Selasa, 10 September 2013

Nasionalisme, Oligarki, Kleptokrasi & Pemilu 2014



Oleh : Ubedilah Badrun 
 

Akhir akhir ini mulai muncul elit politik dan elit pebisnis di Indonesia yang menanggalkan nasionalisme dalam praktik bisnis dan politiknya. Penulis masih ingat ada pejabat negara yang berkata “ katongi dulu nasionalismemu” untuk mengikuti arus dominasi asing di Republik ini. Nampaknya elit politik dan elit pebisnis republik ini berlindung dibalik kata kata itu agar kita percaya bahwa dia sedang menembunyikan nasionalisme nya untuk kepentingan nasionalisme yang lebih besar. Pada realitanya justru persembunyian nasionalisme itu makin terkubur dan elit politik dan elit pebisnis itu larut dalam gelombang neoliberalisme yang menggerus Republik ini. Implikasi dari makin terkuburnya nasionalisme itu adalah wajah ekonomi kita yang terus dililit utang yang terus bertambah hingga melampaui 2000 Triliun dan kini target pertumbuhan ekonomi juga tidak tercapai sehingga mau tidak mau negara juga akan menambah hutang lagi. Sementara sumber daya alam kita juga dikuasai asing hingga mencapai kurang lebih 75 %, serta sektor perbankan juga dikuasai asing mencapai 51 %. Angka kemiskinan juga belum berubah kisarannya antara 12 s.d. 15 %. Angka pengangguran usia produktif bahkan terburuk di Asia Pasifik. Lalu pantaskah elit politik dan pebisnis berkata “kantongi dulu nasionalismemu!” ?.



Elit politik dan Pebisnis yang demikian itu sudah waktunya diakhiri. Terlalu besar social cost yang diderita rakyat akibat nihilnya nasionalisme di kepala dan hati elit politik dan elit pebisnis Republik ini. Nasionalisme kita telah dikungkung dalam krangkeng neoliberalisme, sementara rakyat sebagai pewaris sah hak kesejahteraan telah mereka kangkangi. Sesungguhnya elit politik dan elit pebisnis telah berdosa terhadap rakyat banyak yang kini mengalami derita ekonomi dan sosial. Jangan lagi kesampingkan nasionalisme dalam mengurus negeri ini. Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan sejak awal sebelum Republik ini merdeka ketika di depan pengadilan Belanda melakukan pembelaan dengan judul Indonesia menggugat. Pada 18 Agustus 1930 itu Bung Karno mengatakan “ Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada bangsa” (Indonesia Menggugat, hlm 106). Poin penting dari penggalan pidato itu adalah bangsa ini ada karena semangat nasionalisme yang kuat dan semangat nasionalisme yang kuat itu pulalah yang bisa menjadi energi besar bagi kemajuan bangsa. 


Selain nasionalisme dikungkung dalam krangkeng neolib, nasionalisme juga kini dikrangkeng oleh tumbuh suburnya oligarki. Nasionalisme ditinggalkan dalam praktek politik, dipasung dalam krangkeng tertentu, karena nafsu oligarki lebih dominan dalam praktek politik Republik ini. Oligarki dalam praktek politik dimaknai sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang karena motif mempertahankan kekayaan dan kekuasaan dengan berbagai cara. Para oligark berjaya dalam kekuasaan karena ditopang oleh apa yang dinamakan income defense industry  yang implikasi lebih sistemiknya salah satunya dapat berupa konsesi penundaan kewajiban pajak pendapatan  terhadap negara. Akuntan, konsultan hukum, aparat hukum, pengelola pajak ada yang dikendalikan oleh para oligark ini dan mereka menjadi bagian penting dari apa yang disebut income defense industry (Jeffrey A Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, 2011).

            
Jika meminjam perspektif Winters (2011) diatas maka Indonesia saat ini dalam praktek politiknya masuk kategori Oligarki Sultanistik yang bercirikan monopoli patron-klien. Pola pola seperti SBY Connection, ARB Connection, RR Connection, SMI Connection, SP Connection, dll yang didalamnya membangun pola patron-klien telah menjadi fakta politik yang dalam praktiknya dibangun dalam bingkai oligarki sultanistik. Mereka itulah yang mengendalikan jalannya ekonomi dan politik di republik ini. Demokrasi hanyalah formalitas untuk menutupi praktik ‘Oligarki sultanistik’ itu. Rakyat kembali hanya sebagai objek penderita dari kamuflase Demokrasi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak lagi dipake dalam praktik politik di Republik ini. Demokrasi kita kehilangan originalitasnya. Praktek demokrasi liberalistik telah banyak menumbuh suburkan praktek money politic dan sekaligus makin memperkuat ‘oligarki sultanistik’.  Dalam sistem yang demikian itu maka nasionalisme dan kepentingan nasional ditinggalkan.

   
Nasionalisme juga dikrangkeng ketika Kleptokrasi menjadi salah satu dari wajah ganda kekuasaan di Indonesia selain Oligarki. Lengkap sudah derita ekonomi politik Republik ini. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu (M.Mustofa, 2010). Tidak sedikit data untuk menunjukkan bahwa kleptokrasi memang terjadi di Indonesia. Lebih dari 147 kasus pola kleptokrasi ini terjadi di Indonesia. Peristiwa mutakhir yang masih lekat dalam ingatan kita antara lain adalah kasus Century, kasus Nazarudin Hambalang dan baru baru ini dalam kasus RR SKK Migas.

  
Bagaimana fakta nihilnya nasionalisme, oligarki sultanistik, dan kleptokrasi yang tumbuh subur bisa diminimalisir melalui pemilu 2014?  Diandaikan kita optimis bahwa pemilu 2014 akan berjalan sebagaimana mestinya maka akankah pemenang pemilu 2014 adalah mereka yang memiliki nasionalisme yang kuat, mereka yang tidak oligarkis, dan mereka yang tidak kleptokratis? Hampir saja penulis tidak optimis jika melihat sedemikian parahnya sistim politik kita. Namun jika melihat sejumlah partai yang penulis sebut sebagai partai nasionalis agaknya ada sedikit optimis akan adanya perubahan arah bangsa ini pasca pemilu 2014 itupun jika partai nasionalis yang menjadi pemenang pemilu 2014.

            
Dalam konteks peluang pemennag politik yang belum pasti tersebut, dimana posisi kaum muda mahasiswa dan aktivis 1998? Jika Pemilu 2014 berjalan sesuai agenda KPU, nampaknya akan menjadi peluang khusus para aktivis 98 karena pada tahun 2014 lah aktivis yang pada tahun 1998 turun dijalanan menjatuhkan rezim diktator Soeharto tersebut saat ini mulai memasuki arena politik dengan jumlah yang makin banyak. Hampir semua partai memasukan mereka menjadi caleg 2014.  Namun pertanyaannya apakah mereka akan mendapatkan kursi legsilatif pada 2014?

            
Secara hak politik sebenarnya tahun 2014 dan tahun 2019 nanti adalah hak sejarah para aktivis 98 untuk menduduki lapisan elit politik baik di legislative maupun di eksekutif. Karena merekalah yang membuka ruang demokrasi dari kebekuannya yang panjang selama 32 tahun meski mereka kemudian tidak sepenuhnya bisa memandu arah perubahan bangsa karena mereka back to campus untuk menyelesaikan studinya. Bahkan sebagaian besar dari mereka menilai jalannya Negara saat ini sudah tidak sesuai dengan konstitusi Negara. Mereka menjawab karena mereka sejak menjatuhkan rezim pada 1998 sampai 2004 lalu tidak pernah diberikan kesempatan oleh para seniornya untuk terlibat menentukan jalannya Negara baik di legislative maupun eksekutif, maka kekacauan Negara terjadi sepanjang 14 tahun terakhir ini.

    
Saat ini sesunguhnya aktivis 98 masih terbelah, ada yang memilih jalan oposisi terhadap Negara dan ada yang memilih jalan masuk ke partai politik untuk mencoba mengikuti perhelatan pemilu 2014. Persoalanya apa aktivis 98 punya peluang untuk menang? Dalam perspektif sosiologi politik Indonesia saat ini kemenangan politik itu ditentukan oleh popularitas, modal uang, loby politik, dan bekerjanya mesin politik. Penulis melihat para aktivis 98 yang berusaha nyaleg saat ini belum memiliki criteria kemenangan tersebut kecuali hanya ada pada satu hal yakni kekuatan loby politik kepada elit politik partai politik. Artinya kemenangan aktivis 98 untuk dapat kursi DPR seharusnya di support secara sungguh sungguh oleh elit partai politik untuk menjadi calon jadi bukan saja karena aktivis 98 punya hak politik sebagai warga Negara tetapi aktivis 98 memiliki hak sejarah karena kontribusinya mendobrak kebekuan demokrasi pada 1998. Jika elit partai tidak membuat kebijakan khusus untuk aktivis 98 tersebut maka kemungkinan besar selururh aktivis 98 akan memilih jalan oposisi terhadap siapapun yang berkuasa.

             
Hak mpolitik dan kemenangan politik 2014 oleh aktivis 98 itu hanyalah ilusi jika situasi politik justru berjalan abnormal. Oleh karenanya kaum muda aktivis agaknya perlu juga menyiapkan agenda agenda dalam situasi abnormal. Hal yang mungkin bisa dilaklukan adalah konsolidasi lintas aktivis lintas daerah dan terus melakukan interaksi intensif dengan basis massa mahasiswa sebagai kelas sopsial yang diduga paling independent saat ini.
           
Ubedilah Badrun, Direktur Puspol Indonesia & Kepala Pusat Kajian Sosial Politik (PUKASPOL) FIS Universitas Negeri Jakarta (UNJ)


           

0 komentar:

Posting Komentar