Oleh: Erianjoni, S.Sos, M.Si
(Prodi Pendidikan
Sosiologi-Antropologi FIS UNP Padang)
ABSTRAK
Persoalan tentang buku teks
dalam kebijakan kurikukulm baru menjadi sesuatu yang krusial untuk menjadi
sebuah diskusi. Selain menuai banyak kritikan tentang kesiapan pelaksanaan
Kurikulum 2013, isu pengadaan buku teks yang bersifat sentrilstik dan
pembuatannya yang terkesan cepat dipandang oleh banyak fihak akan menjadi
masalah baru, walaupun sistem penyeragaman ini dipandang untuk menghindari
kesalahan konsep seperti buku teks yang sebelumnya dibuat oleh penerbit swasta
dan membantu program pendidikan murah tetapi ada persoalan teknis dan non
teksnis lain yang barangkali luput dari kacamata pengamat yang diprediksi akan
memperburuk implementasi kurikulum 2013 tersebut.
A. PENDAHULUAN
Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Sosiologi berubah menjadi Sosiologi
dan Antropologi. Sebenarnya format serupa sudah pernah ada pada kurikulum 1984,
barangkali kita bisa melakukan kilas balik kembali seperti apa mata pelajaran
itu seperti di masa lalu. Tetapi pada Kurikulum 1994 Sosiologi dengan
Antropologi menjadi terpisah, sedangkan Kurikulum SMA 2004 dan KTSP 2006,
Sosiologi diajarkan di Program IPS saja, sementara Antropologi menjadi mata
pelajaran utama di program Bahasa. Di rencana Kurikulum 2013, Sosiologi dan
Antropologi akan menjadi salah satu pelajaran kelompok peminatan IPS, sedangkan
Antropologi di peminatan Bahasa.
Salah satu hal yang menjadi esensi Perubahan kurikulum KTSP ke
kurikulum 2013 harus dibarengi dengan peningkatan kemampuan guru dalam
mengimplementasikan program tersebut di lapangan. Guna memaksimalkan perubahan
kurikulum tersebut tidak cukup dengan sosialisasi tetapi perlu adanya
pembenahan di berbagai sarana dan prasarana pendukung program itu khususnya
buku teks baik bagi guru ataupun bagi siswa. Jika sarana pendukung seperti guru
tidak diberi pemahaman yang memadai terhadap kurikulum ini, maka
implementasinya akan terjadi seperti kurikulum sebelumnya. Sedikitnya ada dua
faktor besar dalam ke berhasilan kurikulum 2013. Pertama, penentu, yaitu
kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dengan kurikulum
dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan
buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pembentuk
kurikulum; (ii) penguatan peran pemerintah daam pembinaan dan pengawasan; dan
(iii) penguatan manajemen dan budaya sekolah (skpd.batamkota.go.id)
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan telah menyusun buku pegangan
untuk kurukulum 2013. Rencananya, tanggung jawab buku tersebut akan terpusat
pada tim penyusun yang dibentuk Kemendikbud. Penerbit-penerbit lain hanya akan
memiliki hak untuk menggandakan bukan untuk menulis buku baru. Menurut
Mendikbud M. Nuh sperti dilansir (news.
detic.com) “Buku tidak kita serahkan ke siapa pun, tapi oleh tim yang kita
bentuk sendiri. Harus ada penanggung jawab yang utama, yang lain cuma tinggal
mencetak saja. Kita pastikan dulu ini beres, urusan siapa yang mencetak itu
urusan belakangan. Hal ini dilakukan aga kebijakan pertanggungjawaban terpusat
atas buku pegangan guru dan siswa diimplementasikan untuk menanggulangi
kesalahan penerbit-penerbit buku pelajaran. Selain itu dengan ditetapkannya
satu buku acuan bagi peserta didik, maka akan meringankan siswa-siswi sendiri
dalam membeli buku. Selama ini siswa-siswi masih dibebani dengan buku Lembar
Kerja Siswa (LKS) yang harus dibeli terpisah.
Di samping
itu kebijakan ini dapat ditafsirkan kebijakan, sekaligus menandai berakhirnya
era Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang pernah diterapkan oleh Mendiknas,
Bambang Sudibyo, sejak tahun 2007 yang lalu. Permendiknas Nomor 46 Tahun 2007,
Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008 pun diluncurkan untuk memuluskan langkah dan
terobosan baru yang memiliki jargon “buku sekolah murah untuk rakyat” .
Di tataran mikro seperti mata pelajaran seperti sosiologi
dan Antropologi, pengadaan buku teks sosiologi diperkirakan juga akan menimbulkan banyak persoalan.
Selain terintegrasinya sosiologi dengan antropologi dalam satu mata pelajaran, juga masalah penting yang muncul kepermukaan seperti
ditemukan juga materi ajar sosiologi di tingkat SMA/ MA yang ada pada buku
paket, buku ajar, LKS dan lain-lain cenderung bersifat generalis atau
sentralis, sehingga tidak menyentuh aspek lokalitas (local wisdom dan local
knowledge), selain itu kurangnya pengetahuan guru dalam menghubungkan
antara materi dengan kontekstual masyarakat, sehingga hanya terkesan menjejal
siswa dengan materi-materi yang padat, akibatnya hanya mengarah pada upaya
mengisi ranah kognitif siswa, sedangkan upaya pembentukan ranah afektif (sikap dan karakter sosial) dan
psikomotor (keterampilan sosial) terabaikan (Erianjoni, 2012: 8)
Selain itu penulis melakukan analisis pada beberapa
sumber belajar sosiologi seperti buku teks sosiologi terbitan percetakan
nasional seperti: Erlangga, Tiga Serangkai, Esis dan Phibeta, materi sosiologi
pada buku tersebut terlalu generalis non kontekstual padahal telah dikaji oleh
BNSP. Konsekuensinya pada ditataran epistemologi ”legitimasi sosiologi sebagai body
of science mengalami kemandekan di Indonesia dalam mencari relevansi sosial
maupun intelektual, sehingga cenderung terjadi the poverty of sociology”. Ditataran praksis guru dan siswa
teralienasi dengan materi yang diajarkan karena tidak menyentuh aspek lokal dan
kontestual lingkungan sosial dimana guru dan siswa berada.
Berangkat dari persoalan kurikulum dan buku teks
sosiologi dan antropologi, maka penulis tertarik membahas isu tersebut dalam
artikel ini, sebagai bahan diskusi dan argumentasi dalam memikirkan
persoalan-persoalan pendidikan khususunya sosiologi dan antropologi. Sebetulnya
banyak persoalan lain yang mesti kita bahas terkait tentang kesiapan PBM,
media, evaluasi dan paradigma pembelajaran termasuk sumber daya yang tersedia
di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan), tetapi masalah buku teks menjadi
esensi menyonsong perubahan kurikulum 2013 ini.
B. BUKU TEKS
1.
Konsep Buku Teks
Beberapa pengertian
buku teks dikemukakan oleh para pakar ya seperti menurut Hall-Quest (dalam
Tarigan 1986:11). Menurutnya buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun
untuk maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional. Lain lagi dalam pandangan Lange
(dalam Tarigan 1986:11), ia menjelaskan bahwa buku teks merupakan suatu buku
standar, buku setiap cabang khusus dan studi dan dapat terdiri dari dua tipe
yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan. Dapat disimpulkan bahwa buku teks
adalah buku pelajaran yang disusun oleh para ahli atau pakar dalam bidangnya
untuk menunjang program pengajaran yang telah digariskan oleh pemerintah.
Penyusunan buku teks sosiologi dan antropologi SMA/MA dalam kurikulum 2013
disusun secara sentralistik (top-down)
oleh negara dalam hal ini Kemendikbud.
2.
Fungsi buku teks
Kedudukan
buku teks sebagai salah satu sumber belajar di sekolah dan salah satu media
menyamoaukan materi/ kurikulum memiliki peran atau fungsi. Menurut Green dan
Pretty (dalam Tarigan, 1986) Fungsi dan peranan buku teks itu yaitu: (a)
mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran
serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan, (b)
menyajikan suatu sumber pokok masalah yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi
yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi
program-program kegiatan yang disarankan dimana keterampilan-keterampilan
ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang
sebenarnya, (c) menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap
mengenai keterampila-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok
dalam komunikasi, (d) metode da sarana penyajian bahan dalam buku teks harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya harus menarik, menantang, merangsang,
bervariasi sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari buku teks
tersebut, (e) menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan
juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis, (f) di
samping sebagai sumber bahan buku teks juga berperan sebagai sumber atau alat
evaluasi dan pengajaran remidial yang serasi dari segi fungsi dan tepat guna
dalam segi pencapaian. Adapun fungsi buku teks bagi guru dipandang sebagai
pedoman untuk mengidentifikasi apa yang harus diajarkan atau dipelajari oleh
siswa, mengetahui urutan penyajian bahan ajar, mengetahui teknik dan metode
pengajarannya, memperoleh bahan ajar secara mudah, mdan menggunaknya sebagai
alat pembelajaran siswa di dalam atau diluar sekolah (Krisanjaya 1998:85).
Selanjutnya
fungsi buku teks bagi siswa adalah sebagi sarana kepastian tentang apa yang ia
pelajari, alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh ia
telah menguasai materi pelajaran, alat belajar (di luar kelas buku teks
berfungsi sebagai guru) di mana ia dapat menemukan petunjuk, teori, maupun
konsep danbahan-bahan latihan atau evaluasi (Krisanjaya 1998:86). Dalam
kurikulum 2013 terdapat dua jenis buku yaitu buku siswa dan buku pengangan guru
yang diakomodasi dan diberikan oleh negara secara gratis.
3.
Kriteria Buku Teks Berkualitas
Kualitas buku
teks berkaitan erat dengan kurikulum yang sedang berjalan. Buku teks yang baik tentu
memiliki persyaratan utama yaitu harus relevan dan menunjang pelaksanaan
kurikulum. Menurut Tarigan (1986: 12) ada 11 (sebelas) kiteria untuk menentukan
kualitas buku teks, yaitu (a) memiliki landasan prinsip dan sudut pandang yang
berdasarkan teori linguistik, ilmu jiwa perkembangan, dan teori bahan pembelajaran,
(b) kejelasan konsep, (c) relevan dengan kurikulum yang berlaku, (d) sesuai
dengan minat siswa, (e) menumbuhkan motivasi belajar, (f) merangsang,
menantang, dan menggairahkan aktivitas siswa, (g) ilustrasi tepat dan menarik,
(h) mudah dipahami siswa, yaitu bahasa yang digunakan memiliki karakter yang
sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa, kalimat-kalimatnya efektif,
terhindar dari makna ganda, sederhana, sopan dan menarik, (i) dapat menunjang
mata pelajaran lain, (j) menghargai perbedaan individu, kemampuan, bakat,
minat, ekonomi, sosial dan budaya, (k) memantapkan nilai-nilai budi pekerti
yang berlaku di masyarakat (Tarigan 1986:22).
Hal-hal yang
berhubungan dengan kualitas buku pelajaran menurut tim penilai buku ajar dapat
dikelompokkan ke dalam empat aspek, yakni (1) isi atau materi pelajaran, (2)
penyajian materi, (3) bahasa dan keterbacaan, dan (4) format buku atau grafika.
Keempat aspek ini saling berkait satu sama lain (Depdiknas 2004:15). Dengan
demikian, secara garis besar standar buku pelajaran diukur melalui aspek isi
atau materi, penyajian materi, bahasa, dan keterbacaan, serta grafik.
C. ISU TENTANG BUKU TEKS DALAM
KURIKULUM
Terdapat beberapa isu tentang buku teks dalam kurikulum
2013, yang pada dasarnya juga berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dengan mata
pelajaran sosiologi dan atropologi di tingkat SMA/MA, yaitu:
1.
Sentralisasi Pendidikan
Ketika
muncul kebijakan baru tentang buku teks seiring dengan rencana diberlakukannya
Kurikulum 2013, era sentralisasi buku teks kembali menggema. Penyusunan dan
pencetakan buku teks dikontrol dan dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah cq
Kemdikbud. Jauh sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan, secara marathon para
penyusun buku teks telah menyiapkan buku teks utama yang kelak akan dijadikan
sebagai buku acuan utama di sekolah. Penerbit hanya berhak untuk
menggandakannya. Artinya buku teks akan kembali menjadi seragam dalam
pendidikan Indonesia, sehingga akan menghambat pengembangan potensi lokal yang
sudah dirancang sedemikian rupa pada KTSP 2006.
Pada satu
sisi, kebijakan buku teks semacam ini diharapkan mampu mengikis kesenjangan
kompetensi peserta didik antardaerah dan wilayah. Semua peserta didik pada
setiap jenjang menggunakan buku teks yang sama. Guru pun dibekali buku pegangan
yang sama. Strategi, metode, model, bahkan langkah-langkah pembelajarannya
sudah tersusun secara rinci dalam buku pegangan itu. Guru hanya tinggal
melaksanakan apa yang tersurat dalam buku pegangan. Peserta didik di seluruh
wilayah nusantara pun mendapatkan “asupan” materi pembelajaran dan soal-soal
uji kompetensi yang sama dalam buku teks. Tak ada lagi alasan hasil kompetensi
peserta didik dalam ujian nasional bermutu rendah. Kalau toh itu terjadi, pasti
gurunya yang salah karena gagal mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran
dengan baik.
2.
Kontekstualitas Materi dan
kemandulan Kreativitas Guru
Problem lain
yang akan mengemuka, penyeragaman buku teks bisa menyebabkan terjadinya
kemandulan kreativitas, baik bagi guru maupun peserta didik. Nilai-nilai
kearifan dan genius lokal atau sosiologi
yang indigenous (membumi) yang
diharapkan mampu meneguhkan dan menguatkan karakter serta kepribadian (character building) siswa justru makin
tercerabut dan sulit dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pada sisi ini,
penyeragaman buku teks hanya akan melahirkan generasi “robot” yang serba patuh
dan penurut. Guru dan siswa menganggap apa yang tersurat dalam buku teks dan
buku pegangan guru ibarat “kitab suci” yang tabu dibantah dan diperdebatkan.
Imbasnya, dinamika keilmuan akan makin “stagnan” karena peserta didik tidak
dibudayakan untuk bersikap kritis dan kreatif.
Selagi masih
ada waktu untuk berbenah, tidak ada salahnya kalau kebijakan sentralisasi buku
teks, hanya dijadikan sebagai sebuah model. Selebihnya, berikan kesempatan
kepada para guru untuk menerjemahkan materi ajar dalam kurikulum sesuai dengan
dinamika keilmuan dan nilai-nilai kearifan lokal secara kontekstual. Sungguh
naif kiranya kalau melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan berkarakter
tangguh hanya mengandalkan sebuah buku teks yang sudah diseragamkan, berarti
siswa juga akan menjadi korban (Sawaliinfo.com).
3.
Korupsi dan Kolusi dalam Pengadaan
Bukan hanya
segi isi buku, proses pengadaan buku juga rawan korupsi. Ini sudah rahasia
umum. Tahun 2007, terjadi kasus korupsi di Kemendikbud dalam lelang pencetakan
buku keterampilan fungsional. Pelaku korupsinya tak lain adalah pejabat Kemendikbud
sebagai panitia lelang dengan modus mark up (penggelembungan). Pengadaan
buku Kurikulum 2013 tidak menutup kemungkinan terjadi korupsi. Ingat, anggaran
buku Kurikulum 2103 adalah 1,1 triliun rupiah. Patut menjadi acuan bahwa 77%
kasus korupsi yang ditangani KPK adalah soal pengadaan. Di kurikulum 2013,
pengadaan buku dianggarkan 1,1 triliun. Bukan uang kecil (http: index okezone.com)
4.
Relevansi Buku teks dengan Metode
tematik Integratif
Kurikulum 2013 yang akan menggunakan metode tematik integratif dalam
penyampaian mata ajar dinilai membingungkan. Tidak hanya bagi penulis buku teks
dan penerbit buku, tetapi juga bagi guru sebagai ujung tombak pelaksanaan
kurikulum di ruang kelas. Hal ini terungkap pada diskusi pendidikan “Quo Vadis
Pendidikan Indonesia? Suatu Tinjauan Berdasarkan Rencana Pemeerintah
Melaksanakan Kurikulum 2013” yang diadakan IKAPI DKI Jakarta. Selain itu,
diskusi ini juga menyoroti buku pegangan Kurikulum 2013 untuk guru dan siswa
yang disiapkan pemerintah, yang dikwatirkan tidak efektif dan guru menjadi
tidak kreatif. Padahal, pemerintah berniat memudahkan guru dan siswa dengan
membuat buku pegangan atas buku teks. Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta Soedijarto mengatakan, penulisan buku sekarang hanya
berorientasi buku pegangan dengan menyesuaikan kebutuha/standar ujian nasional.
Akibatnya, buku yang ditulis tidak merangsang kemampuan berpikir imajinatif dan
kreatif, hanya sekedar menghapal (acdpindonesia.wordpress.com)
5.
Waktu penyiapan buku teks
Penyiapan buku teks dan buku pegangan guru di jenjang SD-SMA sederajat
untuk implementasi Kurikulum 2013, terus disorot banyak pihak. Pembuatan buku
yang dinilai terburu-buru dan didistribusikan secara ‘mepet’ ke sekolah,
mengkhawatirkan pihak sekolah dan guru. Timbul pertanyaan bagaimana guru akan
memahami buku teks dalam waktu yang singkat sedangkan mereka tidak mendapat
pelatihan atau analisis buku, diperparah lagi dalam mata pelajaran sosiologi
dan antroplogi banyak ditemukan guru ’loncat pagar’ atau tidak pernah mengecap
pendidikan sosiologi dan antropologi terutama di tingkat SI.
D.
PENUTUP
Buku teks menjadi hal yang perlu kita bahas dalam diskusi-diskusi ilmiah
karena bagaimanapun keberhasilan pembelajaran di kelas oleh guru sangat
ditunjang oleh keberadaan buku teks tersebut tapi dalam kurikulum 2012 yang terkesan
dadakan masalah pengadaan buku teks sebagai sumber belajar menjadi sesuatu yang
perlu kita sorot. Diskusi lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
kesiapan LPTK Sosiologi di Indonesia menyongsong pelaksanaan kurikulum 2013. LPTK Sosiologi dihadapkan pada beberapa
persoalan, selain terintegrasinya sosiologi dan antropologi seperti pada kurikulum
1984, juga ada konsekuensi perubahan kurikulum ini pada kurikulum LPTK
sosiologi, padahal tahun 2012 yang lalu LPTK telah melakukan perombakan
kurikulum menjadi KKNI, apakah ganti kurikulum di tingkat SLTA akan ganti pula
kurikulum di LPTK? Atau hanya mengadaptasi dan mengadopsi perubahan tersebut,
misalnya dengan mengembangkan silabus atau memunculkan mata kuliah yang baru,
serta dengan mengintegrasikan beberapa
mata kuliah. Semuanya tergantung dari pemahaman dan perspektif kita terhadap
kurikulum tersebut.
DAFTAR PUSTAKA:
Acdpindonesia. Wordpress.com
diakses tanggal 7 Mei 2013
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005) Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks
Pelajaran.World Bank. 1995.
Erianjoni. 2012. Indigenousasi Sosiologi: Melalui Pengembangan Materi
Bermuatan Nilai-nilai Lokal
(Minangkabau) di SMA. Makalah dalam
Semnas Dies Natalis UNY ke 48 tanggal 1 Mei di Yogyakarta.
http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/22/20042683/Penyiapan.Buku.Siswadan
guru diakses tanggal 5 Mei 2013.
Krisanjaya.
1998. Teori Belajar Bahasa, Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta. IKIP
Jakarta.
Skpd.batamkota.go.id diakses
tangaal 7 Mei 2013
Sawaliinfo.diakses tanggal 8 Mei
2013.
Tarigan, H.G.
& Tarigan, Djago. 1986. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia.
Bandung: Angkasa.
0 komentar:
Posting Komentar