Oleh : Ubedilah Badrun
Akhir
akhir ini mulai muncul elit politik dan elit pebisnis di Indonesia yang
menanggalkan nasionalisme dalam praktik bisnis dan politiknya. Penulis masih
ingat ada pejabat negara yang berkata “ katongi dulu nasionalismemu” untuk
mengikuti arus dominasi asing di Republik ini. Nampaknya elit politik dan elit
pebisnis republik ini berlindung dibalik kata kata itu agar kita percaya bahwa
dia sedang menembunyikan nasionalisme nya untuk kepentingan nasionalisme yang
lebih besar. Pada realitanya justru persembunyian nasionalisme itu makin
terkubur dan elit politik dan elit pebisnis itu larut dalam gelombang
neoliberalisme yang menggerus Republik ini. Implikasi dari makin terkuburnya
nasionalisme itu adalah wajah ekonomi kita yang terus dililit utang yang terus
bertambah hingga melampaui 2000 Triliun dan kini target pertumbuhan ekonomi
juga tidak tercapai sehingga mau tidak mau negara juga akan menambah hutang
lagi. Sementara sumber daya alam kita juga dikuasai asing hingga mencapai
kurang lebih 75 %, serta sektor perbankan juga dikuasai asing mencapai 51 %.
Angka kemiskinan juga belum berubah kisarannya antara 12 s.d. 15 %. Angka
pengangguran usia produktif bahkan terburuk di Asia Pasifik. Lalu pantaskah
elit politik dan pebisnis berkata “kantongi dulu nasionalismemu!” ?.
Elit politik dan
Pebisnis yang demikian itu sudah waktunya diakhiri. Terlalu besar social cost yang diderita rakyat akibat
nihilnya nasionalisme di kepala dan hati elit politik dan elit pebisnis
Republik ini. Nasionalisme kita telah dikungkung dalam krangkeng
neoliberalisme, sementara rakyat sebagai pewaris sah hak kesejahteraan telah
mereka kangkangi. Sesungguhnya elit politik dan elit pebisnis telah berdosa
terhadap rakyat banyak yang kini mengalami derita ekonomi dan sosial. Jangan
lagi kesampingkan nasionalisme dalam mengurus negeri ini. Bukankah Bung Karno
pernah mengingatkan sejak awal sebelum Republik ini merdeka ketika di depan pengadilan
Belanda melakukan pembelaan dengan judul Indonesia menggugat. Pada 18 Agustus
1930 itu Bung Karno mengatakan “ Zonder
nasionalisme tiada kemajuan, zonder
nasionalisme tiada bangsa” (Indonesia Menggugat, hlm 106). Poin penting dari
penggalan pidato itu adalah bangsa ini ada karena semangat nasionalisme yang
kuat dan semangat nasionalisme yang kuat itu pulalah yang bisa menjadi energi
besar bagi kemajuan bangsa.
Selain
nasionalisme dikungkung dalam krangkeng neolib, nasionalisme juga kini
dikrangkeng oleh tumbuh suburnya oligarki. Nasionalisme ditinggalkan dalam
praktek politik, dipasung dalam krangkeng tertentu, karena nafsu oligarki lebih
dominan dalam praktek politik Republik ini. Oligarki dalam praktek politik
dimaknai sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang
karena motif mempertahankan kekayaan dan kekuasaan dengan berbagai cara. Para
oligark berjaya dalam kekuasaan karena ditopang oleh apa yang dinamakan income defense industry yang implikasi lebih sistemiknya salah satunya
dapat berupa konsesi penundaan kewajiban pajak pendapatan terhadap negara. Akuntan, konsultan hukum,
aparat hukum, pengelola pajak ada yang dikendalikan oleh para oligark ini dan
mereka menjadi bagian penting dari apa yang disebut income defense industry (Jeffrey A Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, 2011).
Jika
meminjam perspektif Winters (2011) diatas maka Indonesia saat ini dalam praktek
politiknya masuk kategori Oligarki
Sultanistik yang bercirikan monopoli patron-klien.
Pola pola seperti SBY Connection, ARB Connection, RR Connection, SMI Connection, SP Connection, dll yang didalamnya
membangun pola patron-klien telah
menjadi fakta politik yang dalam praktiknya dibangun dalam bingkai oligarki
sultanistik. Mereka itulah yang mengendalikan jalannya ekonomi dan politik di
republik ini. Demokrasi hanyalah formalitas untuk menutupi praktik ‘Oligarki sultanistik’ itu. Rakyat
kembali hanya sebagai objek penderita dari kamuflase Demokrasi. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak lagi
dipake dalam praktik politik di Republik ini. Demokrasi kita kehilangan
originalitasnya. Praktek demokrasi liberalistik telah banyak menumbuh suburkan
praktek money politic dan sekaligus
makin memperkuat ‘oligarki sultanistik’. Dalam sistem yang demikian itu maka
nasionalisme dan kepentingan nasional ditinggalkan.
Nasionalisme
juga dikrangkeng ketika Kleptokrasi menjadi salah satu dari wajah ganda
kekuasaan di Indonesia selain Oligarki. Lengkap sudah derita ekonomi politik
Republik ini. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling,
bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan
korporat. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil
permufakatan jahat itu (M.Mustofa, 2010). Tidak sedikit data untuk menunjukkan
bahwa kleptokrasi memang terjadi di Indonesia. Lebih dari 147 kasus pola
kleptokrasi ini terjadi di Indonesia. Peristiwa mutakhir yang masih lekat dalam
ingatan kita antara lain adalah kasus Century, kasus Nazarudin Hambalang dan
baru baru ini dalam kasus RR SKK Migas.
Bagaimana
fakta nihilnya nasionalisme, oligarki sultanistik, dan kleptokrasi yang tumbuh
subur bisa diminimalisir melalui pemilu 2014?
Diandaikan kita optimis bahwa pemilu 2014 akan berjalan sebagaimana
mestinya maka akankah pemenang pemilu 2014 adalah mereka yang memiliki
nasionalisme yang kuat, mereka yang tidak oligarkis, dan mereka yang tidak
kleptokratis? Hampir saja penulis tidak optimis jika melihat sedemikian
parahnya sistim politik kita. Namun jika melihat sejumlah partai yang penulis
sebut sebagai partai nasionalis agaknya ada sedikit optimis akan adanya
perubahan arah bangsa ini pasca pemilu 2014 itupun jika partai nasionalis yang
menjadi pemenang pemilu 2014.
Dalam
konteks peluang pemennag politik yang belum pasti tersebut, dimana posisi kaum
muda mahasiswa dan aktivis 1998? Jika
Pemilu 2014 berjalan sesuai agenda KPU, nampaknya akan menjadi peluang khusus
para aktivis 98 karena pada tahun 2014 lah aktivis yang pada tahun 1998 turun
dijalanan menjatuhkan rezim diktator Soeharto tersebut saat ini mulai memasuki
arena politik dengan jumlah yang makin banyak. Hampir semua partai memasukan
mereka menjadi caleg 2014. Namun
pertanyaannya apakah mereka akan mendapatkan kursi legsilatif pada 2014?
Secara hak politik sebenarnya tahun
2014 dan tahun 2019 nanti adalah hak sejarah para aktivis 98 untuk menduduki
lapisan elit politik baik di legislative maupun di eksekutif. Karena merekalah
yang membuka ruang demokrasi dari kebekuannya yang panjang selama 32 tahun
meski mereka kemudian tidak sepenuhnya bisa memandu arah perubahan bangsa
karena mereka back to campus untuk
menyelesaikan studinya. Bahkan sebagaian besar dari mereka menilai jalannya
Negara saat ini sudah tidak sesuai dengan konstitusi Negara. Mereka menjawab
karena mereka sejak menjatuhkan rezim pada 1998 sampai 2004 lalu tidak pernah
diberikan kesempatan oleh para seniornya untuk terlibat menentukan jalannya
Negara baik di legislative maupun eksekutif, maka kekacauan Negara terjadi
sepanjang 14 tahun terakhir ini.
Saat ini sesunguhnya aktivis 98
masih terbelah, ada yang memilih jalan oposisi terhadap Negara dan ada yang
memilih jalan masuk ke partai politik untuk mencoba mengikuti perhelatan pemilu
2014. Persoalanya apa aktivis 98 punya peluang untuk menang? Dalam perspektif
sosiologi politik Indonesia saat ini kemenangan politik itu ditentukan oleh
popularitas, modal uang, loby politik, dan bekerjanya mesin politik. Penulis
melihat para aktivis 98 yang berusaha nyaleg saat ini belum memiliki criteria
kemenangan tersebut kecuali hanya ada pada satu hal yakni kekuatan loby politik
kepada elit politik partai politik. Artinya kemenangan aktivis 98 untuk dapat
kursi DPR seharusnya di support secara sungguh sungguh oleh elit partai politik
untuk menjadi calon jadi bukan saja karena aktivis 98 punya hak politik sebagai
warga Negara tetapi aktivis 98 memiliki hak sejarah karena kontribusinya
mendobrak kebekuan demokrasi pada 1998. Jika elit partai tidak membuat
kebijakan khusus untuk aktivis 98 tersebut maka kemungkinan besar selururh
aktivis 98 akan memilih jalan oposisi terhadap siapapun yang berkuasa.
Hak
mpolitik dan kemenangan politik 2014 oleh aktivis 98 itu hanyalah ilusi jika
situasi politik justru berjalan abnormal. Oleh karenanya kaum muda aktivis
agaknya perlu juga menyiapkan agenda agenda dalam situasi abnormal. Hal yang
mungkin bisa dilaklukan adalah konsolidasi lintas aktivis lintas daerah dan
terus melakukan interaksi intensif dengan basis massa mahasiswa sebagai kelas sopsial
yang diduga paling independent saat ini.
Ubedilah
Badrun, Direktur Puspol Indonesia &
Kepala Pusat Kajian Sosial Politik (PUKASPOL) FIS Universitas Negeri Jakarta
(UNJ)
0 komentar:
Posting Komentar