Oleh: Kartika DN.[1]
Pendahuluan
Abstract
Diplomacy is something
that should be and continue to be done in co-operation carried out by countries
that have a good cooperation is bilateral or multilateral . Geographical
conditions involving several countries in the South China Sea to present the
perspective of the truth of each of the countries that are in the surrounding
area . Conditions of mutual claims on the South China Sea makes several
countries involved in the conflict over the region. Diplomacy needs to be done
either political or non-political nature to prevent the ongoing conflict .
Diplomacy used as one instrument of command that is important to strengthen the
involvement of military forces in the country's defense force or facing even
the worst conditions , namely war . Diplomacy in the South China Sea conflict
as part of efforts to prevent weapons of war between the countries involved in
the region .
Key note: Diplomacy, Military, War.
Pendahuluan
Dalam ruang lingkup
internasional, hubungan antar negara bersifat anarki yang memandang kedaulatan
sebagai sesuatu yang absolute yang mengarah pada terjadinya konflik karena
mengangap eksistensi sebuah negara merupakan ancaman bagi negara lain. Sehingga
untuk mendapatkan sebuah keamanan (merasa aman terhadap adanya ancaman), negara
perlu membangun kekuatan militer, baik pembangunan kekuatan militer yang
bersandar pada kekuatan nasional dan aliansi sebagai bentuk dari maksimalisasi
kekuatan atau implementasi strategi militer untuk mencapai makna keamnaan,
teruatama keamanan terhadap eilayah perairannya atau maritim.[2]
Peranan kekuatan laut
(sea power) pada aspek pertahanan ditujukan untuk mencapai keamanan maritim.
Hal ini berjalan linear dengan kondisi geografis wilayah dunia. Kondisi
geografis wilayah dunia menggambarkan bahwa ketergantungan negara-negara
terhadap laut sanagt besar. Ada beberapa alasan mengapa banyak negara
bergantung pada wilayah geografis laut. Pertama, kurang lebih 70% wilayah di
dunia didominasi oleh lautan. Kedua, kurang lebih 90% jalur perdagangan jika
dilihat dari berat volumenya,menggunakan jalur perairan. Ketiga, pada garis
pantai terdapat kota-kota besar dan adanya penduduk perkotaan dalam jarak 200
km dari garis pantai. Keempat, hukum internasional memebrikan kebebasan dalam
memberdayakan kekayaan alam yang terdapat di laut terutama kepada pemilik
wilayah tersebut. Dengan begitu pada bagian kedua, ketiga dan keempat
mempengaruhi dalam perekonomian dan kepentingan nasional yang harus dilindungi
dari berbagai ancaman.[3]
Potensi Sumber Daya
Alam yang besar yang berada di Laut Cina Selatan menjadi salah satu faktor yang
memicu terjadinya konflik di wilayah ini. Letak geografis yang melibatkan
beberapa negara di wilayah ini turut serta mempengaruhi konflik yang terjadi di
kawasan Laut Cina Selatan. Jalur ini berperan penting untuk perkembangan
ekonomi,politik dan sosial bagi negara-negara di sekitar kawasan Cina Selatan.
Secara geografis LCS dikelilingi sepuluh negara pantai dimana luas perairannya
mencakup Teluk Siam yang dibatasi oleh Vietnam,Kamboja,Thailand dan Malaysia
serat Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC.
Posisi strategis
dengan jalur perdagangan internasional yang melibatkan banyak negara mendatangkan
banyak potensi konflik yang bisa memicu terjadinya konflik bahkan perang
senjata di antara negara-negara yang terlibat di dalam klaim kawasan ini
menjadi hal yang harus diperhatikan oleh negara Indonesia. Sebagai anggota
negara ASEAN yang memiliki asas politik
bebas aktif menjadikan gerakan diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia bersifat
tidak memihak negara manapun yang terlibat dalam klaim ini.
Dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan
pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang
memadai. Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf
awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan
bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia. Terdapat dua upaya diplomasi
yang bisa dilakukan dalam konflik LCS ini. Kedua bentuk diplomasi tersebut
adalah diplomasi politik dan diplomasi non politik. Salah satu upaya diplomasi non
politik adalah lokakarya Working Group proyek The Studi Impacts on Coastal Environment in
the South China Sea Affected by Potential Climate Change yang di fasilitasi
AMF. Sedangkan upaya Diplomasi Politik adalah KTT ke 18 ASEAN pada 2011.
Geografis dan Potensi LCS
Laut Cina Selatan (LCS) terletak di tepi bagian Samudra
Pasifik yang mencakup Singapura sampai Selatan Taiwan dengan luas 3.500.000 Km2.
LCS terdiri dari pulau, karang, gosong, dan gugusan pulau yang berjumlah sekitar 200 gugusan. Sebagaian gugusan pulau berada di bawah
laut dan sebagian kecil
berada di atas permukaan laut.[4] Sebagai jalur ekonomi wilayah LCS
sangat strategis dan menjadi pelayaran internasional. Negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah negara pantai
seperti; RRC (Republik Rakyat Cina), Hong Kong, Republik Cina (Taiwan),
Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
Negara tak berpantai seperti Laos, dan negara dependent territory seperti Makau.
Gambar: Wilayah Sengketa Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan
memiliki gugusan kepulauan terbesar bernama Spratly dengan luas
mencapai 810-900
km2, yang terbesarnya menjadi kepulauan Taiping (Itu Aba) dengan
panjang mencapai 1,3 km2 dan ketinggian 3,8 m2. Kepulauan Spratly memiliki feauture geografi tunggal selebar 100 km2,
biasanya sering disebut gunung laut, atau Reed
Tablemount, atau lebih dikenal dengan Red Bank. Red Bank terletak di utara gugusan, dan
terpisah oleh pulau Palawan dan Cekungan Palawan. Red Bank
tenggelam sekitar 20 meter dari permukaan laut dan merupakan atol terbesar di dunia dengan luas 8,866 km2.[5]
Konflik pulau Spartly
dan Paracel lebih terkenal karena intensitas konfliknya, konflik
LCS sebenarnya tidak hannya terkait dua pulau tersebut.
LCS bisa dikatakan sebagai jalur perdagangan internasional yang
sangat strategis, nilai perdagangan
di jalur LCS bisa mencapai 5,3 triliun dollar/tahun. LCS juga diperkirakan memiliki cadangan SDA (Sumber Daya Alam) yang besar, salah satunya adalah cadangan minyak sebesar
30 miliar metrik ton dan gas sebesar 16
triliun meter kubik gas.
Belum ada data resmi yang menyatakan potensi SDA di
LCS, akan tetapi para ahli berpendapat bahwa potensi minyak dan gas di LCS
cukup besar (lihat table 1). Selain potensi minyak dan gas, terdapat SDA perikanan
yang sangat berlimpah, hal ini disebabkan karena banyaknya gugusan karang dan
gosong yang menjadi tempat berkembangnya berbagai biota laut. Pergerakan arus
dari Samudera Pasifik ke Samudra Hindia atau sebaliknya membuat LCS memiliki
sumber daya perikanan yang sangat melimpah.[6]
Region
|
Proven Oil Reserves (Bilion
Barrels)
|
Proven Gas Reserves (Trillion
Cubic Feet)
|
Oil Production (Milion
Barrels/day)
|
Gas Production (Trilion Cubic
Feet/Year)
|
Caspian Sea Region
|
17,2 – 32,8
|
232
|
1,6
|
4,5
|
North Sea Region
|
16,8
|
178,7
|
6,4
|
9,4
|
Persian Gluf
|
674,0
|
1,923
|
19,3
|
8
|
South China Sea
|
Est. 7
|
Est. 150,3
|
2,2
|
3,2
|
Tabel 1: Perbandingan LCS dengan Laut Wilayah Lain[7]
Sumber enegri akan menjadi faktor kelangsungan suatu
bangsa. Oleh karena itu berbagai negara mencoba meningkatkan cadangan energi
dengan eksplorasi terhadap potensi sumber daya di wilayahnya, akan tetapi
beberapa negara akan berjuang melakukan ekspansi eksplorasi di luar wilayahnya
dengan memaksimalkan potensi di daerah frontier, dalam hal ini Laut Cina
Selatan. Sumber daya yang strategis dan besar ini diperkirakan menjadi faktor
dominan dalam konflik Laut Cina Selatan.
Konflik Negara-negara di LCS
RRC (Republik Rakyat Cina), Makau, Hong Kong, Republik
Cina (Taiwan), Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan
Vietnam adalah negara yang berbatasan dengan laut Cina Selatan (LCS). Hampir
semua negera tersebut mengklaim kedaulatan terhadap gugusan pulau di LCS, dan
sebagaian memiliki kepentingan terhadap batas wilayah. Dibawah ini adalah
gambar negara-negara yang berbatasan dengan LCS.
Gambar: Negara-negara di sekitar LCS
Setiap Negara memiliki sebutan yang berbeda terhadap
LCS. Orang Cina menyebut LCS sebagai Laut Selatan, sedangkan orang Philipina
menyebut LCS sebagai Laut Luzon, dan pada tahun 2011 menjadi Laut Philipina
Barat. Orang Vietnam menyebut LCS sebagai Laut Timur. Sedangkan orang Indonesia
dan Malaysia menyebutnya sebagai Laut Cina Selatan. Mengenai nama kepulauan di
LCS, setiap negara menamakan berdasarkan klaimnya. Taiwan menyebut kepulauan
Spratly dengan sebutan Shinnegunto, Vietnam menyebutnya dengan Truong Sa
(Beting panjang), Philipina menyebutnya dengan Kalayaan (Kemerdekaan), Malaysia
menyebutnya dengan Abad an Trumbu layang-layang, RRC menyebutnya dengan istilah
Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan).
Konflik yang terjadi di LCS sudah berlangsung cukup
lama. Konflik LCS sudah terjadi sejak tahun 1992, dimana pemerintahan Cina
saling tuduh dengan pemerintahan Vietnam atas hak pengeboran di pulau Hainan.
Berbagai perjanjian dan diplomasi antar negara-negara di sekitar LCS dilakukan
demi meredam ketegangan. Berikut adalah tabel pemetaan perselisihan antara
negara-negara yang berbatasan dengan LCS.
Tahun
|
Negara
|
Perselisihan
|
1992
|
Cina dengan Vietnam
|
Bulan mei, Cina menadatangani kontrak dengan
perusahaan Amerika Serikat; Crestone untuk eksplotasi minyak di Spratly di
area yang diklaim oleh Vietnam sekitar 600 miles selatan pulau Hainan. Bulan
September, pemerintah Vietnam menuduh Cina melakukan pengeboran di teluk
Tonkin.
|
1993
|
Cina dengan Vietnam
|
Bulan mei, Vietnam menuduh Cina melkukan survey
seismic dengan British Petroleum’s di perairan Vietnam, kapal Cina
meninggalkan blok 06 milik Vietnam setelah munculnya 2 kapal angkatan laut
Vietnam.
Pada bulan desember, Vietnam meminta Crestone
menunda pengembangan pengeboran minyak di perairannya.
|
1994
|
Cina dengan Vietnam
|
Perusahaan Crestone bergabung dengan perusahaan Cina
eksporasi di Wan Bei 21 (WAB-21 Blok). Vietnam protes bahwa eksplorasi berada
di perairan Vietnam bloks 133, 134, dan 135. Cina menawarkan membagi produksi
di Wan Bei dengan Vietnam, sepanjang Cina mendapatkan kedaulatan tersebut.
Bulan agustus kapal perang Vietnam memaksa kapal
ekplorasi Cina meninggalkan daerah pengeboran.
|
1996
|
Cina dengan Vietnam
|
Bulan april, pemerintahan Vietnam melelang blok ke
pereusahan Amerika Serikat; Conoco, dan membatalkan kontrak yang di tandatangani
Cina. Blok 133 dan 134 milik Vietnam merupakan setengah dari area yang ci
kontrak Crestone. Pmerintahan Cina melakukan protes dan menetapkan hukum
terkait klaim di Laut Cina Selatan.
|
1997
|
Cina dengan Vietnam
|
Bulan maret, pemerintahan Vietnam melakukan protes
terhadap Cina karena melakukan pengeboran di kantan-3 Spratly yang di klaim
oleh Vietnam dengan blok 113 Da Nang. Protes diplomatik di ikuti dengan
pemindahan Rig Cina.
Bulan desember, Pemerintahan Vietnam protes terhadap
kapal esplorasi no 8 dan 2 kapal supply yang berada di blok Wan Bei.
|
1998
|
Cina dengan Vietnam
|
Bulan september, pemerintahan Vietnam protes setelah
cina dan perusahaan Crestone melanjutkan survey Spratly. Untung saja
perselisihan dapat diselesaikan dengan perjanjian pada desember 2000.
|
2003
|
Malaysia dengan Brunei
|
Bulai mei, kapal patrol Brunei menghentikan kegiatan
eksplorasi yang dilakukan oleh perusahan Total ahsil kerjasama dengan
Malaysia
|
Tabel: Pemetaan Perselisihan di LCS[8]
Konflik yang terjadi di
LCS merupakan upaya negara melakukan pertahanan wilayah dan kedaulatan. Klaim
batasan wilayah, pulau dan gugusan pulau yang ada di LCS menjadi pemicu konflik
antara negara. Berikut adalah tabel klaim negara-negara terhadap wilayah LCS.
Negara
|
Klaim Wilayah
|
Brunei
|
Pemerintahan Brunei
tidak mengklaim pulau yang ada di LCS. Akan tetapi Brunei mengklaim ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif) dan Landas Kontinen yang ditarik dari wilayah pantai
Brunei. Tahun 1984, Brunei mendeklarasikan ZEE yang meliputi Louisa Reef.
|
Cina
|
Pemerintahan Cina
mengklaim semua pulau yang ada di LCS. Klaim tersebut berdasarkan alas an
historis sejak diansti Han (110 AD) dan Mingn (1403-1433 AD). Garis batas
klaimnya tidak dalam bentuk koordinat sehingga tidak jelas.
Pada abad ke 19th
dn awal abad 20th, Cina menyatakan kliamnya terhadap Spratly dan
Paracel. Pada perang dunia kedua wilayah itu diklaim oleh Jepang. Pada tahun
1947 Cina mempublikasikan peta dengan 9 garis sebagai wilayahnya. Pada tahun
1992 hukum Cina menegaskan kalimnya. Pada tahun 1974, Cina menguasai kepulauan
Paracel dari Vietnam.
|
Indonesia
|
Pemerintah
Indonesia tidak mengklaim LCS, tetapi wilayah ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dan
landasan kontinen Indonesia (termasuk lapangan minyak dan gas Natuna) akan
terpengaruh terhadap klaim-klaim yang dilakukan oleh Negara lain. Bahkan ada
yang mencoba memasukan natuna dalam wilayah klaim, sehingga memaksa Indonesia
untuk itu dalam konflik LCS.
|
Malaysia
|
Klaim kepulauan
Spratly didasarkan pada prinsip landas kontinen dan batas klaimnya dalam
bentuk koordinat geografis. Malayisa sudah menguasai 3 pulau dan itu berada
di Lndas kontinennya. Malaysia sudah membanguan atau melakukan reklamasi
terhadap salah satu attol sebagai hotel.
|
Philippines
|
Pemerintahan
Philipina mengklai, kepualauan Spratly disadarkan pada prinsip proximity
serta penjelajakah orang Philipina. Batas klaimnya dalam bentuk koordinat
geografis. Pada tahun 1971, philipina secara resmi mengkalim 8 pulau yang
idkenal sebagai Kalayaan bagaian dari provinsi Palawan.
|
Taiwan
|
Klaim Taiwan sama
seperti Cina. Taiwan menguasai Pulau Pratas di Spratlys.
|
Vietnam
|
Klaim di dasarkan
pada prinsip landas kontinen dan
meliputi seluruh Spratly termasuk seluruh LCS. Batas klaim tidak tercantum
secara jelas. Vietnam juga klaim kepulauan Paracel, walaupun direbut Cina pda
tahun 1974.
|
Tabel: klaim negara-negara di LCS[9]
Saling klaim
terkait batas wilayah dan pulau yang ada di LCS, memicu ketegangan antara
negara. Masing-masing pihak berdasarkan klaim sejarah, prinsip hukum
internasional dan perjanjian, merasa paling hak atas SDA yang ada di LCS. Ketegangan
antar negara-negara yang bersengketa membuat situasi sengketa mengarah pada
kekuatan militer. Jika sengketa ini berdampak pada ketegangan militer, tidak
dapat dipungkiri stabilitas ekonomi negara-negara yang bersentuhan langsung
dengan jalur pelayaran di LCS akan tergangu.
Kekuatan Militer di LCS
Sengketa territorial
di LCS (Laut Cina Selatan) tidak hannya membahas masalah kedaulatan atas
pulau-pulau, tetapi bercampur dengan masalah hak kedaulatan atas landasan
kontonen dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif). Sengketa territorial LCS memiliki
sejarah yang panjang dan melibatkan banyak negara. Tidak sedikit sengketa LCS
berujung pada bentrok kekuatan militer negara-negara yang bersengketa. Berikut
adalah tabel sengketa militer di LCS.
Tahun
|
Negara
|
Tindakan Militer
|
1976
|
Cina dengan Vietnam
|
Cina menguasai
pulau Paracel dari Vietnam.
|
1988
|
Cina dengan Vietnam
|
Angkatan laut Cina
dan Vietnam bentrok di Johnson Reef kepulauan Spratly. Beberpa kapal Vietnam
tenggelam dan 70 pelaut meninggal dunia.
|
1992
|
Cina dengan Vietnam
|
Vietnam meneuduh
cina melakukan pengeboran di wilayah perairan Vietnam di teluk Tonkin dan
menuduh Cina mendaratkan pasukan di Da Luc Reef. Cina menyita 20 kapal kargo
Vietnam yang berlayar dari Hongkong.
|
1994
|
Cina dengan Vietnam
|
Cina dan Vietnam
terjadi konfrotasi kekuatan lautnya di dalam laut territorial yang diakui
Vietnam disekitar eksplorasi minyak blok 133. 134, dan 135. Cina melakukan
kliam yang di area yang sama yaitu blok Wan Bei-21.
|
1995
|
Cina dengan
Philipina
|
Cina melakukan
okupasi terhadap Mischief Reef yang di klaim Philipina. Militer Philipina
mengusir militer Cina dan menghancurkan antribut yang ada.
|
1995
|
Taiwan dengan
Vietnam
|
Artileri Taiwan
menembaki kapal supply Vietnam
|
1996
|
Cina dengan
Philipina
|
3 kapal cina
terlibat dalam 90 menit pertempuran dengan kapal perang Philipina di dekat
pulau Campones
|
1997
|
Cina dengan
Philipina
|
Angkatan lauat
Philipina memperintahkan kapal patrol Cina dan 2 kapal ikannya untuk
meninggalkan Scarborough Shoal. Nelayan Philipina membuat atribut Cina dan
menaikan bendera Philipina.
Cina mengirim 3
kapal perangnya untuk monitoring dan survey pulau panata dan kota yang
diklaim oleh Philipina.
|
1998
|
Philipina dengan
Vietnam
|
Angkatan laut
Vietnam menembak kapal ikan Philipina di dekat karang Tennent (pigeon).
|
1999
|
Cina dengan
Philipina
|
Beberapa kapal ikan
Cina tenggelam setelah tabrakan dengan kapal perang Philipina selama
mei-juni.
|
1999
|
Cina dengan
Philipina
|
Kapal perang Cina
di tuduh melakukan pelecehan terhadap kapal perang Phillipina setelah
lemarikan diri di sekitar kepuluan Spratly.
|
1999
|
Cina dengan Vietnam
|
Pasukan Vietnam
menembak pesawat temput Philipina yang sedang melakukan pengintaian di
kepulauan Spartly.
|
1999
|
Malaysia dengan
Philipina
|
Dua pesawat temput
Vietnam dan Malaysia hampir melakukan kontak senjata di wilayah kepulauan
Spartly yang di klaim sebagai wilayah Malaysia.
|
Tabel: Sengketa militer di LCS[10]
Pada tahun 1978, RRC
menetapkan sebagai negara maritim. RRC bahkan menentukan Angkatan Lautnya pada
tingkat Blue Water, atau setara dengan Angkatan Laut Amerika Serikat dan
Inggris. Angkatan lau RRC berambisi meningkatkan kehadirannya di kawasan Asia
Tenggara dan Lautan Hindia. Cina membangun dermaga baik untuk kapal perang dan
kapal swasta di sepanjang pantai Timur dan Selatan. Sebagai dogma militernya,
anggaran belanja negara RRC ditingkatkan sebagai upaya menghujutkan cita-cita
Cina menjadi negara kuat dimasa yang
akan datang. Militer Cina juga sering melakukan latihan militer di kawasan tersebut.
Secara ekonomi perusahan Cina sudah melakukan ekspolrasi dan ekspoitasi minyak
dan gas bumi di kawasan Nansha dekat kepulauan Natuna Indonesia.
Pada tahun 1976
pemerintahan Malaysia mengklaim batas landasan kontennya sepanjang 200 mil
laut. Gugusan layang-layang termasuk dalam Gugusan Semarang Penijau (GSP) dan
masuk dalam ZEE Malaysia. Dalam upaya mempertegas klaiamya, Malaysia membuat
konservasi pulau seluas 6 hektar untuk pangkalan militer dan pariwisata.
Pembangunana kawasan tersebut mendapatkan kecwman dari pemerintah Philipina,
Brunei, Vietnam, Taiwan, dan Cina.
Pada tahun 2011,
kapal-kapal patroli Cina mengganggu kapal ekplorasi minyak Philipina. Hal
tersebut membuat pemerintah Philipina merespon dengan menerbangkan sebuat
pesawat militernya ke wilayah tersebut, tetapi tidak terjadi bentrokan senjata.
Philipina juga melakukan operasi militer dengan menggandeng nelayan untuk
mengibarkan bendera Philipina di wilyah tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan
ketegangan anatar Philipina dengan negara-negara sekitar LCS.
Vietnam sampai saat
ini selalu memperbesar kekuatan militernya, terutama angkatan lautnya.
Keberadaan 6 kapal selam menambah kemampuan militer Vietnam secara signifikan.
Vietnam adalah negara yang paling sering bersengketa dengan Cina terkait LCS. Pada tahun 1956 ada insiden pengibaran atribut
Philipina di wilayah yang di klaim oleh Taiwan. Akibat kejadian tersebut
militer Taiwan mengirim pasukannya untuk mengamankan wilayah. Taiwan juga
merasa hak atas LCS dengan mengeluarkan bukti-bukti sejarah.
Menggunakan kekuatan
militer untuk menyelesaikan sengketa LCS adalah langkah yang harus dihindari
terlebih dahulu. Berbagai pihak harus bisa menahan diri kekuatan militernya.
Berbagai aktifitas ekonomi di LCS seperti eksplorasi dan ekspoitasi SDA harus
dihentikan untuk sementara waktu. Negara-negara yang bersengketa harus bisa
mencari langkah-langkah kongkrit untuk menjaga kepentingan bersama demi
terciptanya kemanaan kawasan. Diplomasi antar negara perlu ditingkatkan sebagai
uapaya penyelsaian konflik dan sengketa territorial di Laut Cina Selatan.
Diplomasi Pertahanan Sebagai Stabilitas
Diplomasi pertahanan merupakan konsep yang dicetuskan
oleh negara Inggris melalui Strategic Defence Review pada tahun 1998,
yang ditujukan untuk mengintegrasikan instrumen militer dan diplomatik terkait
pencegahan konflik dan mengelola krisis.[11]
Secara umum terdapat beberapa definisi dari diplomasi pertahanan. Rajeswari
Pillai Rajagopalan dalam jurnalnya yang berjudul “Military Diplomacy: The
Need for India to Effectively Use In Its Conduct of Diplomacy”
mendefinisikan diplomasi pertahanan sebagai “categorized under such heads as
defence exchanges to include joint training with the militaries of
foreign countries.”[12]
Sedangkan Matsuda Yasuhiro dalam essay yang berjudul “An Essay on China’s
Military Diplomatic: Examination of Intentions in Foreign Strategy”
memberikan pengertian diplomasi sebagai, “all diplomatic activities relating
to national security and military diplomatic activities.”[13]
Kementerian Pertahanan Inggris dalam buku yang berjudul “Joint Doctrine
Publication 0-01 British Defence Doctrine” mengartikan diplomasi pertahanan
sebagai “aims to dispel hostility, build and maintain trust, and
assist in the development of responsible, competent and democratically
accountable forces”.[14]
Berdasarkan definisi di atas dapat kita simpulkan disimpulkan bahwa
diplomasi pertahanan merupakan seluruh kegiatan diplomatik yang berkaitan
dengan keamanan nasional dan kegiatan militer seperti pertukaran aktor pertahanan
dalam rangka melakukan pelatihan bersama dengan aktor pertahanan dari
negara-negara lain yang bertujuan untuk memperkuat confidence building
measure (CBM) dan memperkuat stabilitas kawasan.
Terdapat tiga varian dalam perkembangan konsep
diplomasi pertahanan. Pertama, diplomasi pertahanan merupakan instrumen negara untuk
pengejaran kepentingan nasional yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Kedua, diplomasi pertahanan secara tradisional memiliki pengertian sebagai alat
kebijakan pertahanan dan keamanan suatu negara untuk mencari teman atau aliansi
dengan memberikan bantuan dan latihan bersama. Ketiga, pada perkembangannya, diplomasi
pertahanan pasca tradisional bertujuan untuk membangun hubungan baik dengan
negara lain untuk mengurangi ketidakpastian di dalam lingkungan internasional.[15]
Diplomasi pertahanan di kawasan Asia Tenggara terus mengalami peningkatan. Negara-negara di kawasan terus memperkuat kinerja
diplomasi pertahanan dengan negara-negara lain dalam berbagai bentuk kerjasama,
baik secara bilateral (dua negara) maupun multilateral (banyak negara).
Negara non-Asia Tenggara juga ikut memperkuat
diplomasi pertahanan di kawasan Asia Tenggara. Diplomasi pertahanan
ditujukan untuk saling memperkuat confidence building measure (CBM) dan
sekaligus memperkuat stabilitas kawasan.[16]Melalui
diplomasi perdamaian dan stabilitas kawasan akan semakin terjaga. Diplomasi pertahanan saat ini menjadi bagian yang
penting dalam hubungan strategis di kawasan. Oleh Karena itu diperlukan
kerjasama antar negara kawasan dalam hal sinkronisasi kebijakan masalah
kerjasama pertahanan antar negara. Dalam konteks
Laut Cina Selatan (LCS), upaya diplomasi ini menjadi penting sebagai upaya
untuk menurunkan ketegangan baik yang bersifat politik maupun militer.
Dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan
pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang
memadai. Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf
awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan
bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia. Ada tiga poin penting yang
menjadi tujuan zero draft code of conduct yang diusulkan oleh Marty,
yakni untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden, dan mengelola
insiden jika insiden itu terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan
langkah-langkah konkrit yang mengatur kapal-kapal perang untuk menciptakan rasa
saling percaya, mencegah insiden dan mengelola insiden. Secara prinsip tiga
target utama dari code of conduct yang telah diusulkan Marty pada September
2012 lalu itu telah disetujui dalam pertemuan antara menteri luar ASEAN dan
China di Beijing pada Agustus 2013.
ASEAN memfasilitasi forum bagi pihak-pihak yang
bersengketa di LCS. ASEAN mewakili negara yang bersengketa melakukan diplomasi
dengan RRC. Indonesia menjadi prakarsa Asean Maritim Forum (AMF). AMF berfungsi
sebagai wahana diplomasi negara-negara yang bersengketa untuk membahas dan
bernegosiasi membahas masalah yang ada di LCS. AFM mempertemukan 10 negara
ASEAN dan mitra kerja seperti Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
Indonesia dalam AMF memegang peran yang sentral dalam menyelesaikan sengketa
LCS. Upaya yang dilakukan mencakup Diplomasi Politik dan Non-Diplomasi Politik.
Salah satu upaya
diplomasi non politik adalah lokakarya Working
Group proyek The Studi Impacts on
Coastal Environment in the South China Sea Affected by Potential Climate Change
yang di fasilitasi AMF. Upaya tersebut mendapatkan sambutan yang baik dari
anggota dan peserta, kegiatan tersebut menjadi model penyelesaian konflik
territorial yang dapat ditiru. Loka karya tersebut juga mendorong terciptanya
program kerja sama baru yang lebih kongrit dan berkesinambungan antara pesarta
yang tergabung dalam Diskusi grup.
Sedangkan upaya
Diplomasi Politik adalah KTT ke 18 ASEAN pada 2011. Ada tiga pilar pembahasan
di KTT yaitu: pertama, memastikan terciptanya komunitas ASEAN 2015. kedua,
memilihara kawasan yang aman dan stabil sehingga tercapainya pembanguan negara
ASEAN. ketiga, berperan aktif dalam memecahkan masalah ASEAN dalam komunitas
Global, salah satunya adalah sengketa Laut Cina Selatan.
Pertemuan AMM/PMC ke
44, dan pertemuan ARF ke 18 di bali mendapat sambutan yang baik dan dianggap
mampu memberikan dampak yang signifikan terkait sengketa LCS. Salah satu
produknya adalah membentuk COC (Code of Conduct) sebagai kelanjutan dari DOC.
Peran ASEAN dalam Diplomasi
Politik
Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS)
mendapat perhatian dari organisasi internasional seperti ASEAN. Berbagai
kegiatan seperti workshop atau
lokakarya dilakukan ASEAN sebagai upaya untuk mencari mekanisme yang cocok
dalam penyelesaian konflik di LCS. Pasca insiden yang melibatkan beberapa
negara ASEAN dengan RRC (Republik Rakyat Cina), terciptanya kesepakatan yang
dikenal dengan “The Declaration on the
Code of Conduct of Partiesb in The South China Sea (DOC).” Inti dari
deklarasi tersebut adalah kesepakatan untuk tidak menggunakan kekuatan atau
acaman kekuatan untuk menyelesaikan konflik LCS. Berbagai forum juga muncul
sebagai upaya penelesaian konflik LCS.
Signifikasi konflik LCS bagi ASEAN adalah; Pertama,
menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggota khususnya yang terlibat dalam
konflik LCS. Kedua, LCS adalah wilayah strategis, untuk dijadikan pangkalan
militer, sehingga ASEAN harus memperhatiakan seegala ancaman yang akan terjadi.
Ketiga, LCS memiliki nilai ekonomis, baik sumber daya alamnya, atau
kestrategisannya sebagai jalur perdagangan inter nasional yang bisa menjadi
nilai tambah bagai negara ASEAN.
Konflik LCS menjadi wahana bagi ASEAN untuk
mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid demi
terciptanya ASEAN yang lebih baik. Jika ASEAN tidak bisa melakukan diplomatik
dengan RRC maka ASEAN akan kehilangan relevansinya. ASEAN kemudian dianggap
gagal dalam menciptakan stabilitas dan kemanan.
Sengketa yang terjadi di LCS seharusnya tidak terjadi
lagi jika setiap pihak yang bersengketa berperilaku sesuai dengan peranjian
yang sudah di tetapkan dalam The
Declaration on the Code of Conduct of Partiesb in The South China Sea (DOC). Konflik
yang masih terjadi menunjukan kegagalan DOC sebagai sebuah dokumen kesepakatan
karena sifatnya yang tidak mengikat. Oleh karena itu diperlukan pelaksanaan
dari DOC dalam bentuk “Code of Conduct”
(COC) atau kode etik yang mengikat secara hukum dan terdapat langkah-langkah
kongkrit sebagai impelementasinya.
Penutup
Sampai saat ini sengketa wilayah di Laut China Selatan
masih belum terselesaikan, namun peran ASEAN diakui keberhasilannya dalam
mengajak China dan negara-negara yang berkonflik agar dapat menahan diri dalam
konflik tersebut serta dapat berpatisipasi dalam satu forum, mendorong diskusi
dan dialog, dan juga menjajaki berbagai kemungkinan dan cara bekerjasama dalam bidang-bidang yang
menjadi perhatian bersama.
Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea (DOC) merupakan usaha penyelesaian konflik, dan di
sempurnakan menjadi bentuk “Code of Conduct” (COC). Deklarasi tersebut
mengajak semua negara yang berkonflik termasuk China untuk menjaga stabilitas
regional, bekerja sama dan menyelesaikan konflik secara damai. Aturan dalam COC
lebih mengikat secara hukum sehingga diharapkan menjadi dasar bagi
negara-negara yang bersengketa dalam menyelesaikan permasalahan di Laut China Selatan.
Penulis menyarankan agar Indonesia atau organisasi
ASEAN berpartisipasi aktif dalam mendorong China dan negara-negara yang
bersengketa di kawasan Laut China Selatan menemukan jalan keluar demi keamanan
di kawasan dengan cara diplomasi dan menghindari ketegangan militer. Dengan
forum diplomasi dan deklarasi yang sudah disepakati semoga memberikan
kepercayaan bagi negara-negara lain untuk aktif menjaga keamanan kawasan.
REFERENSI
Sumber Buku:
Buntoro,
Kresno. “Indonesia,ASEAN,danLaut CinaSelatan”,
Jakarta:Badan Kordinasi Kemanan Laut. 2011
Kingdom, United, “Defence Diplomacy.” Ministry
of Defence Policy Paper. 2011
Rajagopalan, Rajeswari Pillai, “Military Diplomacy:
The Need for India to Effectively Use In Its Conduct of Diplomacy.” 2008.
Ras, Abdul Rivai, “Konflik
Laut Cina Selatan dan Ketahana Regional Asia Pasifik,” Jakarta: PT. Rendino
Putra Sejati dan TNI AL. 2001
Syawfi, Idil (2009), Aktifitas Diplomasi Pertahanan
Indonesia dalam Pemenuhan Tujuan-Tujuan Pertahanan Indonesia, Jakarta:
Universitas Indonesia dalam Arifin Multazam, (2010), Diplomasi
Pertahanan Indonesia Terhadap Korea Selatan Periode 2006-2009, Tesis
Universitas Indonesia.
Yasuhiro, Matsuda, “An Essay on China’s Military
Diplomatic: Examination of Intentions in Foreign Strategy.” 2006.
Perwita Banyu, Bandoro Bantarto. Memahami Kajian Strategis.
Jakarta,Fisip UPN Press
Sumber Web:
Centre Thucydide, (2003), “AFRI 2002, Volume III – The
“Defence Diplomacy”, Main Component of the Preventive Diplomacy. Toward a New
Symbiosis Between Diplomacy and Defence,”
http://www.afri-ct.org/The-defence-diplomacy-main?lang=fr
South China Sea Region, United States Energy
Information Adminitrasiuon, Coutry Analysis. http://www.southchinasea.org/scs-intro-t7,html
[1] Penulis adalah Mahasiswi
S2 Universitas Pertahanan Nasional Jurusan Damai dan Resolusi Konflik (DRK)
2015.
[2] Afrimadona
dan Yugolastarob Komeini, Perspektif-perspektif Utama Dalam Kajian Strategis,
dalam
AA Banyu Perwita & Bantarto Bandoro, Memahami Kajian Strategis,
Jakarta; Fisip UPN
Press, 2012, hlm. 18-19.
[4] Kresno Buntoro (2011) Indonesia,ASEAN,danLaut CinaSelatan,
Jakarta:Badan Kordinasi Kemanan Laut. hlm 3.
[5] Ibd. hlm 3.
[6] Ibd. hlm 18.
[7] Sumber: South China Sea Region, United States
Energy Information Adminitrasiuon, Coutry Analysis. http://www.southchinasea.org/scs-intro-t7,html di akses pada 30 Des 2015.
[8] Sumber: Kresno Buntoro (2011),
hlm 20.
[9] Sumber: Kresno Buntoro (2011).
Hlm 10
[10] Sumber: Kresno Buntoro (2011),
hlm 35.
[11] Centre Thucydide, (2003), “AFRI 2002,
Volume III – The “Defence Diplomacy”, Main Component of the Preventive
Diplomacy. Toward a New Symbiosis Between Diplomacy and Defence,”
http://www.afri-ct.org/The-defence-diplomacy-main?lang=fr diakses 30 Des 2015.
[12] Rajeswari Pillai Rajagopalan, (2008), “Military Diplomacy: The Need for India to Effectively Use In Its Conduct of
Diplomacy”, hal. 1.
[13] Matsuda Yasuhiro, (2006), “An Essay on China’s Military Diplomatic: Examination of Intentions in
Foreign Strategy”, hal. 3.
[15] Idil Syawfi, (2009), Aktifitas Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam Pemenuhan Tujuan-Tujuan
Pertahanan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia dalam Arifin Multazam, (2010), Diplomasi Pertahanan Indonesia Terhadap Korea Selatan Periode 2006-2009, Tesis Universitas Indonesia, hal. 18.
0 komentar:
Posting Komentar