Jumat, 10 April 2015

FENOMENA PEREBUTAN RUANG EKONOMI

(Studi Kasus Komunitas Nelayan Karangsong Indramayu Jawa Barat)

Abstracts
The research aims to identify conflicts in fishermen community under the Dahrendrof’s theory of conflict. The research is done qualitatively using case study method. The researcher conducted interviews, observations, bibliograpic studies to collect both primary and secondary data. The result showed that the natures and characteristics of conflict among fishermen are divided into two, namely latent and manifest conflicts. Those characteristics of conflicts create smaller group of conflicts in the economic space competition. Conflicts among fishermen community in Karangsong Indramayu West Java are the potential trigger for social changes.
Keywords : Fishermen conflicts and fisheries resources


A. Pendahuluan
Secara demografis wilayah pesisir Indonesia dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa, berarti hampir 60% penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai adalah masyarakat pesisir.[1] Artinya penduduk Indonesia dominan adalah masyarakat nelayan dan pesisir. Kondisi ini ber-pengaruh pada mata pencarian masyarakat Indonesia secara umum.

Secara ekonomi sumber perikanan Indonesia memiliki peranan penting. Perannya dapat terlihat dari kontribusinya terhadap Groos National Product (GNP), devisa Negara, lapangan pekerjaan bagi pekerja domestik, sebagai sumber makanan dan sebagai jaringan dengan industri-industri terkait.[2] Jika dikelola dengan baik sumber perikanan (laut) Indonesia bisa menjadi tulang punggung untuk kemajuan perekonomian bangsa di masa mendatang (Blue Economi).

Membahas masalah perikanan merupakan hal yang sangat kompleks, terutama pada masa industri. Berbagai aktifitas industri yang tidak mem-perhatikan regenerasi sumberdaya dan ekologi sebagai wadah dari sumberdaya tersebut menjadi sumber konflik penge-lolaan sumberdaya perikanan. Pihak yang paling vital terkena dampaknya adalah nelayan tradisional dan petani tambak sekitar. Di Karangsong Indramayu, industri dan modernisasi alat tangkap menyumbang kerusakan ekologi yang kemudian ditahap selanjutnya menye-babkan konflik perebutan ruang ekonomi di komunitas nelayan Indramayu.

Artikel ini ingin mengindentifikasi permasalahan komunitas nelayan dengan mengunakan teori konflik Ralf Dahrendrof tentang sifat dan bentuk konflik nelayan. Artikel ini terdiri dari tigas bab. Pertama Pendahuluan. Kedua Pijakan Pustaka, yang menjadi dasar dari analisis penelitian, dan Ketiga adalah Temuan Lapanan, yang mendeskrifsikan tentang isi dari artikel ini.

1.      Konflik Kenelayanan
Hakikatnya manusia adalah mahluk sosial (animal social), dia membutuhkan peran orang lain atau saling bergantung satu sama lain. Saling ketergantungan satu sama lain ini kemudian menimbulkan interaksi sosial atau social interactional.[3]  Lebih lanjut, interaksi sosial sendiri merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompok, maupun antara orang-perorangan dengan ke-lompok.

Bentuk-bentuk interaksi sosial sering dijumpai dalam masyarakat, antara lain; kerjasama, persaingan, dan konflik. Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Sedangkan kompetisi adalah suatu proses dimana individu atau kelompok saling bersaing (konflik) mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan (sumber daya) yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Definisi konflik sediri secara umum adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dan terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan.[4] Seperti yang diungkapkan oleh Soekanto:
“Konflik sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan”.[5]
Sedangkan definisi konflik nelayan adalah ketidakharmonisan diantara pengguna sumberdaya perikanan karena belum adanya atau dilanggarnya norma dan kesepakatan dalam prinsip peman-faatan sumberdaya perikanan.[6] Konflik nelayan dapat muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, peren-canaan, dan fungsi antara berbagai pihak yang terkait. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial, ekonomi, budaya dan biofisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Seperti yang terjadi di Karangsong Indramayu faktor sosial, ekonomi, dan biofisik sangat mempengaruhi terbentuk-nya kelompok konfli

Peneliti mengunakan teori konflik Dahrendrof dalam menganalisis fenomena konflik masyarakat pesisir atau nelayan di Karangsong dalam perebutan sumberdaya perikanan. Dahrendrof adalah tokoh utama yang mengatakan masyarakat memiliki dua wajah, konfik dan consensus. Dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan, akan tetapi untuk menghidari dari teori tunggal itu Dahrendrof membangun terori konflik masyarakat.[7]

 Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, meskipun bukan determinan kelas akan tetapi dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Perbedaan kepentingan pada konteks ini, oleh Dahrendorf dibagi menjadi dua, yakni kepentingan manifes dan kepentingan laten. Kepentingan manifes adalah kepentingan yang disadari oleh semua pihak, sedangkan kepentingan laten sendiri merupakan tingkah laku potensil yang telah ditentukan bagi seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari. Kalau kepentingan itu bersifat laten maka ke-pentingan itu tidak dapat merupakan dasar yang jelas untuk membentuk kelompok.[8]
Selain pembagian perbedaan ke-pentingan Dahrendorf juga membedakan kelompok yang terlibat konflik itu menjadi dua tipe. Pertama adalah Kelompok semu (quasi group), yang merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya ke-lompok kepentingan. Tipe yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest group), terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas.

2. ICA (Impleratively Coordinated Asso-ciations)
Tulisan Dahrendrof mengenai kelas dan konflik kelas di dalam masyarakat industri, banyak menolak pemikiran Karl Marx tentang konfik kelas di dalam masyarakat itu sendiri. Dahrendrof ber-pendapat bahwa perubahan didalam masyarakat tidak selalu disebabkan karena konflik sosial atau konflik dalam bentuk lain seperti yang di ungkapkan Karl Marx.
Dahrendrof berpendapat bahwa konflik tidak selalu menciptakan revolusi, atau berubahnya tatanan masyarakat secara cepat, dan perubahan sosial sendiri dapat terjadi tanpa adanya revolusi. Dahrendrof melihat pula bahwa di dalam kelas sosial tidak selslu terlibat didalam konflik seperti yang diuangkapkan Karl Marx. Dahrendrof akhirnya berpendapat bahwa kekuasaan politik akan selalu mengikuti kekuasaan di bidang industri itu sendiri. Hal ini yang mendasari Dahrendrof membuat teori konflik dalam berbagai segi yang berbeda dengan Karl Marx. Dengan kata lain Dahrendrof berpandangan bahwa pemikiran Marx sudah tidak realistis lagi dalam membaca kapitalism dan per-juangan kelas di dalam masyarakat industri, karena di dalam masyarakat industri itu sendiri terdapat pembagian kelas yang membuat perjuangan kelas menjadi tersekmentasi.
Teori Dahrendrof mengenai konflik terkenal dengan sebutan ICA (Im-pleratively Coordinated Associations). Dahrendrof mengibaratkan bahwa masyarakat terdiri atas organisasi yang didasarkan pada keluasan atau dominasi dari kelas atas (superordinat), dominasi ini disebabkan karena kepentingan antara pihak superordinat dan subordinat berbeda, superordinat ingin mempertahankan ke-kuasaan dan subordinat ingin memperoleh kekuasaan, akibatnya terjadi polarisasi dan konflik antar keduanya. Jika kelompok subordinat berhasil mangambil kekuasaan, akan menghasilkan perubahan sosial.[9] 

Menurut Dahrendorf, masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang disebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif atau dikenal dengan ICAs (Imperatively Coordinated Associations). Asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative terbangun dalam suatu proses sosiologis yang spesifik dan sistematis dalam satu wilayah sosial masyarakat. Dalam gambar I.1 terdapat peta pemikiran ICA (Imperatively Coordinated Asso-ciations) Dahrendorf. Pada awalnya di dalam suatu wilayah sosial, masyarakat berada pada posisi diatur dan disubordinasi (the ruled class) kelompok subordinat mulai mendapatkan kesadaran bahwa posisi dan hak mereka tertindas oleh kelompok superordinat. Hubungan kelas superordinat dengan subordinat bisa menciptakan penindasan atau latensi konflik, akan tetapi kelompok subordinat belum mempunyai dan membangun kepentingan melakukan perubahan posisi ketertindasan tersebut. Kelompok sub-ordinat hanya memiliki  kepentingan semu (latent interest), yaitu berada di level individu dan muncul di bawah sadar. Kepentingan semu tidak hanya terbatas pada satu individu, namun tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinasi. Sehingga men-ciptakan kelompok semu pula (quasi groups).[10] Memalui proses penyadara dari dalam atau luar kelompok, kemudian kelompok semu ini menjadi kelompok kepentingan nyata (Manifest Interest). Proses penyadaran dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dulu mengerti kepentingan yang harus diperjuangkan. Mereka menciptakan kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan bersama dan perlu diper-juangkan. Kelompok kepentinga nyata diharapkan Dahrendorf menjadi Interest Groups, yaitu kelompok-kelompok ke-pentingan yang melakukan perlawanan.
3. Otoritas 
Dahrendrof memusatkan per-hatiannya pada struktur sosial yang lebih luas. Ia menyakini bahwa masyarakat memiliki kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak pada diri tapi posisi. Disinilah tugas analisis konlik untuk mengidentifikasi berbagai peran otoritas didlam masyarakat. Dahrendrof menyakini bahwa Marx kurang bisa menjelaskan otoritas secara umum, yang Marx lakukan adalah memikirkan tentang otoritas pada masa awal kapitalis tanpa mem-pertimbangkan apakah itu bisa diterima di masa mendatang atau tidak. Dahrendrof mencoba menjelaskan otoritas secara jelas dan sesuai dengan masalah keninian.
Seperti yang dijelaskan di atas otoritas adalah suatu yang melekat pada posisi sosial seseorang secara objektif dan telah mendapat pengakuan secara umum.[11] Bagi yang memiliki posisi sosial lebih tinggi dari yang lainnya maka otoritasnya secara tidak langsung juga akan lebih tinggi, biasanya lebih sebagai pengatur atau pembuat keputusan didalam sebuah sistem sosial.
Otoritas didalam masyarakat berbeda-beda, disini terdapat distribusi otoritas didalam masyarakat, hal ini lah yang sering memicu terjadinya konflik sosial di dalam masyarkat, baik yang bersekala besar atau pun kecil. Masyarakat yang kurang puas akan kondisi yang ada pada posisinya beruaha memperbaikinya dengan cara-cara yang baik, dengan protes atau dengan cara yang lainnya. Karena kadangkala orang-orang yang berada pada posisi atas kurang memperdulikan hak-hak kaum bawahnya dan bahkan meng-indahkan dengan berbagai alasan yang kurang masuk akal demi kepetingan mereka sendiri, hal ini sesuai dengan pemikiran Dahrendorf tentang ICA.

Otoritas secara sah tunduk pada suatu ikatan kepetingan-kepetingan yang akan memicu terjasdinya konflik karena semaunya ingin mempertahankan otoritas yang ia miliki saat ini dan bisa saja meningkatkannya. Otoritas tadi bisa saja naik atau turun tergantung dari apa yang ia lakukan dan ia sumbangkan untuk sebuah institusi sosial. Otoritas tidak konstan karena terletak pada dalam diri orang. Otoritas juga bersifat dikotomi, dimana terdapat yang memegang otoritas dan yang dikuasai (subordinat). Kunci penting dalam otoritas yang dimasud Dahrendrof terdapat dalam kekuasaan.

Otoritas menjadi tonggak dasar dari teori Dahrendrof. Dari sini kita bisa melihat berapa pentingnya otoritas bagai masyarakat. Bila dilihat lebih jauh maka otoritas ini melekat pada institusi atau lembagfa-lemabag tertentu yang di-dalamnya mengandung sebuah atauaran. Posisi sosial seseorang akan menentukan seberapa besar otoritas yang ia miliki di dalam suatu kelompok yang ia jalani.

Di komunitas nelayan Karangsong Indramayu terlihat adanya pembagian otoritas, baik formal seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, KUD (Koprasi Unit Desa) dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) atau informal seperti SNI (Serikat Nelayan Indonesia), HNSI (Himpunan Nelayan Serikat Indonesia), dan kelompok nelayan lainnya. Struktur formal memiliki otoritas yang bersifat legitimasi. Sedangkan struktur informal mengandal-kan power dan karismatikan pemimpin organisasi dalam melakukan kontrol kelembagaan.  
C. Temuan Lapangan
1. Konflik Nelayan Tradisional dengan PT. Pertamina.
Nelayan tradisional adalah ke-lompok minoritas di wilayah perairan Karangsong, berbeda dengan nelayan modern yang jumlahnya sangat dominan. Nelayan tardisional Karangsong mayoritas adalah penduduk asli Karangsong, tidak seperti pemilik kapal (juragan) kapal modent. Hampir 90% kapal besar dimiliki oleh para pendatang, 10% sisanya dimiliki oleh masyarakat asli Karangson, nelayan kapal modent Karangsong mayoritas ABK, hannya sebagian kecil yang menjadi juragan kapal besar. Nelayan tradisonal atau nelayan kecil Karangsong, umunya mengunakan jaring sederhana sebagai alat tangkap, tidak jarang nelayan tradisional mengunakan rumah ikan (perangkap) sebagai alat tangkap ketika melaut, hal tersebut berdampak pada pemasukan nelayan tradisional.
Nelayan tradisional tidak memiliki jelajah yang jauh ketika melaut, umumnya mereka hannya melaut di sekitar daerah perairan Indramayu, tidak seperti kapal-kapal besar (modern) yang memiliki jelajah yang luas. Dengan alat tangkap gillnet nelayan kapal modern bisa mendapatkan ikan dalam jumlah yang maksimal, hal ini berdampak pada pe-masuakan nelayan modern. Pendapatan ABK kapal modent saja termasuk besar ketimbang pendapatan juragan kapal tradisional.

Jurang ekonomi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern diperparah dengan adanya konflik nelayan tradisional dengan PT. Pertamina. Konflik nelayan tradisional Karangsong dengan PT. Pertamina sudah terjadi sejak 2002, hal ini di disebabkan karena pencemaran lingkungan dan aktifitas pengeboran minyak PT. Pertamina. Kebocoran pipa minyak bawah laut yang mencemari perairan Indramayu terjadi pada tahun 2002 kejadian ini dinamakan tragedi gelombang hitam.

Berbagai aksi protes dan tuntutan dilakukan oleh berbagai persatuan nelayan seperti HNSI (Himpunan Nelayan Serikat Indonesia) Karangsong, KUD se-Indramayu, tokoh nelayan dan tokoh tambak. Kelompok nelayan dari desa Karangsong Indramayu juga tidak mau kalah, mereka melakukan aksi menuntut ganti rugi PT. Pertamina akibat tragedi gelombang hitam. Puluhan nelayan tradisional Karangsong me-ngalami kerugian, kebocoran pipa minyak tersebut berdampak pada menurunya kualitas ekologi dan kelangkaan ikan di sekitar perairan Karangsong Indramayu Jawa Barat. Pada table.1 tentang intensitas konflik nelayan tradisional dengan PT. Pertamina sejak 2002, terdapat berbagai aksi dan konflik antara nelayan tradisional yang melibatkan ratusan bahkan ribuan masyarakat nelayan sepanjang Pantai Utara (Pantura).
Tabel 1
Intensitas Konflik Nelayan Tradisonal dengan P. Pertamina
No
Tahun
Keterangan
Jumlah masa
1
2002
Kebocoran saluran pipa minyak mentah di dasar laut
Ratusan Nelayan Pantura & Karangsong
2
2008
Kebocoran pipa dari kapal tanker Arendal ke tangki Pertamina (1)
Ratusan Nelayan Indramayu & Karangsong
3
2009
Aksimenuntut ganti rugi akibat kebocoran pipa dari kapal tanker ke tangki Pertamina (2).
Ribuan Nelayan dan petani tambak Indramayu & Karangsong
4
2011
Aksimenuntut ganti rugi akibat kebocoran pipa dari kapal tanker ke tangki Pertamina (3).
Ratusan Nelayan dan petani tambak Indramayu & Karangsong
5
2014
Aksi rencana eksplorasi migas di wilayah perairan Karangsong Indramayu.
Puluhan Nelayan tradisional Karangsong
Sumber: Hasil temuan penelitian, Mei 2014.

Konflik nelayan Indramayu dengan PT. Pertamina pada tahun 2002 disebabkan akibat kebocoran pipa bawah laut. Kondisi tersebut praktis menurunkan kualitas ekologi Karangsong bahkan sepajang Pantai Utara. Berbagai aksi potes dan tuntutan ganti rugi disuarakan nelayan-nelayan tradisional Karangsong. Ratusan nelayan pantura bersama dengan nelayan desa Karangsong ramai-ramai melaukan aksi protes ke PT. Pertamina, Kantor Pemerintahan, dan Istana Negara.
Pada September, 2008 terjadi kebocoran pipa dari kapal tanker Arendal ke tangki Pertamina. Nelayan Karangsong beserta ribuan nelayan ramai-ramai melaku-kan aksi protes dan menuntut ganti rugi. Belum selesai dengan tragedi gelombang hitam, nelayan Karangsong Indramayu menerima kasus yang serupa, berupa pencemaran ekologi. Hal tersebut sangat berdampak pada penghasilan nelayan, terutama nelayan tradisonal dan petani tambak.
Tumpahan minyak mentah Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan. Mencapai 150 ribu DWT. Tumpahan minyak tersebut mencemari laut sejauh 48 kilometer, gumpalan dan noda minyak terlihat di sepanjang pantai Karangsong. Pada tahun 2009, ribuan nelayan melakukan aksi menuntut ganti rugi. Masyarakat menilai Pertaminan dan Pemerintah sangat lambat menangani ganti rugi tumpahan minyak yang terjadi pada tahun 2008. Pihak Pertamina sudah berjanji akan melakukan ganti rugi kepada korban dengan menyiapkan dana sebesar Rp. 110 miliar, ganti-rugi akan dibayar langsung kepada warga melalui bank dan tidak ada perantara. Pada 2011 ratusan nelayan lagi-lagi melakukan aksi kembali, akibat ganti rugi tumpahan minyak mentah yang tidak kunjung selesai.
Pada tahun 2014, puluhan nelayan tradisonal Karangsong Indramayu, mengepung kantor KUD Mina Sumitra Karangsong. Nelayan memprotes per-temuan antara pihak PT Pertamina dan pengurus KUD Mina Sumitra, terkait rencana pengeboran atau eksplorasi minyak dan gas (Migas) PT Pertamina di perairan laut Indramayu. Nelayan Karangsong Indramayu sudah sangat sterotip dengan pihak Pertamina. Nelayan tradisional Karangsong melakukan aksi protes untuk menolak rencana pengeboran minya di dekat wilayah perairan Karangsong. Bersama sejumlah aktivis lingkungan, mereka mendatangi kantor KUD Mina Sumitra yang dipimpin oleh Ketua KUD Mina Sumitra, Ono Surono. Sejumlah nelayan tradisional merasa sangat besar dampak yang akan nelayan dapat ketika pengeboran minyak di wilayah Karangsong Indramayu disahkan.
Aksi protes nelayan tradisional Karangsong terhadap kebijakan penge-boran  minyak berakhir ricuh di depan KUD Mina Sumitra. Hal ini dikarenakan nelayan tradisional merasa suaranya tidak didengar, ramai ramai nelayan tradisional mencoba menerobos masuk KUD Mina Sumitra. Pertemuan pihak KUD Mina Sumitra dengan pihak PT. Pertamina akhirnya ditunda demi keamanan dan ketertiban. 

Nelayan tradisional Karangsong sudah bosan dengan janji-janji yang dilakukan pihak PT. Pertamina. Nelayan tradisional menginginkan pendapatan ikan mereka dalam jumlah yang baik untuk menunjang ekonomi keluarga. Dengan mencegah aktifitas pertambangan minyak PT. Pertamina, nelayan berharap bisa menjaga kondisi perairan Karangsong tetap stabil. Berbagai konflik antar nelayan, khususnya nelayan tradisional dengan pihak PT. Pertamina terjadi dalam intensitas waktu yang cukup lama. Sehingga wajar sekali jika nelayan tradisional memiliki pandangan yang negatif terhadap PT. Pertamina. Janji ganti-rugi yang dirasa lambat dan kerusakan ekologi yang ditimbulkan, membuat nelayan tradisonal merasa perlu memperjuangkan hak-haknya. Berbagai gesekan antar kepentingan terjadi, tidak jarang nelayan turun untuk menuntut hak-haknya dan meminta ganti rugi.
2. Konflik Petani Tambak dan Nelayan Modern 
Kronologi konflik petani tambak dengan nelayan modern dimulai ketika masuknya kapal-kapal besar pada tahun 2000. Investor dan para pemilik modal tertarik dengan potensi sumberdaya ekologi di wilayah perairan Karangsong-Indramayu, Kapal-kapal besar dibawa para investor sebagai modal awal, kapital ekonomi yang dimiliki para pemodal signifikan merubah wajah perikanan Karangsong menjadi Industri perikanan tangkap. Investor dan pemodal (Juragan) menanamkan modal mereka dalam bentuk kapal dan seperangkap alat tangkap, jumlah modal untuk membuat satu kapal modern berukuran 30 GT bisa mencapai 1milyar rupiah, beserta modal awal nelayan untuk melaut seperti BBM (Bahan Bakar Minyak), perbekalan dan kebutuhan tak-terduga lainnya.

Industri perikanan membawa dampak yang positif bagi pembangunan dan perekonomian masyarakat Kangsong Indramayu, terutama sebagai pemasukan daerah. Moderisasi alat tangkap juga berperan besar dalam menciptakan roda perekonomi masyarakat. Modernisasi alat tangkap dan padatnya aktivitas kapal-kapal besar di Karangsong juga berdampak negatif, terutama bagi ekonomi petani tambak di sekitar perairan Karangsong.

Petani tambak menjadi korban akibat tumbuhnya industri perikanan, kapal-kapal besar yang masuk pada tahun 1990 dan semakin ramai pada tahun 2000 menjadi penyebab menurunya kesejah-teraan petani tambak. Sebagaian tokoh desa dan petani tambak menilai, aktivitas kapal-kapal besar (modern) di wilayah perairan Karangsong berdampak pada ekologi perairan Karangsong. Baling-baling perahu kapal-kapal besar, dianggap mampu membuhuh makanan alami ikan tambak, akibatnya petani tambak harus menyediakan pangan lebih untuk ikan tambaknya. 

Petani tambak bandeng sangat mengandalkan kualitas peraian di  Karangsong. Tambak para petani ber-hubungan langsung dengan perairan di sepanjang muara Karangsong. Padatnya aktivitas kapal-kapal besar selain mem-bunuh makanan alami ikan tambak, aktivitas kapal besar juga berpengaruh pada kualitas perairan Karangsong. Kebiasaan buruk oknum nelayan kapal besar seperti membuang oli sembarangan diduga sangat berdampak pada biota yang ada di dalam muara dan pesisir pantai Karangsong. Hal ini kemudian mendorong para petani tambak pada tahun 2013 untuk mengadu pada pemerintah desa sebagai bentuk protes. Petani tambak adalah pihak yang subordinat, mereka sangat minoritas dan tidak memiliki struktur organisasi atau persatuan tertentu, berbeda dengan nelayan. Ketika kapal-kapal besar men-cemari perairan Karangsong, para petani tambak lebih banyak pasrah. Mengaduh pada pemerintah desa setempat dirasa menjadi pilihan satu-satunya. selama ini belum ada konflik fisik antar petani tambak dan nelayan modern. AKB atau buru nelayan modern (kapal besar) umunya adalah warga asli Karangsong, pemodal dan juragan kapal didominasi oleh pendatang. Hal ini yang membuat para pateni tambak cenderung pasrah dengan nasip mereka. Petani tambak menyerahkan segala urusannya pada pemerintahan desa, berharap ada langkah dan solusi terbaik bagi petani tambak dan nelayan kapal modern (kapal besar).

Kepemilikan tambak para petani bersifat individu, tidak seperti ABK kapal besar yang hannya menjadi pekerja. Hasil pendapatan ABK kapal besar disetorkan kepada juragan dan dibagi sesuai dengan kesepakatan diawal. Biasanya para pe-miliki tambak bekerja dengan beberapa buruh tambak, biasanya buruh tambak berkisar antara 2-3 orang pekerja. Mereka biasanya membantu merapihkan bibir-bibir tambak agar tanah disekitarnya tidak rusak, buruh tambak juga membantu membuat saluran air agar bibit-bibit bandeng bisa berkembang biak dengan baik. Tidak jarang para pemilik tambak dibantu oleh sanak keluarga dengan sistem upah berdasarkan relasi sosial, atau kedekatan emosional. Pak Kosim salah satu pemiki tambak badeng di desa Karangsong Indramayu. Di tanah seluas 2 hektar tersebut Pak Kosim mengadukan nasipnya yang terasa semakin sulit dari tahun ketahun. Mahalnya harga pangan bandeng membuat ia terjerat dalam lingkaran setan penadah. Sistem utang piutang dalam mebeli pangan bandeng menjadi penyebab kemiskinan petani tambak, tidak jarang dari mereka ketika panen tidak membawa hasil yang sesuai dengan pekerjaan yang ia lakukan selama 6-7 bulan. Dalam wawancara Pak Kosim berpendapat mengenai pendapatan tambaknya:
“Biasanya dalam sehari saya mendapatkan uang sebesar Rp. 10.000 – Rp.15.000 dari hasil tambak udang, klo lagi sepi yang nga ada sama sekali. Klo bandeng sekali panennya dalam 7 bulan atau 1 tahun, bisa dapat ikan sebanyak 2 ton,ikan dengan satu kg ikannya mencapai Rp. 12.000-Rp.14.000, harga yang terbilang sangat kecil”.[12] 
Minimnya pemasukan yang didapat pak Kosim tidak sepadan dengan kerja kerasnya. Besarnya harga pangan tambak membuat penghasilannya sangat pas-pasan. Belum lagi membayar upah pekerja tambak yang membantu ia di tambak. Sistem utang-piutang menambah sulitnya kondisi ekonomi petani tambak. Petani tambak mendapatkan penghasilan dari usahanya selama setahun. Dalam satu tahun ia bisa panen 1-2 kali. Menurut pak Kosim, 2 kali panen saja sudah terbilang bagus dan maksimal. Pemasukan sehari-hari petani tambak berasal dari hasil penjulan udang dan kepiting, jika beruntung maka mereka bisa membawa uang kerumah, jika tidak maka tidak ada penghasilan sama sekali dalam satu hari. Pendapatan besar mareka terletak pada panen per 6 bulan saja, waktu yang terbilang cukup lama. 
Sebelum masuknya kapal-kapal besar di wilayah Karangsong, penghasilan petani tambak terbilang besar, dalam sehari mereka bias mendapatkan udang dan kepiting sebanyak 3kg - 1kwintal, jik adi rupiahkan mereka bisa mendaptakan uang mencapai ratusan ribu rupiah. Hasil penjulannya sebagian mereka tabung dan sebagian mereka gunakan untuk keperluan dapur dan sekolah anak-anak. Pangan ikan tambak juga tidak terlalu banyak, mereka biasanya memberi pangan ikan 3-4 kali dalam satu bulan. Sekarang petani tambak harus selalau memberikan pangan ikan bandengnya, hal ini guna meningkatkan daya jual dan standar tangkap tambak. Perairan Karangsong sebelum masuknya kapal-kapal besar masih sangat bagus, banyak biota laut yang menunjang usaha tambak para petani, tidak seperti saat ini usaha tambak dirasa sangat sulit.
Kehidupan petani tambak di desa Karangsong Indramayu sangat mem-perihatinkan. program-program pem-berdayaan dalam bentuk pelatihan tidak ada, hannya terdapat program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Kurang responnya pemerintah desa dalam masalah ekologi petani tambak jjuga menjadi penilaian tersendiri, hal ini karena erat kaitanya dengan kesejahteraan nelayan. Tidak seperti kondisi ekonomi petani tambak di desa sekitarnya seperti desa Eretan Indramayu. Usaha tambak di desa Eretan cukup menjanjikan, banyak faktor yang mendukung seperti: petani tambak desa Eretan memiliki struktur kelompok yang aktif, jumlah petani tambak di desa Eretan cukup dominan sehingga mudah melaukan pembangunan bersekala besar dan kondisi perairan desa Eretan terbilang cukup stabil, adanya program-program pemberdayaan dan koprasi petani. Faktor-faktor tersebut menjadi modal bagi petani tambak di desa Ereta. Petani tambak di desa Karangsong memiliki perjungan yang sangat besar dalam menjalankan usaha tambak bandeng, ditengah arus modernisasi alat tangkap nelayan-nelayan kapal besar, petani tambak Karangsong harus berjuang untuk menafkahi keluarga mereka. Sebagian dari petani tambak Karangsong sudah menyerah dan me-nyewakan lahan tambak-nya, tidak sedikit yang putus asa dan menjual tambaknya lantaran kebutuhan ekonomi yang sangat tinggi dan mendesak.
 
Segala bentuk keluh-kesah petani tambak menjadi pelengkap obrolan-obrolan kecil jam istirahat, hal ini merupakan gejalan latensi konflik petani tambak. Mereka sudah pasarah meski tau bahwa diri mereka tertindas. Sedangkan Desa sebagai perwakilan pemerintah, hannya bisa memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) berupa uang untuk membeli pakan ikan. Sedangkan masalah petani tambak jauh lebih besar dari itu –kerusakan ekologi, sehingga petani tambak sungkar mencapai kesejahteraan sosial yang dimaksud. 
           
3.    Sifat dan Bentuk Konflik Ke-nelayanan.
Konflik pengelolahan sumberdaya perikanan di perairan Karangsong Indramayu, terjadi dalam waktu  relatif panjang. Pada tahun 2002-2014 tercatat terdapat berbagai konflik antar pengelolah sumberdaya perikanan yang melibatkan ratusan bahkan ribuan nelayan dan petani tambak. Difinis konflik nelayan adalah ketidak harmonisan diantara pengguna sumberdaya perikanan karena belum adanya atau dilanggarnya norma dan kesepakatan dalam prinsip pemanfaatan sumberdaya perikanan.[13] Ketidak harmonisan tersebut praktis menciptakan dinamika dalam relasi sosial nelayan.

Konflik antara nelayan tradisional dengan PT. Pertamina memiliki intensitas yang relatif panjang. PT. Pertamina memiliki kepentingan atas sumberdaya minyak yang terdapat di perairan Indramayu. Nelayan tradisional memiliki kepentingan terhadap sumberdaya perikanan yang ada di perairan Karangsong Indramayu. Aktivitas PT. Pertamina diyakinni berbagai tokoh nelayan sebagai penyebab dari me-nurunnya kualitas ekologi di Karangsong, akibatnya terjadi kelangkaan ikan. Perbedaan kepentingan tersebut membuat konflik antar nelayan tradisional dengan PT. Pertamina menjadi semakin dinamik.
PT. Pertamina secara tidak langsung memiliki otoritas dalam me-ngeloah sumberdaya alam yang ada di wilayah perairan Karangsong-Indramayu, memlalui legitimasi pemerintah pusat dan daerah. PT. Pertamina berada dalam posisi superordinat di dalam konflik pengelolaan sumberdaya, sedangkan pihak nelayan tradisional ada dalam posisi subordinat. PT. Pertamina memiliki legitimasi sehingga mereka memiliki power untuk melakukan dan menjalankan kepentingan-nya, sedangkan nelayan tradisional yang tergabung dalam kelompok-kelompok nelayan desa merasa kekuatan otoritasnya tidak besar PT. Pertamina. haltersebut yang membuat nelayan membuat kelompok yang lebih besar lagi. Untuk menganalisi konflik nelayan peneliti mengunakan teori Dahrendorf, otoritas menjadi kajian penting dalam analisi konflik Dahrendorf seperti yang diukapkannya dalam George Ritzer (2003), Perbedaan distribusi otoritas akan selalu menjadi faktor yang menentukan didalam konflik sosial sistematis.[14]
 
Konflik antara PT. Pertamina dengan nelayan tradisional muncul akibat adanya legitimasi untuk melakukan pengelolahan sumberdaya laut. Legitimasi tersebut muncul dari otoritas pemerintah sebagai negara. Sehingga PT. Pertamina merasa superordinat terhadap nelayan. Legitimasi ini juga menjadi alat untuk menindas kaum subordinat seperti nelayan tradisonal dan petani tambak. Perbedaan distribusi otoritas menyebabkan terjadinya konflik sosial, baik yang berskala besar atau kecil. Karena pemerintah memiliki otoritas yang lebih besar ketimbang nelayan (distribusi otoritas) hal ini menimbulkan pertentangan. Akibat dari ketidak puasan dengan kondisi sosial, para nelayan tradisional yang dalam posisi tertindas berusaha memperbaiki sistem dengan cara memprotes dan melakukan aksi masa kepusat-pusat atau simbol-simbol pemerintahan.
Distribusi otoritas yang berbeda juga menyebabkan konfik antara petani tambak dengan nelayan modern. Pihak nelayan modern merasa memiliki otoritas yang lebih tinggi ketimbang petani tambak. Besarnya pemasukan daerah dari aktifitas nelayan modern menyebabkan banyaknya dukung-an dari berbagai pihak kepentingan, sedangkan petani tambak yang jumlahnya minoritas merasa tidak memiliki kekuatan dan dukungan. Petani tambak Karangsong tidak memiliki struktur keanggotaan yang kuat seperti di desa Eretan, sehingga sangat sulit melakukan protes dalam bentuk yang massif di desa Karangsong. Pengaduan petani tambak ke aparatur desa adalah salah satu jalan yang bisa mereka tempuh, sisanya petani tambak lebih banyak pasrah dan berserah diri. Petani tambak sangat berharap datangnya ber-bagai bantuan sosial dari pemintah seperti pemberian pangan gratis. Petani tambak cukup tau diri karena posisi mereka minoritas, mayoritas masyarakat pesisir Karangsong adalah nelayan, baik nelayan tradisional atau ABK di kapal-kapal besar. Posisi minoritas dan otoritas yang rendah ini kemudian membuat petani tambak lebih sulit memperjungankan hak dan nasibnya, berbeda dengan nelayan tradisonal kepada pihak PT. Pertamina.
Dahrendorf  membagi kepetingan atas dua bentuk yaitu kepentingan manifes dan kepentingan laten. Kepentingan manifes adalah kepentingan yang sifatnya disadari oleh pelaku, sedangkan ke-pentingan laten adalah kepentingan yang belum disadari oleh pelaku. Dalam konflik mengelolah sumberdaya perikanan hampir keseluruhan memiliki sifat manifest, artinya konflik dalam pengelolahan sumberdaya perikanan disadari oleh pelaku dalam hal ini adalah nelayan tradisional dan modern. Sedangkan nelayan tambak memiliki sifat latensi konflik dengan pihak nelayan modern dalam bentuk kelompok semu (merupakan sekumpulan orang yang menduduki posisi dengan kepentingan dengan peran yang identik).

Gambar 2.
Social maping konflik antar pengelolah sumberdaya perikanan
Sumber: Analisis Penelitian, Mei 2014
Dalam table IV.3 terdapat social maping konflik antar pengelolah sumberdaya perikanan. Di temukan terdapat latensi konflik antara petani tambak dan nelayan tradisional dengan nelayan modern. Latensi konflik antara petani tambak dan dengan nelayan modern ditemuka dalam bentuk obrolan-obrolan kecil ketika sedang beristirahat. Sebagaian nelayan tradisonal dan petani tambak merasa eksistensinya terancam dengan kemajuan teknologi alat tangkap yang dimiliki kapal-kapal besar, akan tetapi hal ini tidak sampai dalam tahap disadari secara penuh sehingga menciptakan sebuah kelompok perlawanan. Konfik laten antara nelayan tradisional dengan nelayan modern, disebabkan karena faktor perbedaan alat tangkap dan penghasilan nelayan, hal ini praktis menciptakan gap ekonomi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern dan menciptakan pembagian kelas sosial antar nelayan di Karangsong. 
Konflik manifes antara nelayan tradisional dan petani tambak dengan PT. Pertamina, terlihat dalam bentuk aksi masa dan demostrasi. Perlawanan nelayan tradisional dan petani tambak, dalam menentang berdirinya pengeboran minyak disekitar wilayah perairan Karangsong. Pada gambar IV.3 digambarkan juga adanya konfik antar nelayan propinsi. Sebelum diberkalukannya otonomi daerah, konflik antar nelaya propinsi sering terjadi akibat nelayan A mengambil sumberdaya di wilayah B. Diberlakukannya otonomi daerah mempertegas tentang batasan wilayah territorial ekonomi, tidak jarang konflik antara wilayah penangkapan berujung pada konflik identitas nelayan dalam skala yang lebih luas.   
4. Kelompok Konflik di Karangsong
Dahrendorf selain membagi konflik berdasarkan sifatnya, Dahrendorf juga membagi konflik berdasarkan kelompok-kelompok kepentingan. Seseorang yang tergabung dalam kelompok kepentingan biasanya memiliki sesuatu yang ingin dicapai dengan kelompok tersebut, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara yang satu dengan yang lain. Kelompok kepentingan sering memicu terjadinya konflik yang disebabkan oleh adanya keinginan. Kelompok nelayan tradisional dalam SNI Karangsong, merupakan kelompok kepentingan yang menginginkan adanya kebebasan di daerah yang mereka tempati, mereka tidak puas akan kebijakan-kebijakan yang diambil PT. Pertamina yang dianggap dapat merusak kesejahteraan nelayan tradisonal.
Di desa Karangsong Indramayu masyarakat nelayan dan petani tambak berada pada posisi diatur dan disubordinasi (the ruled class) oleh pemerintah daerah dan Dinas Kelautan dan Perikanan, hal ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dapat berpengaruh secara langsung kepada nelayan dan petani tambak, contohnya adalah di beriizinya pengeboran minyak yang berdampak pada ekologi pesisir dan petani tambak. Kelompok nelayan-petani tambak mulai mendapatkan kesadaran bahwa posisi dan hak mereka tertindas oleh kelompok superordinat ini, berbagai lembaga LSM (Lembaga Suadaya Masyarakat) seperti Walhi dan Tokoh-tokoh nelayan di SNI (Serikat Nelayan Indonesia) menjadi agen yang memberikan kesadaran kelas bagi nelayan dan petani tambak secara umum. 
Hubungan kelas superordinat dengan subordinat bisa menciptakan penindasan atau latensi konflik, akan tetapi kelompok subordinat belum mempunyai dan membangun kepentingan melakukan perubahan posisi ketertindasan tersebut. Kelompok subordinat hanya memiliki kepentingan semu (latent interest), yaitu berada di level individu dan muncul di bawah sadar. Kepentingan semu tidak hanya terbatas pada satu individu, namun tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinasi. Sehingga menciptakan kelompok semu pula (quasi groups).[15] Memalui proses penyadaran dari dalam atau luar kelompok, kemudian kelompok semu ini menjadi kelompok kepentingan nyata (Manifest Interest). Proses penyadaran dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dulu mengerti kepentingan yang harus diper-juangkan. Mereka menciptakan kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan bersama dan perlu diperjuangkan. Kelompok kepentinga nyata diharapkan Dahrendorf menjadi Interest Groups, yaitu kelompok-kelompok kepentingan yang melakukan perlawanan terhadap ke-pentingan terorganisir lainnya. Dalam kasus konflik nelayan tradisional dengan PT. Pertamina, kelompok nelayan tradisional sudah dalam frase terakhir konflik, kelompok nelayan tradisional sudah melakukan perlawanan dalam bentuk yang massif  seperti aksi masa dan unjuk rasa, bahkan di tahun 2000 pernah terjadi pembakaran bus sebagai buah dari aksi masa. Konflik petani tambak dan nelayan modern baru dalam frase Quasi Groups (Kelompok Semu), petani tambak belum mengalami proses penyadaran yang membuat petani tambak menjadi kepentingan nyata. Kondisi sosiologis agar kelompok kepentingan laten menjadi kelompok kepentingan manifest adalah:
         Kepemimpinan yang berani dengan hubungan konflik
         Adanya ideologi konflik
         Anggota kelompok laten memiliki kebebasan  untuk mengorganisasi konflik
         Komitmen dan komunikasi diantara anggota kelompok laten
             
Kondisi-kondisi sosiologi diatas harus dimiliki kelompok laten jika ingin memperjungankan hak politiknya secara massif. Kepemimpinan yang kuat dibutuh-kan dalam memperjuangankan ideologi konflik, pemimpin harus berani dalam hubungan konflik. Anggota laten juga harus memiliki organisasi konflik, dengan organisasi tersebut terciptalah komunikasi dan komitmen yang baik dalam usaha membentuk kelompok konflik laten menjadi manifes konflik. Seperti yang di ungkapkan Doyle P, Johnson (1986), Kondisi kepemimpinan, ideologi, kebebasan politik yang minimal, dan komunikasi internal adalah prasyarat pembentukan kelompok kepentingan yang berkonflik.[16]
Penyadaran para nelayan tradisonal lahir akibat adalanya kepemimpinan SNI (Serikat Nelayan Indonesia). Terbentuknya kelompok-kelompok nelayan sebelumnya sudah ada, akan tetapi bersifat administrasi, kelompok-kelompok tersebut di masukan dalam satu organisasi besar dan menciptakan komunikasi yang baik antar kelompok-kelompok nelayan dalam jumlah yang besar. Kemudian dari terbentuknya organisasi tersebut me-nciptakan komitmen antar kelompok dan membentuk sebuah opini perlawanan atau ideologi konflik. Hal tersebutlah yang membuat nelayan Karangsong Indramayu memiliki posisi tawar yang tinggi menghadapi PT. Pertamina dalam mem-perjungankan kesejahteraan nelayan. 
5.  Peran Pihak-pihak Non-nelayan di dalam Konflik
Konflik pengelolahan sumberdaya perikanan diperairan Karangsong, sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama, tercatat sejak 2002-2014 terdapat berbagai konflik antar pengelolah sumberdaya per-ikanan. Konflik antar nelayan terjadi dalam bentuk aksi protes dan unjuk rasa, hal ini dilakukan para nelayan karena berkaitan dengan kesejahteraan dan perekonomian nelayan. Alternatif pe-kerjaan dan keahlian yang terbatas membuat ribuan nelayan-petani tambak, merespon cepat berbagai pencemaran dan kerusakan ekologi. Aksi protes dimotori oleh SNI (Serikat Nelayan Indonesia) Karangsong, melibatkan ratusan bahkan ribuan nelayan Karangsong.

Berbagai usaha resolusi konflik dilakukan oleh berbagai pihak otoritas, seperti Pemerintahan, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan KUD Mina Sumitra sebagai mitra nelayan. Usaha-usaha dalam bentuk diplomasi dan negoisasi dilakukan oleh Pemerintahan, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan KUD Mina Sumitra. Cara-cara pendampingan dan laporan dalam bentuk tertulis dan lisan dilakukan pihak otoritas agar mendapatkan kejelasan dan penyelesaian konflik. Dalam memnuhi aspirasi masyarakat nelayan-tambak Karangsong, pemerintah, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan KUD Mina Sumitra menyampaikan hak dan tuntutan nelayan kepada PT.Pertamina. Sedangkan kasus nelayan tambak hannya ditangani oleh pemerintahan desa. Bantuan dari organisasi nelayan dan pemerintah ini praktis meningkatkan posisi tawar nelayan Karangsong, baik ketika berhadapan pada konflik internal maupun antar nelayan provinsi.
Otoritas yang dimaksud adalah kemampuan membuat perintah atau wewenang terhadap suatu individu atau kelompok sosial. Nelayan Karangsong yang berada dalam ikatan organisai KUD Mina Sumitra atau Persatuan nelayan (SNI) memiliki ikatan sosial keorganisasian, ini bisa berupa otoritas pemimpin atau organisasi. Ketika menghadapi konfik nelayan, KUD dan SNI sanga berperan penting sebagai motor penggerak atau sebagai pendamping pihak nelayan dalam mediasi penyelesaian konflik pengelolahan sumberdaya per-ikanan. Sedangkan KUD dan SNI berada dalam pengwasan Pemerintah daerah dan Dinas Perikana dan Kelautan, sebagai pemangu kebijakan (legitimasi formal).  KUD dan SNI berperan penting mengintefensi pemerintah ketika berhadap dengan masalah yang lebih besar, pemerintah daerah dan Dinas Kelautan dan Perikanan menjadi pihak ketiga atau mediator dalam konflik yang berkitan dengan nelayan propinsi.
Nelayan yang berada dalam kesatuan organisasi nelayan, memiliki ikatan dan konsekuensi terhadap organisasi. Ikatan struktur organisasi ini memudahkan SNI melakukan kordinasi dan mobilisasi kepada semua nelayan yang ada didalam unit ekonomi dan struktur organisasi SNI. Dengan visi kesejahteraan sosial, SNI dapat memberikan pengaruh atau penyadaran terhadap nelayan secara luas. Sedangkan SNI sebagai satu struktur organisasi tidak bisa sepenuhnya bebas, SNI juga sangat bergantung pada pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang juga berhubungan dengan kesejahteraan nelayan secara formal, bagaimanapun pemerintah daerah memiliki legitimasi yang kuat untuk memberikan kontrol. Hubungan otoritas ini memungkinkan tiap unit melakuakan kontrol kelembagaan. Akan tetapi otoritas, legitimasi dan kekuasaan, antara yang satu dengan yang lain tentu memiliki power yang berbeda, dan pemerintah memiliki otoritas, legitimasi dan power yang lebih besar dari pada SNI.

D. Kesimpulan
Konflik pengelolah sumberdaya perikanan di wilayah perairan Karangsong Indramayu adalah konflik yang berkaitan dengan masalah mondrensisasi alat tangkap dan kerusakan ekologi. Dua hal tersebut menyebabkan terjadinya dinamika konflik antar nelayan tradisional dengan PT. Pertamina dan petani tambak dengan nelayan modern. konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tidak harus menghasilkan konfik fisik. Aksi unjuk rasa dan protes masyarakat nelayan adalah bentuk penyampaian aspirasi masyarakat dan  ini menjadi hak didalam iklim demokrasi. Latensi konflik menjadi manifes konflik adalah keharusan demi terciptanya perubahan sosial dalam tatanan masyarakat, demi terciptanya kesejah-teraan sosial.
 
Konflik nelayan Karangsong dalam pengelolahan sumberdaya perikanan menujukan kepada kita bahwa kesejah-teraan sosial menjadi suatu yang sangat vital dan mendasar. Perlu upaya dan pendekatan yang holistic dalam mengatasi masalah nelayan, menjadi sangat penting. Masyarakt pesisir Karangsong sangat banyak, ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaannya, akibatnya masyarakat pesisir Karangsong beada dalam kemiskinan. Konflik harus di jawab dengan solusi yang dapat meneyelsaikan masalah bersama. Pemerintah daerah dan Dinas Periakan dan Kelautan adalah aktor penting dalam upaya resolusi konflik dan menciptakan kesejahteraan bagi masya-rakat pesisir Karangsong.


Daftar Pustaka
Buku
Anonim. Studi Kajian Upaya Menangani Konflik Nelayan Selat Madura. Penelitian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan Fakultas Perikanan Brawijaya, Malang: 2001.
Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta:  PT. Gramedia. 1981.
Fisher, et al. Working with Conflict: Skills and Strategies for action. Karikasari et al. Penerjemah. Mengelolah Konflik Keterampilah dan Strategi Bertindak. Jakarta: The British Council, Indonesia. 2000.
Dahrendorf, Ralf., Konflik dan Konflik teraktulaisasinya Dalam Masy-arakat Industri: Sebuah Anakisa-Kritik, Jakarta. Rajawali Perss: 1986 .
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Ber-paradigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. 2003.
S. Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Sulistyasari Endang. Sociology of The Audience: Tinjauan Sosiologi Terhadap Khalayak. Jogya: Multi Media Training Center. 1997.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta:2000.
Makalah dan Jurnal
Fauzi A. An Evaluation of Resolving Conflict Among User Groups in Indonesian Fisheries. Makalah. Disampaikan pada Kongres dan Seminar Mahasiswa Indonesia se-Kanada, 3-5 September 1992 di Ottawa.
Web
www.penataanruang.net. Tinjauan Aspek Penataan Ruang dalam pengelolahan laut dan pesisir.
Wawancara
Wawancara dengan Pak Kosim pemilik Tambak Bandeng Karangsong Indramayu. 11-juli-2013.

[1] www.penataanruang.net. Tinjauan Aspek Penataan Ruang dalam pengelolahan laut dan pesisir,  Diakses pada maret 2014
[2] Fauzi A., An Evaluation of Resolving Conflict Among User Groups in Indonesian Fisheries., Makalah., Disampaikan pada Kongres dan Seminar Mahasiswa Indonesia se-Kanada, 3-5 September 1992 di Ottawa.
[3] Sulistyasari Endang., Sociology of The Audience: Tinjauan Sosiologi Terhadap Khalayak., Jogya: Multi Media Training Center. 1997. hlm 24
[4] Fisher, et al., Working with Conflict: Skills and Strategies for Action., Karikasari et al. Penerjemah. Mengelolah Konflik Keterampilah dan Strategi Bertindak. The British Council, Indonesia, Jakarta: 2000.
[5] S. Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[6] Anonim., Studi Kajian Upaya Menangani Konflik Nelayan Selat Madura. Penelitian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan Fakultas Perikanan Brawijaya, Malang: 2001.
[7] Ritzer, George., Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda., Jakarta: Rajawali Press. 2003 Hlm 154.
[8] Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia. 1981.
[9] Sunarto, Kamanto., Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. 2000. Hlm 218
[10] Dahrendorf. Ralf., Konflik dan Konflik teraktulaisasinya Dalam Masyarakat Industri: Sebuah Anakisa-Kritik, Jakarta: Rajawali Perss. 1986 . hlm 177.
[11] George Ritzer, Op.cit. hlm 154.
[12] Wawancara dengan Pak Kosim pemilik Tambak Bandeng Karangsong Indramayu. 11-juli-2013.
[13] Anonim. Studi Kajian Upaya Menangani Konflik Nelayan Selat Madura. Penelitian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan Fakultas Perikanan Brawijaya, Malang: 2001.
[14] George Ritzer. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press: 2003, hlm 154.
[15] Dahrendorf, Ralf., op.cit. hlm 177.
[16] Doyle P, Johnson., Teori Sosiologi Klasik & Modern (Trans: Robert M. Z. Lawang). Jakarta: Gramedia. 1986. Hlm: 187

0 komentar:

Posting Komentar