Oleh: Gurnadi
R. (PUSPOL-Indonesia)
JAKARTA- Tanggal 21 Mei ditandai sebagai hari peringatan Reformasi. Berbagai gerakan mencoba melakukan refleksi atau peringatan 17 tahun reformasi, salah-satunya adalah mahasiswa. Media masa mencoba mepotret gerakan mahasiswa. Ada yang melakukan dialog dengan presiden di instana negara dan ada pula yang melakukan aksi masa di depan simbol-simbol kekuasaan. Kedua model gerakan tersebut dirasa sangat afdol dilakukan.
Menjadi catatan untuk kedua model gerakan untuk tidak merasa puas, karena perjuangan masih panjang. Tidak boleh juga kedua gerakan merasa lebih baik atas apa yang sudah dilakukan. Menurut sebagaian aktifis progres ’98; sadar atau tidak, jamuan makan malam yang diadakan Presiden tidak lebih dari hiburan untuk mahasiswa. Begitu pula turunnya Ruhut Panjaitan ditengah-tengah aksi masa. Secara garis besar gerakan mahasiswa berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh istana. Jika tidak ada kontrak atau janji antara istana dan mahasiswa secara tertulis (apa pun gerakannya), apa yang sudah dilakukan tidak lebih dari sebuah serimoni belakang.
Posisi mahasiswa tetap menjadi eleman penting ditengah kontestasi politik yang tidak sehat. Posisinya sebagai gerakan sosial yang netral menjadikan gerakannya sangat original. Hannya saja gagasan perlawanannya belum sampai pada gerakan yang ideologis. Gerakannya masih sangat populis di arena front stage. Disaat yang sama mahasiswa belum menyadari adanya kontestasi antara Istana dan Teuku Umar (Ubedilah: aktifi ‘98). 17 tahun reformasi kemudian bukan menjadi titik akhir dari pergerakan mahasiswa, reformasi adalah bagian dari puzzel perjungan yang tetap harus di perjuangkan. Sekarang, dimanakah posisi mahasiswa?
0 komentar:
Posting Komentar