Rilis FITRA
Apung Widadi & Yenni Sucipto |
Permasalahan minimnya penerimaan pajak
adalah masalah utama, perbaikan sistem pemungutan menjadi prioritas, bukan
sebalinya justru pengampunan. Hingga 31 Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak
mencapai Rp 598,270 triliun. Dari target penerimaan pajak yang ditetapkan
sesuai APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun, realisasi penerimaan pajak
mencapai 46,22%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014,
realisasi penerimaan pajak di tahun 2015 ini mengalami pertumbuhan yang cukup
baik di sektor tertentu, namun juga mengalami penurunan pertumbuhan di sektor
lainnya.
Saat ini, hari ini DPR akan
menyetujui usulan RUU Pengampunan Pajak di Sidang Paripurna (12 Oktober 2015 ).
Khusus menyoroti hal ini, FITRA mencatat ada banyak masalah dalam RUU tersebut
yaitu :
- Pertama, dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak salah tafsir dalam pasal 23 A, hal tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 pasal 23 dan 23 A tentang pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak. Dimana, pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni.
- Kedua, ada skala prioritas revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) revisi Nomor 16 Tahun 2009 perlu didahulukan dari RUU pengampunan Pajak. Secara substansi, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan sistem pemungutan pajak. Proses RUU Pengampunan pajak ini terkesan dipaksakan karena belum ada Naskah Akademiknya, sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar.
- Ketiga, RUU ini bertentangan dengan UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 pasal Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
- Keempat, Sistem Pengampunan Pajak selalu gagal tahun 1964 dan 1984 karena saat ini tidak sejalan dengan sistem dan mekanisme tata cara pemungutan pajak. Sehingga kebijakan tersebut saat itu hanya dimanfaatkan orang tertentu tanpa berdampak signifikan terhadap pendapatan negara. RUU pengampunan pajak ini pun sesungguhnya bertentangan dengan KUP dan diprediksi akan kembali gagal.
- Kelima, RUU Pengampunan Pajak berpotensi menjadi fasilitas ‘karpet merah’ bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan financial, dan pencucian uang. Dimana dalam RUU tersebut dicantumkan bahwa, asal seorang atau badan mengajukan pengampunan, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul harta. Tidak disaring, sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia.
- Keenam, pengampunan pajak ini akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan antara elit dan jelata karena sistem ini tidak adil. Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang. Hal ini bertolak belakang dengan sistem hukum bahwa semua warga negara sama didepan hukum. Dan semua warga negara wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Hal ini akan terasa tidak adil yaitu masyarakat akan merasa membayar pajak sesuai dengan batasnya, namun justru orang kaya memdapatkan perlakuan khusus dari pemerintah. Jelas bahwa RUU ini menguntungkan elit dan semakin memiskinkan jelata.
- Ketujuh, RUU ini tidak akan efektif mengukur jumlah harta perseorangan dan badan. Dalam RUU ini, pengampunan akan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan berapa besar jumlah uang tebusan. Sistem ini naif karena masalah rahasia perbankan yang sistem dirjen pajak pun belum bisa masuk dan bebas tanpa bantuan penegak hukum.
- Kedelapan, jumlah uang muka dalam RUU pengampunan ini sangat kecil dan tidak berdampak pada peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak. Tercatat uang tebusan hanya 3%, 5 % dan 8 Persen. Seharusnya tanpa sanksi pidana, uang tebusan diatas 25 %. Ini adalah kebijakan akal-akalan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu disaat dalam negeri membutuhkan uang segar untuk pembiayaan infrastruktur.
- Kesembilan, amanat pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Pajak langsung dibawah Presiden ini tidak akan efektif dan tumpang tindih dengan Dirjen Pajak dan penegak hukum lain. Sistem data dan informasi juga tidak transparan dan akuntabel. Selain itu jika pembiayaan menggunakan APBN semakin memboroskan negara, dan jika sesuai RUU ini dihitung dari prosesntase jumlah penarikan uang tebusan justru akan bermasalah dari sisi transparansi dan akuntabilitasnya.
- Kesepuluh, Potensi korupsi berupa ruang transaksional sangat tinggi. Hal ini tercermin dengan pengelolaan yang diserahkan kepada Satgas karena sistem pengawasan, transpransi dan akuntabilitasnya tidak ada. Justru ruang ini akan menjadi proses transpaksional yang legal dengan memanipulasi perhitungan uang tebusan dll.
Rekomendasi
- Bahwa DPR harus segera membatalkan dan menarik RUU Pengampunan Pajak.
- Pemerintah harus tegas menolak RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Prioritas Pembahasan Legislasi Nasional Tahun 2015.
- Sebagai alternatif, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pemungutan pajak pengawasan dan perbaikan sistem hukumnya. Sehingga potensi pajak hilang dapat ditarik. Bukan sebaliknya obral pengampunan.
- Harus ada upaya peningkatan efektifitas sunset policy dan tax holiday.
Demikian
FITRA
Yenny Sucipto ( Sekjen )
Apung Widadi (Maj. Advokasi)
0 komentar:
Posting Komentar