai tulang punggung perdagangan, selain memiliki daya tarik
mistik. Individu yang terlibat didalamnya menjadi hal menarik, indivisu yang
terlibat bisa menjadi tolak ukur dari kepedulian kita terhadap laut. Sebagai
catatan peneliti Jepang diwakili oleh beberapa ilmuan di level dokter dan
profesor, sedangkan peneliti Indonesia hannya diwakili oleh 1 dosen muda, 1
mahasiswa S2, dan 1 mahasiswa S1. Tanpa memandang negatif hal tersebut, M.
Ridwan Alimudin memebrikan sebuah otokritik terhadap kita, kenapa kita tidak
pernah peduli pada kebudayaan bahari kita?, kenapa orang asing bisa lebih
peduli, serius dan mempunyai ide-ide ketimbang kita?. Kepana kiat tidak bisa
memiliki ide bahkan menghujutkan ide-ide kebaharian kita. Kita cenderung
memilih apa hal tersebut menguntungkan atau tidak, bahkan hannya mencari tujuan
politik tertentu.
Kesimpulan&Penutup
Buku berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? Sangat layak dibaca,
khsusnya bagi generasi muda di Ibu Kota.
Penulis banyak menceritakan laut di Sulawesi, akan tetapi pengalaman berkunjung
di kampung nelayan (Muara angke
Jakarta), mengajarkan kita bahwa Jakarta tidak hannya daratan dan sungai. Laut
dan pesisir adalah bagian dari Jakarta, yang
kadang terlupakan. Sepanjang marunda,
muara angke, muara baru, ancol, dan
kepulauan seribu adalah bagian dari Jakarta. Sangat bijak jika pembangunan Ibu kota juga memperhatikan
aspek pesisir dan laut.
* Di sajikan dalam acara bedah buku di Forum Diskusi FIS UNJ, Maret 2015.
0 komentar:
Posting Komentar