REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ubedilah Badrun
(Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta dan Eksponen '98)
Dalam hazanah gerakan sosial (social movement) dan literatur gerakan politik (political movement)
posisi aktivis memiliki tempat yang diperhitungkan. Meski Gerakan
sosial dipahami sebagai upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai
(Smelser, 1962 : 3 ) tetapi dalam upaya kolektif itu hampir tidak hening
dari suara dan peran aktivis yang menonjol.
Gerakan sosial dan
gerakan politik selalu meniscayakan peran penting aktivis di dalamnya.
Aktivis dalam pengertian etimologis dipahami sebagai seseorang yang
aktif dalam sebuah gerakan dan concern dengan idealitas bidang yang
diperjuangkannya.
Hal empirik yang sering ditunjukan oleh aktivis adalah sikap idealismenya, sikap kritisnya, leadership-nya,
pembelaanya pada kaum lemah, dan bahkan sikap militannya. Sejumlah
indikator manifes itulah yang melekat pada seorang aktivis. Masa
aktivisme ini biasanya berlangsung bersamaan dengan aktivitasnya di
sebuah organisasi.
Popularitas seringkali menghampiri aktivis,
apalagi misalnya dipandang berhasil memperjuangkan idealismenya.
Misalnya memperjuangkan keadilan bagi rakyat korban penggusuran seperti
yang dilakukan sejumlah LSM diperkotaan.
Atau juga memperjuangkan pembongkaran kasus korupsi seperti yang
dilakukan para aktivis Indonesia Corruption Wacth (ICW). Lalu ada juga
yang memperjuangkan kepentingan rakyat menolak kebijakan negara terkait
kenaikan harga BBM, dominasi asing, membengkaknya utang negara,
pelanggaran HAM, menolak otoriterianisme, menolak oligarki, menolak
mafia dan lain sebagianya.
Semua itu kerap kali yang sering
dilakukan aktivis mahasiswa maupun aktivis non-mahasiswa yang bergerak
pada bidang tertentu di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran aktivis
yang menonjol itu pelan tetapi pasti terdongkrak popularitasnya. Ada
semacam pergeseran dari social capital (modal sosial) yang dimilikinya saat menjadi aktivis kemudian bergerak ke arena politik.
Mereka para aktivis seringkali dinilai publik atau kelompok politik
sebagai memiliki daya tarik dan jaringan yang luas. Mereka kemudian
masuk ke gerbong politik partai atau non partai hingga masuk ke
lingkaran kekuasaan. Titik paling krusial dari aktivis adalah pada titik
ini, yaitu ketika memasuki lingkaran kekuasaan.
Terkikisnya Idealisme Aktivis
Idealisme
aktivis sesungguhnya diuji ketika aktivis masuk ke lingkaran kekuasaan
baik di eksekutif maupun legislatif. Faktanya tidak sedikit aktivis yang
terkikis idealismenya bahkan hilang idealismenya ketika masuk ke
lingkaran kekuasaan. Jika dikontekstualisasikan dengan realitas empirik
politik di Indonesia maka betapa tidak sedikit aktivis yang berguguran
dalam memegang teguh idealismenya.
Misalnya kasus ketua partai
atau pimpinan partai yang berlatarbelakang aktivis kemudian tersangkut
kasus korupsi dan mendekam di penjara. Dalam konteks ini mungkin
diantaranya bisa dipelajari pada kisah Anas Urbaningrum.
Atau aktivis mahasiswa yang dulunya sangat radikal rela mati menolak
kenaikan harga BBM. Lalu setelah menjadi anggota DPR, ketika harga BBM
dinaikkan mereka tidak bisa bersuara. Mereka juga tidak bisa berbuat
apa-apa atau bahkan diam. Dalam konteks ini diantaranya mungkin bisa
dipelajari pada kisah Adian Napitupulu, mantan pentolan gerakan
mahasiswa Forum Kota (Forkot).
Lalu ada juga aktivis
antikorupsi. Setelah berada di lingkaran kekuasaan, justru malah membela
posisi Freeport, sebuah perusahaan asing yang menguras kekayaan
republik. Dalam konteks ini mungkin bisa dipelajari pada kisah Teten
Masduki. Ada juga aktivis prodemokrasi dan prososialisme ekonomi. Ketika
diberi hadiah komisaris BUMN kehilangan nalar kritisnya. Dalam konteks
ini mungkin kita bisa pelajari pada kisah Fadjroel Rachman.
Semuanya
seolah memberi jawaban atas pertanyaan untuk apa sesungguhnya dulu
mereka berjuang menjadi aktivis? Ada kecenderungan pada akhirnya rakyat
yang dulu mereka perjuangkan ditinggalkan, bahkan harapan rakyat
kepadanya dilupakan. Miris memang aktivis yang pragmatis seperti ini.
Sebab dan Dampak Aktivis Pragmatis
Apa
sesungguhnya yang menyebabkan aktivis kehilangan idealismenya?
Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkannya. Pertama, karena
rendahnya integritas. Rendahnya integritas ini terkait moralitas aktivis
yang buruk dan lemahnya cita-cita perjuangan. Moralitas yang buruk
memudahkan aktivis terjebak dalam pragmatisme politik.
Lemahnya
cita-cita pada fase tertentu membuat aktivis kehilangan arah. Sehingga
jika kedua hal ini dominan maka dengan sendirinya integritas
ditanggalkan. Tradisi intelektual yang buruk juga memberikan sumbangan
bagi rendahnya integritas. Rendahnya tradisi membaca, menulis, diskusi,
dan riset adalah ciri buruknya tradisi intelektual aktivis.
Kedua,
kemiskinan. Faktor ini melemahkan kesabaran aktivis dalam penderitaan.
Tidak sedikit aktivis yang miris itu karena tidak sabar dalam
penderitaan hidup. Mereka tidak menyadari bahwa seharusnya sejak dalam
pikiran memilih menjadi aktivis itu adalah pilihan rasional jalan
perjuangan dan jalan juang itu harus siap berkorban untuk sabar dalam
kemiskinan.
Ini semacam ada hukum sosial yang perlu dipahami
aktivis jika seseorang memilih jalan juang maka berkorban untuk sabar
dalam kemiskinan adalah resiko dari pilihan. Tetapi nampaknya kredo ini
tidak sepenuhnya diyakini oleh mereka yang memilih jalan aktivis.
Ketiga,
sistem. Bahwa sistem di luar diri aktivis telah menyeret aktivis
berubah menjadi pragmatis yang miris. Ia terjebak dalam mekanisme
sistemik dalam praktik politik transaksional dan oligarkis yang parah.
Begitu aktivis memasuki arena politik ini ia dihadapkan pada sistem
politik transaksional ini. Memilih masuk sistem saat ini berarti
menyerah pada politik transaksional dimana pemilik modal sangat
berkuasa.
Aktivis akan dengan mudah misalnya dikendalikan pemilik modal dan
oligarki partai. Realitas ini menyebabkan aktivis tidak bisa bersuara
berbeda dengan partai politik tempat ia bergabung. Meski aktivis yang
memilih jalan pragmatis ini sering berargumen mengorbankan idealisme
demi cita-cita besar tetapi luka rakyat terlalu menganga dihianati
untuk waktu yang tak jelas ujungnya.
Sebab dampak membahayakan dari tontonan aktivis pragmatis yang miris ini
merusak nalar publik dan nalar juang generasi baru. Setidaknya ada dua
dampak yang mungkin terjadi. Pertama munculnya ketidakpercayaan publik
terhadap aktivis tersebut. Ini artinya aktivis sendiri yang akan
menerima ketidakpetcayaan publik.
Kedua, merusak mental generasi
baru aktivis. Bahwa perilaku aktivis yang pragmatis kontras dengan masa
sebelum masuk lingkaran kekuasaan telah merusak nalar juang generasi
baru. Bukankah kita bisa bercermin pada idealisme Soekarno, Hatta, Agus
Salim dan Tan Malaka?
Pengorbanan dan derita demi kepentingan
nasional rakyat adalah keniscayaan jalan juang yang mereka pilih.
Bukankah generasi emas masa depan republik ini adalah mereka generasi
baru yang tangguh memilih jalan juang? Bukan mereka yang mudah menyerah.
Duhai kawan aktivis, tengoklah masa depan anak muda dan negeri
ini. Luka menyayat hati tergores pragmatisme aktivis. Duhai aktivis muda
yang masih terjaga, perjelas garis demarkasimu. Menjaga jalan juang
adalah keniscayaan ditengah miskinnya teladan aktivis saat ini. Semoga.
Sumber Media:
0 komentar:
Posting Komentar