Senin, 26 Oktober 2015

Menggugat Idealisme Aktivis di Lingkar Kekuasaan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ubedilah Badrun
(Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta dan Eksponen '98)

Dalam hazanah gerakan sosial (social movement) dan literatur gerakan politik (political movement) posisi aktivis memiliki tempat yang diperhitungkan. Meski Gerakan sosial dipahami sebagai upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai (Smelser, 1962 : 3 ) tetapi dalam upaya kolektif itu hampir tidak hening dari suara dan peran aktivis yang menonjol.

Gerakan sosial dan gerakan politik selalu meniscayakan peran penting aktivis di dalamnya. Aktivis dalam pengertian etimologis dipahami sebagai seseorang yang aktif dalam sebuah gerakan dan concern dengan idealitas bidang yang diperjuangkannya.

Hal empirik yang sering ditunjukan oleh aktivis adalah sikap idealismenya, sikap kritisnya, leadership-nya, pembelaanya pada kaum lemah, dan bahkan sikap militannya. Sejumlah indikator manifes itulah yang melekat pada seorang aktivis. Masa aktivisme ini biasanya berlangsung bersamaan dengan aktivitasnya di sebuah organisasi.

Popularitas seringkali menghampiri aktivis, apalagi misalnya dipandang berhasil memperjuangkan idealismenya. Misalnya memperjuangkan keadilan bagi rakyat korban penggusuran seperti yang dilakukan sejumlah LSM diperkotaan.

Atau juga memperjuangkan pembongkaran kasus korupsi seperti yang dilakukan para aktivis Indonesia Corruption Wacth (ICW). Lalu ada juga yang memperjuangkan kepentingan rakyat menolak kebijakan negara terkait kenaikan harga BBM, dominasi asing, membengkaknya utang negara, pelanggaran HAM, menolak otoriterianisme, menolak oligarki, menolak mafia dan lain sebagianya.

Semua itu kerap kali yang sering dilakukan aktivis mahasiswa maupun aktivis non-mahasiswa yang bergerak pada bidang tertentu di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran aktivis yang menonjol itu pelan tetapi pasti terdongkrak popularitasnya. Ada semacam pergeseran dari social capital (modal sosial) yang dimilikinya saat menjadi aktivis kemudian bergerak ke arena politik.

Mereka para aktivis seringkali dinilai publik atau kelompok politik sebagai memiliki daya tarik dan jaringan yang luas. Mereka kemudian masuk ke gerbong politik partai atau non partai hingga masuk ke lingkaran kekuasaan. Titik paling krusial dari aktivis adalah pada titik ini, yaitu ketika memasuki lingkaran kekuasaan.

Terkikisnya Idealisme Aktivis
Idealisme aktivis sesungguhnya diuji ketika aktivis masuk ke lingkaran kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif. Faktanya tidak sedikit aktivis yang terkikis idealismenya bahkan hilang idealismenya ketika masuk ke lingkaran kekuasaan. Jika dikontekstualisasikan dengan realitas empirik politik di Indonesia maka betapa tidak sedikit aktivis yang berguguran dalam memegang teguh idealismenya.

Misalnya kasus ketua partai atau pimpinan partai yang berlatarbelakang aktivis kemudian tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara. Dalam konteks ini mungkin diantaranya bisa dipelajari pada kisah Anas Urbaningrum.

Atau aktivis mahasiswa  yang dulunya sangat radikal rela mati menolak kenaikan harga BBM. Lalu setelah menjadi anggota DPR, ketika harga BBM dinaikkan mereka tidak bisa bersuara. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa atau bahkan diam. Dalam konteks ini diantaranya mungkin bisa dipelajari pada kisah Adian Napitupulu, mantan pentolan gerakan mahasiswa Forum Kota (Forkot).

Lalu ada juga aktivis antikorupsi. Setelah berada di lingkaran kekuasaan, justru malah membela posisi Freeport, sebuah perusahaan asing yang menguras kekayaan republik. Dalam konteks ini mungkin bisa dipelajari pada kisah Teten Masduki. Ada juga aktivis prodemokrasi dan prososialisme ekonomi. Ketika diberi hadiah komisaris BUMN kehilangan nalar kritisnya. Dalam konteks ini mungkin kita bisa pelajari pada kisah Fadjroel Rachman.

Semuanya seolah memberi jawaban atas pertanyaan untuk apa sesungguhnya dulu mereka berjuang menjadi aktivis? Ada kecenderungan pada akhirnya rakyat yang dulu mereka perjuangkan ditinggalkan, bahkan harapan rakyat kepadanya dilupakan. Miris memang aktivis yang pragmatis seperti ini.

Sebab dan Dampak Aktivis Pragmatis
Apa sesungguhnya yang menyebabkan aktivis kehilangan idealismenya? Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkannya. Pertama, karena rendahnya integritas. Rendahnya integritas ini terkait moralitas aktivis yang buruk dan lemahnya cita-cita perjuangan. Moralitas yang buruk  memudahkan aktivis terjebak dalam pragmatisme politik.

Lemahnya cita-cita pada fase tertentu membuat aktivis kehilangan arah. Sehingga jika kedua hal ini dominan maka dengan sendirinya integritas ditanggalkan. Tradisi intelektual yang buruk juga memberikan sumbangan bagi rendahnya integritas. Rendahnya tradisi membaca, menulis, diskusi, dan riset adalah ciri buruknya tradisi intelektual aktivis.

Kedua, kemiskinan. Faktor ini melemahkan kesabaran aktivis dalam penderitaan. Tidak sedikit aktivis yang miris itu karena tidak sabar dalam penderitaan hidup. Mereka tidak menyadari bahwa seharusnya sejak dalam pikiran memilih menjadi aktivis itu adalah pilihan rasional jalan perjuangan dan jalan juang itu harus siap berkorban untuk sabar dalam kemiskinan.

Ini semacam ada hukum sosial yang perlu dipahami aktivis jika seseorang memilih jalan juang maka berkorban untuk sabar dalam kemiskinan adalah resiko dari pilihan. Tetapi nampaknya kredo ini tidak sepenuhnya diyakini oleh mereka yang memilih jalan aktivis.

Ketiga, sistem. Bahwa sistem di luar diri aktivis telah menyeret aktivis berubah menjadi pragmatis yang miris. Ia terjebak dalam mekanisme sistemik dalam praktik politik transaksional dan oligarkis yang parah. Begitu aktivis memasuki arena politik ini ia dihadapkan pada sistem politik transaksional ini. Memilih masuk sistem saat ini berarti menyerah pada politik transaksional dimana pemilik modal sangat berkuasa.

Aktivis akan dengan mudah misalnya dikendalikan pemilik modal dan oligarki partai. Realitas ini menyebabkan aktivis tidak bisa bersuara berbeda dengan partai politik tempat ia bergabung. Meski aktivis yang memilih jalan pragmatis ini sering berargumen mengorbankan idealisme demi cita-cita  besar tetapi luka rakyat terlalu menganga dihianati untuk waktu yang tak jelas ujungnya.

Sebab dampak membahayakan dari tontonan aktivis pragmatis yang miris ini merusak nalar publik dan nalar juang generasi baru. Setidaknya ada dua dampak yang mungkin terjadi. Pertama munculnya ketidakpercayaan publik terhadap aktivis tersebut. Ini artinya aktivis sendiri yang akan menerima ketidakpetcayaan publik.

Kedua, merusak mental generasi baru aktivis. Bahwa perilaku aktivis yang pragmatis kontras dengan masa sebelum masuk lingkaran kekuasaan telah merusak nalar juang generasi baru. Bukankah kita bisa bercermin pada idealisme Soekarno, Hatta, Agus Salim dan Tan Malaka?

Pengorbanan dan derita demi kepentingan nasional rakyat adalah keniscayaan jalan juang yang mereka pilih. Bukankah generasi emas masa depan republik ini adalah mereka generasi baru yang tangguh memilih jalan juang? Bukan mereka yang mudah menyerah.

Duhai kawan aktivis, tengoklah masa depan anak muda dan negeri ini. Luka menyayat hati tergores pragmatisme aktivis. Duhai aktivis muda yang masih terjaga, perjelas garis demarkasimu. Menjaga jalan juang adalah keniscayaan ditengah miskinnya teladan aktivis saat ini. Semoga.

Sumber Media:

0 komentar:

Posting Komentar