Menjelang pergantian tahun, masyarakat Indonesia
disibukan dengan kegiatan-kegiatan sakral tahun baru, ada yang mencari hiburan,
berlibur keluar kota dan ada juga yang bersantai di rumah bersama keluarga.
Memasuki pergantian tahun penulis merasa kita bangsa Indonesia harus lebih
memaknai pergantian tahun ini sebagai refleksi dan renungan atas apa yang sudah
bangsa ini lakukan untuk Indonesia.
Sepanjang tahun 2012 konflik sosial meningkat,
ditemui 89 kasus koflik sosial dari masalah koflik SARA, ormas, institusi
pendidikan, konflik karena kesenjangan sosial, sengketa lahan, sengketa
kewenangan dan PEMILU KADA. Oleh sebab itu bangsa ini perlu melakukan
pencegahan atau diteksi dini guna meminimalisir konfik bahkan menyelesaikan
permasalahan yang terjadi, jika tidak maka bisa jadi kestabilan dan semangat kebangsaan
ini bisa pudar dan hilang bersama percikan kembang api di atap indonesia.
Masalah korupsi yang menggurita juga menjadi
momok bangsa ini, jelas korupsi harus di perangi. Kita juga harus bisa mengukur
seseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dampak korupsi sangat besar
bagi terhambatnya kemajuan bangsa, selain terbengkalainya pembanguan fisik, dan
mandeknya demokrasi, korupsi juga menyumbang hancurnya perekonomian dan
penegakan hukum yang nantinya berdampak pada pelayanan masyarakat. Jika
pemerintah sudah tidak bisa menjadi pelayan bagi masyarakatnya, maka peran
pemerintah menjadi tidak bermakna. Ketidak seriusan pemerintah memberantas
korupsi sama saja membiarkan tumor di dalam tubuh bangsa.
Memasuki
tahun baru ini, mari bersama kita renungkan apa yang sudah bangsa ini lakukan
dan berfikir kedepan ingin melakukan apa?, yang jelas bangsa dan Negara ini
harus menjadi lebih baik. Bersamaan dengan itu, perlu rasanya ditahun baru ini
kita bangkitkan kembali rasa optimis untuk Indonesia yang sudah masuk dalam lorong
gelap ketidak pastian. Segala mitos-mitos negatif tentang Indonesia harus dipatahkan,
seperti Indonesia adalah Negara koruptor, Indonesia adalah Negara amburadul dan
lain sebagainya. Tentu saja tidak dengan kata-kata saja, tapi harus tercermin
dalam prilaku dan keseharian kita. Kita bahkan pemerintah harus berdiri di
garda terdepan.
Mengambil terminologi
Amitai Etzioni tentang “komunitas responsif”, bangsa ini perlu menumbuhkan komunitas-komunitas
yang peduli dan memiliki nilai-nilai positif seperti rasa toleran, rasional,
pemberani, tanggung jawab, adil dan jujur. Dengan komunitas responsif kita
harus mengindari terbentuknya lingkungan yang represif dan menolak
individualisme yang sudah menggerus kebersamaan (solidaritas sosial). Indikator
kecilnya adalah memudarnya gotong-royong, kebersamaan dan kerja bakti
dilingkungan masyarakat yang dulu kita anggap sebagai nilai luhur, bahkan
dengan kebersamaan kita bisa mengusir penjajah tapi krisis moneter yang melanda
kita di tahun 90, menunjukan kita belum kuat menjadi bangsa.
Di tahun
baru ini pemuda sebagai eleman terpenting dari bangsa ini harus hadir mengawal
dan memberi kepastian. Pemuda tidak boleh larut dalam ceremony tahun baru. Pemuda sebagai penerus perjuangan harus bisa
mengisi sendi-sendi keindonesiaan yang hari ini kosong. Sebagai pewaris
peradaban, pemuda perlu kembali memotori pergerakan layaknya faunding father terdahulu. Para pendiri
bangsa adalah pemuda di zamannya, sedangkan para politisi hari ini kebanyakan
orang tua. Oleh sebab itu perlu rasanya pemuda mengambil peran yang dulu pernah
dipegang oleh pemuda, bahkan berani merebut kembali nahkoda bangsa dan mengendalikannya
menuju cita-cita bersama, menuju pulau impian atau menuju visi agung.
Bersama
dengan merah, kuning, hijau dan warna-warni kembang apai di langit Indonesia,
pemuda harus lebih bisa mewarnai dan menerangi bangsa ini dari malam yang
panjang. Cahaya pemuda bukan cahaya yang mudah hilang dalam sekejab, tapi
cahaya yang abadi dilangin Indonesia yang terus membawa inspirasi bagi yang
melihatnya. Sejatinya bumi Indonesia tersinari dengan dua cahaya besar pertama
adalah cahaya mentari dan kedua adalah cahaya yang lahir dari semangat para
pemuda.
0 komentar:
Posting Komentar