Kamis, 01 Januari 2015

Yudi Latif: KAYA PARTAI, MISKIN PEMIMPIN

Yudi Latif
Oleh: Yudi Latif
Demokrasi Indonesia sepanjang tahun 2012 terus memperlihatkan kecenderungan serba paradoks. Minat mendirikan partai politik tak kunjung surut, bersejalan dengan kecenderungan para politisi dan partai politik untuk memperkaya diri. Saat yang sama mutu demokrasi Indonesia tetap miskin (defisit), tidak berhasil melakukan pendalaman (perbaikan institusional) dan perluasan (membawa keadilan dan kesejahteraan).

Di tengah fenomena demokrasi seperti itu, yang dikembangkan oleh para pemimpin politik adalah sikap apologetika. Apologetika adalah suatu sikap untuk mengambil sebagian pandangan yang memperkuat pendakuan (klaim) seraya menolak sebagian lain yang melemahkan. Seperti sikap pemerintah yang begitu doyan mengumbar penilaian dunia luar yang menguntungkan, tetapi begitu reaktif menolak penilaian lain yang mementalkan klaim keberhasilannya.

Sikap seperti itu melahirkan standar ganda. Di satu sisi, pemerintah membanggakan keberadaan Indonesia dalam kelompok G-20. Di sisi lain, dalam menetapkan ukuran kemiskinan di negeri ini, pemerintah tidak mengikuti standar yang dipakai dalam kelompok elite itu, tetapi memakai ukuran yang berlaku di negara-negara terbelakang.

Pemerintah bangga dengan penilaian bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi memicingkan pandangan terhadap Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus dirayakan seraya melupakan kesenjangan yang kian melebar dengan gini rasio mencapai 0,41% (tertinggi dalam puluhan tahun terakhir). Diabaikan juga kemunduran Indonesia dalam indeks korupsi yang pada tahun ini menempati urutan ke-100 dari 182 negara, dan dalam Indeks Pendayagunaan SDM yang menempatkan Indonesia di urutan ke-124 dari 187 negara.

Sikap apologetika, menempatkan penilaian luar sebagai alat pencitraan, bukan sarana mawas diri. Sikap seperti itu mengekang pencapaian kebenaran dan kedewasaan. Kebenaran diraih melalui ketidaktertutupan. Adapun kedewasaan ditempa melalui kesediaan menginsafi sisi terlemah dari diri sendiri.

Celakanya, kecenderungan pemerintah untuk menutupi kenyataan dan menyadari kelemahannya itu diberi peneguhan oleh akademisi lingkar dalam istana. Jika Joseph Stiglitz menganjurkan pemimpin politik mau terlibat dalam forum-forum ilmiah agar kebijakannya bersifat obyektif, para ilmuwan di lingkaran dalam istana justru cenderung mengabaikan sikap kritis dan obyektivitas di hadapan kuasa.

Sikap defensif terhadap kritik dan obyektivitas itulah yang membuat permasalahan tidak sungguh-sungguh diatasi, tetapi ditutupi oleh rekayasa pencitraan. Selama tahun 2011, tokoh-tokoh lintas agama dan Forum Rektor telah mengeluarkan peringatan akan situasi genting yang mengancam bangsa, yakni posisi Indonesia di ambang negara gagal. Namun, peringatan seperti itu justru ditanggapi sinis oleh ilmuwan di lingkaran dalam istana yang menuduhnya sebagai celoteh busuk ”gagak hitam”.

Ternyata peringatan tokoh-tokoh bangsa itu bukanlah isapan jempol semata. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi Indonesia dalam Failed States Index memburuk, dari urutan ke-64 pada tahun lalu menjadi urutan ke-63 tahun 2012.

Yang lebih merisaukan bukanlah penurunan indeks itu sendiri, melainkan cara pemerintah dan ilmuwan lingkaran dalam istana menanggapi indeks tersebut. Sikap apriori dan kritisisme tanpa pemahaman mendalam atas basis penilaian indeks tersebut dikembangkan secara reaktif dengan maksud melemahkan validitasnya.

Padahal, dengan mengedepankan sikap hanif (membuka diri pada kebenaran) orang awam pun dengan mudah bisa meraba berbagai fenomena negara gagal di negeri ini. Ciri-ciri Indonesia sebagai negara di ambang kegagalan terlihat dari performa pemerintah pusat yang lemah atau tidak efektif dalam mengendalikan kabinet dan pemerintah daerah, kelumpuhan pelayanan publik, penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus buruh migran, dan memburuknya kesenjangan ekonomi.

Karena itu, kritik bukan ditanggapi defensif, melainkan diterima sebagai peringatan dini agar penyelenggara negara bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah nyata, dan tidak berhenti sebagai wacana pencitraan semata

Tahun 2013 merupakan tahun penentuan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menentukan nilainya dalam sejarah Republik. Tetapi pada tahun ini pula kegawatan korupsi politik akan semakin menggila seiring dengan persiapan kontestasi Pemilu 2014.

Untuk memenuhi mahalnya ongkos politik dalam situsi defisit modal sosial dan moral, partai-partai politik menjadikan sentra-sentra kuasa ibarat negara dalam negara, yang berkhidmat pada kepentingan partai masing-masing.  Para aspiran kekuasaan berlomba mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan, tak segan dengan menabrak lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan kepentingan di persimpangan jalan. Maju kena, mundur kena; semua pengemudi kendararaan saling mengunci. Terjadi gridlock dalam tata hubungan kenegaraan, yang menimbulkan kemacetan di semua jalur.

Mengatasi gridlock seperti itu mengandaikan kehadiran otoritas yang berdiri tegas, dapat mengupayakan jalur putaran atau pengalihan, yang secara perlahan bisa mengurai kemacetan.  Namun, pengandaian inilah yang tak terpenuhi di negeri ini. Tony Blair berkata, “The art of leadership is saying no, not yes. It is easy to say yes.” Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang saling serobot, yang sangat dituntut dari otoritas pemimpin adalah keberanian berkata “tidak”.

Namun, dalam ketiadaan otoritas yang tegas , usaha mengatasi kemacetan politik itu mengandaikan adanya prakarsa sukarela dari “non-state actors”, semacam “polisi preman” yang biasa ditemukan di berbagai persimpangan.

Dalam istilah Jurgen Habermas, masyarakat sipil perlu melakukan pengepungan terhadap masyarakat politik, dengan mendiktekan agenda untuk berbalik haluan atau mengambil jalan alternatif.

Dalam kurewetan dan kemacetan lalu lintas politik, masyarakat sipil harus mengembalikan politik ke khitahnya sebagai sarana perjuangan kewargaan untuk kebajikan kolektif. 

Lewat revitalisasi partisipasi publik, politik yang memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan ’kebajikan publik’, bisa didesak mundur oleh politik sejati yang memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik

0 komentar:

Posting Komentar