Rabu, 06 Januari 2016

Diplomasi Pertahanan: Mencari Format Peleyesaian Konflik di Laut Cina Selatan

Oleh: Kartika DN.[1]


Abstract
Diplomacy is something that should be and continue to be done in co-operation carried out by countries that have a good cooperation is bilateral or multilateral . Geographical conditions involving several countries in the South China Sea to present the perspective of the truth of each of the countries that are in the surrounding area . Conditions of mutual claims on the South China Sea makes several countries involved in the conflict over the region. Diplomacy needs to be done either political or non-political nature to prevent the ongoing conflict . Diplomacy used as one instrument of command that is important to strengthen the involvement of military forces in the country's defense force or facing even the worst conditions , namely war . Diplomacy in the South China Sea conflict as part of efforts to prevent weapons of war between the countries involved in the region .

Key note: Diplomacy, Military, War.

Pendahuluan
Dalam ruang lingkup internasional, hubungan antar negara bersifat anarki yang memandang kedaulatan sebagai sesuatu yang absolute yang mengarah pada terjadinya konflik karena mengangap eksistensi sebuah negara merupakan ancaman bagi negara lain. Sehingga untuk mendapatkan sebuah keamanan (merasa aman terhadap adanya ancaman), negara perlu membangun kekuatan militer, baik pembangunan kekuatan militer yang bersandar pada kekuatan nasional dan aliansi sebagai bentuk dari maksimalisasi kekuatan atau implementasi strategi militer untuk mencapai makna keamnaan, teruatama keamanan terhadap eilayah perairannya atau maritim.[2]

Peranan kekuatan laut (sea power) pada aspek pertahanan ditujukan untuk mencapai keamanan maritim. Hal ini berjalan linear dengan kondisi geografis wilayah dunia. Kondisi geografis wilayah dunia menggambarkan bahwa ketergantungan negara-negara terhadap laut sanagt besar. Ada beberapa alasan mengapa banyak negara bergantung pada wilayah geografis laut. Pertama, kurang lebih 70% wilayah di dunia didominasi oleh lautan. Kedua, kurang lebih 90% jalur perdagangan jika dilihat dari berat volumenya,menggunakan jalur perairan. Ketiga, pada garis pantai terdapat kota-kota besar dan adanya penduduk perkotaan dalam jarak 200 km dari garis pantai. Keempat, hukum internasional memebrikan kebebasan dalam memberdayakan kekayaan alam yang terdapat di laut terutama kepada pemilik wilayah tersebut. Dengan begitu pada bagian kedua, ketiga dan keempat mempengaruhi dalam perekonomian dan kepentingan nasional yang harus dilindungi dari berbagai ancaman.[3]

Potensi Sumber Daya Alam yang besar yang berada di Laut Cina Selatan menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya konflik di wilayah ini. Letak geografis yang melibatkan beberapa negara di wilayah ini turut serta mempengaruhi konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan. Jalur ini berperan penting untuk perkembangan ekonomi,politik dan sosial bagi negara-negara di sekitar kawasan Cina Selatan. Secara geografis LCS dikelilingi sepuluh negara pantai dimana luas perairannya mencakup Teluk Siam yang dibatasi oleh Vietnam,Kamboja,Thailand dan Malaysia serat Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC.

Posisi strategis dengan jalur perdagangan internasional yang melibatkan banyak negara mendatangkan banyak potensi konflik yang bisa memicu terjadinya konflik bahkan perang senjata di antara negara-negara yang terlibat di dalam klaim kawasan ini menjadi hal yang harus diperhatikan oleh negara Indonesia. Sebagai anggota negara ASEAN yang memiliki asas  politik bebas aktif menjadikan gerakan diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia bersifat tidak memihak negara manapun yang terlibat dalam klaim ini.

Dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai. Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia. Terdapat dua upaya diplomasi yang bisa dilakukan dalam konflik LCS ini. Kedua bentuk diplomasi tersebut adalah diplomasi politik dan diplomasi non politik. Salah satu upaya diplomasi non politik adalah lokakarya Working Group proyek The Studi Impacts on Coastal Environment in the South China Sea Affected by Potential Climate Change yang di fasilitasi AMF. Sedangkan upaya Diplomasi Politik adalah KTT ke 18 ASEAN pada 2011.

Geografis dan Potensi LCS
Laut Cina Selatan (LCS) terletak di tepi bagian Samudra Pasifik yang mencakup Singapura sampai Selatan Taiwan dengan luas 3.500.000 Km2. LCS terdiri dari pulau, karang, gosong, dan gugusan pulau yang berjumlah sekitar 200 gugusan.  Sebagaian gugusan pulau berada di bawah laut dan sebagian kecil berada di atas permukaan laut.[4] Sebagai jalur ekonomi wilayah LCS sangat strategis dan menjadi pelayaran internasional. Negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah negara pantai seperti; RRC (Republik Rakyat Cina), Hong Kong, Republik Cina (Taiwan), Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Negara tak berpantai seperti Laos, dan negara dependent territory seperti Makau. 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3LJgL3nlN7Pn7KY-uLKck7CJ-Lz9enSPeFcbSdakYD4OejXIpF3sjJJHVe4BczU6KHGzTXTxPcKgHFa_s0Falv7fxM01KjuL1Ya1Et-2-RagRQpSVm86YBApMDO8N0wQIHfoEfBF2whRK/s1600/83-peta-laut-cina-selatan.jpg
Gambar: Wilayah Sengketa Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan memiliki gugusan kepulauan terbesar bernama Spratly dengan luas mencapai 810-900 km2, yang terbesarnya menjadi kepulauan Taiping (Itu Aba) dengan panjang mencapai 1,3 km2 dan ketinggian 3,8 m2. Kepulauan Spratly memiliki feauture geografi tunggal selebar 100 km2, biasanya sering disebut gunung laut, atau Reed Tablemount, atau lebih dikenal dengan Red Bank. Red Bank terletak di utara gugusan, dan terpisah oleh pulau Palawan dan Cekungan Palawan. Red Bank tenggelam sekitar 20 meter dari permukaan laut dan merupakan atol terbesar di dunia dengan luas 8,866 km2.[5] Konflik pulau Spartly dan Paracel lebih terkenal karena intensitas konfliknya, konflik LCS sebenarnya tidak hannya terkait dua pulau tersebut.  

LCS bisa dikatakan sebagai jalur perdagangan internasional yang sangat strategis, nilai perdagangan di jalur LCS bisa mencapai 5,3 triliun dollar/tahun. LCS juga diperkirakan memiliki cadangan SDA (Sumber Daya Alam) yang besar, salah satunya adalah cadangan minyak sebesar 30 miliar metrik ton dan gas sebesar 16 triliun meter kubik gas.

Belum ada data resmi yang menyatakan potensi SDA di LCS, akan tetapi para ahli berpendapat bahwa potensi minyak dan gas di LCS cukup besar (lihat table 1). Selain potensi minyak dan gas, terdapat SDA perikanan yang sangat berlimpah, hal ini disebabkan karena banyaknya gugusan karang dan gosong yang menjadi tempat berkembangnya berbagai biota laut. Pergerakan arus dari Samudera Pasifik ke Samudra Hindia atau sebaliknya membuat LCS memiliki sumber daya perikanan yang sangat melimpah.[6]


Region
Proven Oil Reserves (Bilion Barrels)
Proven Gas Reserves (Trillion Cubic Feet)
Oil Production (Milion Barrels/day)
Gas Production (Trilion Cubic Feet/Year)
Caspian Sea Region
17,2 – 32,8
232
1,6
4,5
North Sea Region
16,8
178,7
6,4
9,4
Persian Gluf
674,0
1,923
19,3
8
South China Sea
Est. 7
Est. 150,3
2,2
3,2

Tabel 1: Perbandingan LCS dengan Laut Wilayah Lain[7]

Sumber enegri akan menjadi faktor kelangsungan suatu bangsa. Oleh karena itu berbagai negara mencoba meningkatkan cadangan energi dengan eksplorasi terhadap potensi sumber daya di wilayahnya, akan tetapi beberapa negara akan berjuang melakukan ekspansi eksplorasi di luar wilayahnya dengan memaksimalkan potensi di daerah frontier, dalam hal ini Laut Cina Selatan. Sumber daya yang strategis dan besar ini diperkirakan menjadi faktor dominan dalam konflik Laut Cina Selatan.  

Konflik Negara-negara di LCS
RRC (Republik Rakyat Cina), Makau, Hong Kong, Republik Cina (Taiwan), Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Vietnam adalah negara yang berbatasan dengan laut Cina Selatan (LCS). Hampir semua negera tersebut mengklaim kedaulatan terhadap gugusan pulau di LCS, dan sebagaian memiliki kepentingan terhadap batas wilayah. Dibawah ini adalah gambar negara-negara yang berbatasan dengan LCS.     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtFsW9DHQhnuID_8X0Z0L-p8eZeVW6EnPxVlGuK5oYTL7Wwsn_CTGJq-OOaO4tb3WFD0l_f-Vudhdq0AaFuWptv1jW5D5Dsx3LhV3omGctU5obTXFPXUyoQNcPXoGSNUaJBeD3hez5tJcn/s1600/48951920_south_china-sea_1_466.gif
Gambar: Negara-negara di sekitar LCS

Setiap Negara memiliki sebutan yang berbeda terhadap LCS. Orang Cina menyebut LCS sebagai Laut Selatan, sedangkan orang Philipina menyebut LCS sebagai Laut Luzon, dan pada tahun 2011 menjadi Laut Philipina Barat. Orang Vietnam menyebut LCS sebagai Laut Timur. Sedangkan orang Indonesia dan Malaysia menyebutnya sebagai Laut Cina Selatan. Mengenai nama kepulauan di LCS, setiap negara menamakan berdasarkan klaimnya. Taiwan menyebut kepulauan Spratly dengan sebutan Shinnegunto, Vietnam menyebutnya dengan Truong Sa (Beting panjang), Philipina menyebutnya dengan Kalayaan (Kemerdekaan), Malaysia menyebutnya dengan Abad an Trumbu layang-layang, RRC menyebutnya dengan istilah Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan).

Konflik yang terjadi di LCS sudah berlangsung cukup lama. Konflik LCS sudah terjadi sejak tahun 1992, dimana pemerintahan Cina saling tuduh dengan pemerintahan Vietnam atas hak pengeboran di pulau Hainan. Berbagai perjanjian dan diplomasi antar negara-negara di sekitar LCS dilakukan demi meredam ketegangan. Berikut adalah tabel pemetaan perselisihan antara negara-negara yang berbatasan dengan LCS.  


Tahun
Negara
Perselisihan
1992
Cina dengan Vietnam
Bulan mei, Cina menadatangani kontrak dengan perusahaan Amerika Serikat; Crestone untuk eksplotasi minyak di Spratly di area yang diklaim oleh Vietnam sekitar 600 miles selatan pulau Hainan. Bulan September, pemerintah Vietnam menuduh Cina melakukan pengeboran di teluk Tonkin.
1993
Cina dengan Vietnam
Bulan mei, Vietnam menuduh Cina melkukan survey seismic dengan British Petroleum’s di perairan Vietnam, kapal Cina meninggalkan blok 06 milik Vietnam setelah munculnya 2 kapal angkatan laut Vietnam.
Pada bulan desember, Vietnam meminta Crestone menunda pengembangan pengeboran minyak di perairannya.
1994
Cina dengan Vietnam
Perusahaan Crestone bergabung dengan perusahaan Cina eksporasi di Wan Bei 21 (WAB-21 Blok). Vietnam protes bahwa eksplorasi berada di perairan Vietnam bloks 133, 134, dan 135. Cina menawarkan membagi produksi di Wan Bei dengan Vietnam, sepanjang Cina mendapatkan kedaulatan tersebut.
Bulan agustus kapal perang Vietnam memaksa kapal ekplorasi Cina meninggalkan daerah pengeboran.
1996
Cina dengan Vietnam
Bulan april, pemerintahan Vietnam melelang blok ke pereusahan Amerika Serikat; Conoco, dan membatalkan kontrak yang di tandatangani Cina. Blok 133 dan 134 milik Vietnam merupakan setengah dari area yang ci kontrak Crestone. Pmerintahan Cina melakukan protes dan menetapkan hukum terkait klaim di Laut Cina Selatan.
1997
Cina dengan Vietnam
Bulan maret, pemerintahan Vietnam melakukan protes terhadap Cina karena melakukan pengeboran di kantan-3 Spratly yang di klaim oleh Vietnam dengan blok 113 Da Nang. Protes diplomatik di ikuti dengan pemindahan Rig Cina.
Bulan desember, Pemerintahan Vietnam protes terhadap kapal esplorasi no 8 dan 2 kapal supply yang berada di blok Wan Bei.  
1998
Cina dengan Vietnam
Bulan september, pemerintahan Vietnam protes setelah cina dan perusahaan Crestone melanjutkan survey Spratly. Untung saja perselisihan dapat diselesaikan dengan perjanjian pada desember 2000. 
2003
Malaysia dengan Brunei
Bulai mei, kapal patrol Brunei menghentikan kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh perusahan Total ahsil kerjasama dengan Malaysia
Tabel: Pemetaan Perselisihan di LCS[8]

Konflik yang terjadi di LCS merupakan upaya negara melakukan pertahanan wilayah dan kedaulatan. Klaim batasan wilayah, pulau dan gugusan pulau yang ada di LCS menjadi pemicu konflik antara negara. Berikut adalah tabel klaim negara-negara terhadap wilayah LCS.

Negara
Klaim Wilayah
Brunei
Pemerintahan Brunei tidak mengklaim pulau yang ada di LCS. Akan tetapi Brunei mengklaim ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Landas Kontinen yang ditarik dari wilayah pantai Brunei. Tahun 1984, Brunei mendeklarasikan ZEE yang meliputi Louisa Reef.
Cina
Pemerintahan Cina mengklaim semua pulau yang ada di LCS. Klaim tersebut berdasarkan alas an historis sejak diansti Han (110 AD) dan Mingn (1403-1433 AD). Garis batas klaimnya tidak dalam bentuk koordinat sehingga tidak jelas.
Pada abad ke 19th dn awal abad 20th, Cina menyatakan kliamnya terhadap Spratly dan Paracel. Pada perang dunia kedua wilayah itu diklaim oleh Jepang. Pada tahun 1947 Cina mempublikasikan peta dengan 9 garis sebagai wilayahnya. Pada tahun 1992 hukum Cina menegaskan kalimnya. Pada tahun 1974, Cina menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam.
Indonesia
Pemerintah Indonesia tidak mengklaim LCS, tetapi wilayah ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dan landasan kontinen Indonesia (termasuk lapangan minyak dan gas Natuna) akan terpengaruh terhadap klaim-klaim yang dilakukan oleh Negara lain. Bahkan ada yang mencoba memasukan natuna dalam wilayah klaim, sehingga memaksa Indonesia untuk itu dalam konflik LCS.
Malaysia
Klaim kepulauan Spratly didasarkan pada prinsip landas kontinen dan batas klaimnya dalam bentuk koordinat geografis. Malayisa sudah menguasai 3 pulau dan itu berada di Lndas kontinennya. Malaysia sudah membanguan atau melakukan reklamasi terhadap salah satu attol sebagai hotel.
Philippines
Pemerintahan Philipina mengklai, kepualauan Spratly disadarkan pada prinsip proximity serta penjelajakah orang Philipina. Batas klaimnya dalam bentuk koordinat geografis. Pada tahun 1971, philipina secara resmi mengkalim 8 pulau yang idkenal sebagai Kalayaan bagaian dari provinsi Palawan. 
Taiwan
Klaim Taiwan sama seperti Cina. Taiwan menguasai Pulau Pratas di Spratlys.
Vietnam
Klaim di dasarkan pada prinsip landas kontinen  dan meliputi seluruh Spratly termasuk seluruh LCS. Batas klaim tidak tercantum secara jelas. Vietnam juga klaim kepulauan Paracel, walaupun direbut Cina pda tahun 1974.
Tabel: klaim negara-negara di LCS[9]

Saling klaim terkait batas wilayah dan pulau yang ada di LCS, memicu ketegangan antara negara. Masing-masing pihak berdasarkan klaim sejarah, prinsip hukum internasional dan perjanjian, merasa paling hak atas SDA yang ada di LCS. Ketegangan antar negara-negara yang bersengketa membuat situasi sengketa mengarah pada kekuatan militer. Jika sengketa ini berdampak pada ketegangan militer, tidak dapat dipungkiri stabilitas ekonomi negara-negara yang bersentuhan langsung dengan jalur pelayaran di LCS akan tergangu.

Kekuatan Militer di LCS
Sengketa territorial di LCS (Laut Cina Selatan) tidak hannya membahas masalah kedaulatan atas pulau-pulau, tetapi bercampur dengan masalah hak kedaulatan atas landasan kontonen dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif). Sengketa territorial LCS memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan banyak negara. Tidak sedikit sengketa LCS berujung pada bentrok kekuatan militer negara-negara yang bersengketa. Berikut adalah tabel sengketa militer di LCS.

Tahun
Negara
Tindakan Militer
1976
Cina dengan Vietnam
Cina menguasai pulau Paracel dari Vietnam.
1988
Cina dengan Vietnam
Angkatan laut Cina dan Vietnam bentrok di Johnson Reef kepulauan Spratly. Beberpa kapal Vietnam tenggelam dan 70 pelaut meninggal dunia.
1992
Cina dengan Vietnam
Vietnam meneuduh cina melakukan pengeboran di wilayah perairan Vietnam di teluk Tonkin dan menuduh Cina mendaratkan pasukan di Da Luc Reef. Cina menyita 20 kapal kargo Vietnam yang berlayar dari Hongkong.  
1994
Cina dengan Vietnam
Cina dan Vietnam terjadi konfrotasi kekuatan lautnya di dalam laut territorial yang diakui Vietnam disekitar eksplorasi minyak blok 133. 134, dan 135. Cina melakukan kliam yang di area yang sama yaitu blok Wan Bei-21.
1995
Cina dengan Philipina
Cina melakukan okupasi terhadap Mischief Reef yang di klaim Philipina. Militer Philipina mengusir militer Cina dan menghancurkan antribut yang ada.
1995
Taiwan dengan Vietnam
Artileri Taiwan menembaki kapal supply Vietnam
1996
Cina dengan Philipina
3 kapal cina terlibat dalam 90 menit pertempuran dengan kapal perang Philipina di dekat pulau Campones
1997
Cina dengan Philipina
Angkatan lauat Philipina memperintahkan kapal patrol Cina dan 2 kapal ikannya untuk meninggalkan Scarborough Shoal. Nelayan Philipina membuat atribut Cina dan menaikan bendera Philipina.
Cina mengirim 3 kapal perangnya untuk monitoring dan survey pulau panata dan kota yang diklaim oleh Philipina.
1998
Philipina dengan Vietnam
Angkatan laut Vietnam menembak kapal ikan Philipina di dekat karang Tennent (pigeon).
1999
Cina dengan Philipina
Beberapa kapal ikan Cina tenggelam setelah tabrakan dengan kapal perang Philipina selama mei-juni.
1999
Cina dengan Philipina
Kapal perang Cina di tuduh melakukan pelecehan terhadap kapal perang Phillipina setelah lemarikan diri di sekitar kepuluan Spratly.
1999
Cina dengan Vietnam
Pasukan Vietnam menembak pesawat temput Philipina yang sedang melakukan pengintaian di kepulauan Spartly.
1999
Malaysia dengan Philipina
Dua pesawat temput Vietnam dan Malaysia hampir melakukan kontak senjata di wilayah kepulauan Spartly yang di klaim sebagai wilayah Malaysia.
Tabel: Sengketa militer di LCS[10]

Pada tahun 1978, RRC menetapkan sebagai negara maritim. RRC bahkan menentukan Angkatan Lautnya pada tingkat Blue Water, atau setara dengan Angkatan Laut Amerika Serikat dan Inggris. Angkatan lau RRC berambisi meningkatkan kehadirannya di kawasan Asia Tenggara dan Lautan Hindia. Cina membangun dermaga baik untuk kapal perang dan kapal swasta di sepanjang pantai Timur dan Selatan. Sebagai dogma militernya, anggaran belanja negara RRC ditingkatkan sebagai upaya menghujutkan cita-cita Cina menjadi negara kuat  dimasa yang akan datang. Militer Cina juga sering melakukan latihan militer di kawasan tersebut. Secara ekonomi perusahan Cina sudah melakukan ekspolrasi dan ekspoitasi minyak dan gas bumi di kawasan Nansha dekat kepulauan Natuna Indonesia.    

Pada tahun 1976 pemerintahan Malaysia mengklaim batas landasan kontennya sepanjang 200 mil laut. Gugusan layang-layang termasuk dalam Gugusan Semarang Penijau (GSP) dan masuk dalam ZEE Malaysia. Dalam upaya mempertegas klaiamya, Malaysia membuat konservasi pulau seluas 6 hektar untuk pangkalan militer dan pariwisata. Pembangunana kawasan tersebut mendapatkan kecwman dari pemerintah Philipina, Brunei, Vietnam, Taiwan, dan Cina. 

Pada tahun 2011, kapal-kapal patroli Cina mengganggu kapal ekplorasi minyak Philipina. Hal tersebut membuat pemerintah Philipina merespon dengan menerbangkan sebuat pesawat militernya ke wilayah tersebut, tetapi tidak terjadi bentrokan senjata. Philipina juga melakukan operasi militer dengan menggandeng nelayan untuk mengibarkan bendera Philipina di wilyah tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan ketegangan anatar Philipina dengan negara-negara sekitar LCS. 

Vietnam sampai saat ini selalu memperbesar kekuatan militernya, terutama angkatan lautnya. Keberadaan 6 kapal selam menambah kemampuan militer Vietnam secara signifikan. Vietnam adalah negara yang paling sering bersengketa dengan Cina terkait LCS.  Pada tahun 1956 ada insiden pengibaran atribut Philipina di wilayah yang di klaim oleh Taiwan. Akibat kejadian tersebut militer Taiwan mengirim pasukannya untuk mengamankan wilayah. Taiwan juga merasa hak atas LCS dengan mengeluarkan bukti-bukti sejarah.

Menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa LCS adalah langkah yang harus dihindari terlebih dahulu. Berbagai pihak harus bisa menahan diri kekuatan militernya. Berbagai aktifitas ekonomi di LCS seperti eksplorasi dan ekspoitasi SDA harus dihentikan untuk sementara waktu. Negara-negara yang bersengketa harus bisa mencari langkah-langkah kongkrit untuk menjaga kepentingan bersama demi terciptanya kemanaan kawasan. Diplomasi antar negara perlu ditingkatkan sebagai uapaya penyelsaian konflik dan sengketa territorial di Laut Cina Selatan.    
Diplomasi Pertahanan Sebagai Stabilitas
Diplomasi pertahanan merupakan konsep yang dicetuskan oleh negara Inggris melalui Strategic Defence Review pada tahun 1998, yang ditujukan untuk mengintegrasikan instrumen militer dan diplomatik terkait pencegahan konflik dan mengelola krisis.[11] Secara umum terdapat beberapa definisi dari diplomasi pertahanan. Rajeswari Pillai Rajagopalan dalam jurnalnya yang berjudul “Military Diplomacy: The Need for India to Effectively Use In Its Conduct of Diplomacy” mendefinisikan diplomasi pertahanan sebagai “categorized under such heads as defence exchanges to include joint training with the militaries of foreign countries.[12] Sedangkan Matsuda Yasuhiro dalam essay yang berjudul “An Essay on China’s Military Diplomatic: Examination of Intentions in Foreign Strategy” memberikan pengertian diplomasi sebagai, “all diplomatic activities relating to national security and military diplomatic activities.[13] Kementerian Pertahanan Inggris dalam buku yang berjudul “Joint Doctrine Publication 0-01 British Defence Doctrine” mengartikan diplomasi pertahanan sebagai “aims to dispel hostility, build and maintain trust, and
assist in the development of responsible, competent and democratically accountable forces”.[14]

Berdasarkan definisi di atas dapat kita simpulkan disimpulkan bahwa diplomasi pertahanan merupakan seluruh kegiatan diplomatik yang berkaitan dengan keamanan nasional dan kegiatan militer seperti pertukaran aktor pertahanan dalam rangka melakukan pelatihan bersama dengan aktor pertahanan dari negara-negara lain yang bertujuan untuk memperkuat confidence building measure (CBM) dan memperkuat stabilitas kawasan.

Terdapat tiga varian dalam perkembangan konsep diplomasi pertahanan. Pertama, diplomasi pertahanan merupakan instrumen negara untuk pengejaran kepentingan nasional yang bersifat bilateral maupun multilateral. Kedua, diplomasi pertahanan secara tradisional memiliki pengertian sebagai alat kebijakan pertahanan dan keamanan suatu negara untuk mencari teman atau aliansi dengan memberikan bantuan dan latihan bersama. Ketiga, pada perkembangannya, diplomasi pertahanan pasca tradisional bertujuan untuk membangun hubungan baik dengan negara lain untuk mengurangi ketidakpastian di dalam lingkungan internasional.[15]

Diplomasi pertahanan di kawasan Asia Tenggara terus mengalami peningkatan. Negara-negara di kawasan terus memperkuat kinerja diplomasi pertahanan dengan negara-negara lain dalam berbagai bentuk kerjasama, baik secara bilateral (dua negara) maupun multilateral (banyak negara). Negara non-Asia Tenggara juga ikut memperkuat diplomasi pertahanan di kawasan Asia Tenggara. Diplomasi pertahanan ditujukan untuk saling memperkuat confidence building measure (CBM) dan sekaligus memperkuat stabilitas kawasan.[16]Melalui diplomasi perdamaian dan stabilitas kawasan akan semakin terjaga. Diplomasi pertahanan saat ini menjadi bagian yang penting dalam hubungan strategis di kawasan. Oleh Karena itu diperlukan kerjasama antar negara kawasan dalam hal sinkronisasi kebijakan masalah kerjasama pertahanan antar negara. Dalam konteks Laut Cina Selatan (LCS), upaya diplomasi ini menjadi penting sebagai upaya untuk menurunkan ketegangan baik yang bersifat politik maupun militer.

         Dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai. Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia. Ada tiga poin penting yang menjadi tujuan zero draft code of conduct yang diusulkan oleh Marty, yakni untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden, dan mengelola insiden jika insiden itu terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan langkah-langkah konkrit yang mengatur kapal-kapal perang untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden dan mengelola insiden. Secara prinsip tiga target utama dari code of conduct yang telah diusulkan Marty pada September 2012 lalu itu telah disetujui dalam pertemuan antara menteri luar ASEAN dan China di Beijing pada Agustus 2013.

ASEAN memfasilitasi forum bagi pihak-pihak yang bersengketa di LCS. ASEAN mewakili negara yang bersengketa melakukan diplomasi dengan RRC. Indonesia menjadi prakarsa Asean Maritim Forum (AMF). AMF berfungsi sebagai wahana diplomasi negara-negara yang bersengketa untuk membahas dan bernegosiasi membahas masalah yang ada di LCS. AFM mempertemukan 10 negara ASEAN dan mitra kerja seperti Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Indonesia dalam AMF memegang peran yang sentral dalam menyelesaikan sengketa LCS. Upaya yang dilakukan mencakup Diplomasi Politik dan Non-Diplomasi Politik. 

Salah satu upaya diplomasi non politik adalah lokakarya Working Group proyek The Studi Impacts on Coastal Environment in the South China Sea Affected by Potential Climate Change yang di fasilitasi AMF. Upaya tersebut mendapatkan sambutan yang baik dari anggota dan peserta, kegiatan tersebut menjadi model penyelesaian konflik territorial yang dapat ditiru. Loka karya tersebut juga mendorong terciptanya program kerja sama baru yang lebih kongrit dan berkesinambungan antara pesarta yang tergabung dalam Diskusi grup. 

Sedangkan upaya Diplomasi Politik adalah KTT ke 18 ASEAN pada 2011. Ada tiga pilar pembahasan di KTT yaitu: pertama, memastikan terciptanya komunitas ASEAN 2015. kedua, memilihara kawasan yang aman dan stabil sehingga tercapainya pembanguan negara ASEAN. ketiga, berperan aktif dalam memecahkan masalah ASEAN dalam komunitas Global, salah satunya adalah sengketa Laut Cina Selatan.

Pertemuan AMM/PMC ke 44, dan pertemuan ARF ke 18 di bali mendapat sambutan yang baik dan dianggap mampu memberikan dampak yang signifikan terkait sengketa LCS. Salah satu produknya adalah membentuk COC (Code of Conduct) sebagai kelanjutan dari DOC. 

Peran ASEAN dalam Diplomasi Politik
Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS) mendapat perhatian dari organisasi internasional seperti ASEAN. Berbagai kegiatan seperti workshop atau lokakarya dilakukan ASEAN sebagai upaya untuk mencari mekanisme yang cocok dalam penyelesaian konflik di LCS. Pasca insiden yang melibatkan beberapa negara ASEAN dengan RRC (Republik Rakyat Cina), terciptanya kesepakatan yang dikenal dengan “The Declaration on the Code of Conduct of Partiesb in The South China Sea (DOC).” Inti dari deklarasi tersebut adalah kesepakatan untuk tidak menggunakan kekuatan atau acaman kekuatan untuk menyelesaikan konflik LCS. Berbagai forum juga muncul sebagai upaya penelesaian konflik LCS.  

Signifikasi konflik LCS bagi ASEAN adalah; Pertama, menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggota khususnya yang terlibat dalam konflik LCS. Kedua, LCS adalah wilayah strategis, untuk dijadikan pangkalan militer, sehingga ASEAN harus memperhatiakan seegala ancaman yang akan terjadi. Ketiga, LCS memiliki nilai ekonomis, baik sumber daya alamnya, atau kestrategisannya sebagai jalur perdagangan inter nasional yang bisa menjadi nilai tambah bagai negara ASEAN. 

Konflik LCS menjadi wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid demi terciptanya ASEAN yang lebih baik. Jika ASEAN tidak bisa melakukan diplomatik dengan RRC maka ASEAN akan kehilangan relevansinya. ASEAN kemudian dianggap gagal dalam menciptakan stabilitas dan kemanan.

Sengketa yang terjadi di LCS seharusnya tidak terjadi lagi jika setiap pihak yang bersengketa berperilaku sesuai dengan peranjian yang sudah di tetapkan dalam The Declaration on the Code of Conduct of Partiesb in The South China Sea (DOC). Konflik yang masih terjadi menunjukan kegagalan DOC sebagai sebuah dokumen kesepakatan karena sifatnya yang tidak mengikat. Oleh karena itu diperlukan pelaksanaan dari DOC dalam bentuk “Code of Conduct” (COC) atau kode etik yang mengikat secara hukum dan terdapat langkah-langkah kongkrit sebagai impelementasinya.                
Penutup
Sampai saat ini sengketa wilayah di Laut China Selatan masih belum terselesaikan, namun peran ASEAN diakui keberhasilannya dalam mengajak China dan negara-negara yang berkonflik agar dapat menahan diri dalam konflik tersebut serta dapat berpatisipasi dalam satu forum, mendorong diskusi dan dialog, dan juga menjajaki berbagai kemungkinan dan cara bekerjasama dalam bidang-bidang yang menjadi perhatian bersama.

Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) merupakan usaha penyelesaian konflik, dan di sempurnakan menjadi bentuk “Code of Conduct” (COC). Deklarasi tersebut mengajak semua negara yang berkonflik termasuk China untuk menjaga stabilitas regional, bekerja sama dan menyelesaikan konflik secara damai. Aturan dalam COC lebih mengikat secara hukum sehingga diharapkan menjadi dasar bagi negara-negara yang bersengketa dalam menyelesaikan permasalahan di Laut China Selatan.

Penulis menyarankan agar Indonesia atau organisasi ASEAN berpartisipasi aktif dalam mendorong China dan negara-negara yang bersengketa di kawasan Laut China Selatan menemukan jalan keluar demi keamanan di kawasan dengan cara diplomasi dan menghindari ketegangan militer. Dengan forum diplomasi dan deklarasi yang sudah disepakati semoga memberikan kepercayaan bagi negara-negara lain untuk aktif menjaga keamanan kawasan.



REFERENSI

Sumber Buku:
Buntoro, Kresno. “Indonesia,ASEAN,danLaut CinaSelatan”, Jakarta:Badan Kordinasi Kemanan Laut. 2011

Kingdom, United, “Defence Diplomacy.” Ministry of Defence Policy Paper. 2011

Rajagopalan, Rajeswari Pillai, “Military Diplomacy: The Need for India to Effectively Use In Its Conduct of Diplomacy.” 2008.

Ras, Abdul Rivai, “Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahana Regional Asia Pasifik,” Jakarta: PT. Rendino Putra Sejati dan TNI AL. 2001

Syawfi, Idil (2009), Aktifitas Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam Pemenuhan Tujuan-Tujuan Pertahanan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia dalam Arifin Multazam, (2010), Diplomasi Pertahanan Indonesia Terhadap Korea Selatan Periode 2006-2009, Tesis Universitas Indonesia.

Yasuhiro, Matsuda, “An Essay on China’s Military Diplomatic: Examination of Intentions in Foreign Strategy.” 2006.

Perwita Banyu, Bandoro Bantarto. Memahami Kajian Strategis. Jakarta,Fisip UPN Press

Sumber Web:
Centre Thucydide, (2003), “AFRI 2002, Volume III – The “Defence Diplomacy”, Main Component of the Preventive Diplomacy. Toward a New Symbiosis Between Diplomacy and Defence,” http://www.afri-ct.org/The-defence-diplomacy-main?lang=fr


South China Sea Region, United States Energy Information Adminitrasiuon, Coutry Analysis. http://www.southchinasea.org/scs-intro-t7,html



[1] Penulis adalah Mahasiswi S2 Universitas Pertahanan Nasional Jurusan Damai dan Resolusi Konflik (DRK) 2015.  
[2] Afrimadona dan Yugolastarob Komeini, Perspektif-perspektif Utama Dalam Kajian Strategis,
dalam AA Banyu Perwita & Bantarto Bandoro, Memahami Kajian Strategis, Jakarta; Fisip UPN
Press, 2012, hlm. 18-19.
[3] Sam J. Tangredi, Sea Power: Theory and Practice, London: Butterworhts, 1984, hlm. 115.
[4] Kresno Buntoro (2011) Indonesia,ASEAN,danLaut CinaSelatan, Jakarta:Badan Kordinasi Kemanan Laut. hlm 3.
[5] Ibd. hlm 3.
[6] Ibd. hlm 18.
[7] Sumber: South China Sea Region, United States Energy Information Adminitrasiuon, Coutry Analysis. http://www.southchinasea.org/scs-intro-t7,html di akses pada 30 Des 2015.
[8] Sumber: Kresno Buntoro (2011), hlm 20.
[9] Sumber: Kresno Buntoro (2011). Hlm 10
[10] Sumber: Kresno Buntoro (2011), hlm 35.
[11] Centre Thucydide, (2003), “AFRI 2002, Volume III – The “Defence Diplomacy”, Main Component of the Preventive Diplomacy. Toward a New Symbiosis Between Diplomacy and Defence,” http://www.afri-ct.org/The-defence-diplomacy-main?lang=fr diakses 30 Des 2015.
[12] Rajeswari Pillai Rajagopalan, (2008), “Military Diplomacy: The Need for India to Effectively Use In Its Conduct of Diplomacy”, hal. 1.
[13] Matsuda Yasuhiro, (2006), “An Essay on China’s Military Diplomatic: Examination of Intentions in Foreign Strategy”, hal. 3.
[14] United Kingdom, (2011), Defence Diplomacy, Ministry of Defence Policy Paper No. 1 ,hal. 1-7.
[15] Idil Syawfi, (2009), Aktifitas Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam Pemenuhan Tujuan-Tujuan Pertahanan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia dalam Arifin Multazam, (2010), Diplomasi Pertahanan Indonesia Terhadap Korea Selatan Periode 2006-2009, Tesis Universitas Indonesia, hal. 18.
[16] http://www.dephan.go.id/buku_putih/bab_v.htm diakses pada tanggal 29 Des 2015 Pukul 07.00 WIB 

0 komentar:

Posting Komentar