Yudi Latif |
Demokrasi Indonesia sepanjang tahun 2012 terus memperlihatkan
kecenderungan serba paradoks. Minat mendirikan partai politik tak
kunjung surut, bersejalan dengan kecenderungan para politisi dan partai
politik untuk memperkaya diri. Saat yang sama mutu demokrasi Indonesia
tetap miskin (defisit), tidak berhasil melakukan pendalaman (perbaikan
institusional) dan perluasan (membawa keadilan dan kesejahteraan).
Di tengah fenomena demokrasi seperti itu, yang dikembangkan oleh para
pemimpin politik adalah sikap apologetika. Apologetika adalah suatu
sikap untuk mengambil sebagian pandangan yang memperkuat pendakuan
(klaim) seraya menolak sebagian lain yang melemahkan. Seperti sikap
pemerintah yang begitu doyan mengumbar penilaian dunia luar yang
menguntungkan, tetapi begitu reaktif menolak penilaian lain yang
mementalkan klaim keberhasilannya.
Sikap seperti itu melahirkan standar ganda. Di satu sisi, pemerintah
membanggakan keberadaan Indonesia dalam kelompok G-20. Di sisi lain,
dalam menetapkan ukuran kemiskinan di negeri ini, pemerintah tidak
mengikuti standar yang dipakai dalam kelompok elite itu, tetapi memakai
ukuran yang berlaku di negara-negara terbelakang.
Pemerintah bangga dengan penilaian bahwa Indonesia merupakan negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi memicingkan pandangan
terhadap Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit
pada 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara
yang diteliti; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59),
Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk kategori flawed democracy
(cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang tidak
bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta
keterancaman pluralisme.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus dirayakan seraya melupakan
kesenjangan yang kian melebar dengan gini rasio mencapai 0,41%
(tertinggi dalam puluhan tahun terakhir). Diabaikan juga kemunduran
Indonesia dalam indeks korupsi yang pada tahun ini menempati urutan
ke-100 dari 182 negara, dan dalam Indeks Pendayagunaan SDM yang
menempatkan Indonesia di urutan ke-124 dari 187 negara.
Sikap apologetika, menempatkan penilaian luar sebagai alat
pencitraan, bukan sarana mawas diri. Sikap seperti itu mengekang
pencapaian kebenaran dan kedewasaan. Kebenaran diraih melalui
ketidaktertutupan. Adapun kedewasaan ditempa melalui kesediaan
menginsafi sisi terlemah dari diri sendiri.
Celakanya, kecenderungan pemerintah untuk menutupi kenyataan dan
menyadari kelemahannya itu diberi peneguhan oleh akademisi lingkar dalam
istana. Jika Joseph Stiglitz menganjurkan pemimpin politik mau terlibat
dalam forum-forum ilmiah agar kebijakannya bersifat obyektif, para
ilmuwan di lingkaran dalam istana justru cenderung mengabaikan sikap
kritis dan obyektivitas di hadapan kuasa.
Sikap defensif terhadap kritik dan obyektivitas itulah yang membuat
permasalahan tidak sungguh-sungguh diatasi, tetapi ditutupi oleh
rekayasa pencitraan. Selama tahun 2011, tokoh-tokoh lintas agama dan
Forum Rektor telah mengeluarkan peringatan akan situasi genting yang
mengancam bangsa, yakni posisi Indonesia di ambang negara gagal. Namun,
peringatan seperti itu justru ditanggapi sinis oleh ilmuwan di lingkaran
dalam istana yang menuduhnya sebagai celoteh busuk ”gagak hitam”.
Ternyata peringatan tokoh-tokoh bangsa itu bukanlah isapan jempol semata. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi Indonesia dalam Failed States Index memburuk, dari urutan ke-64 pada tahun lalu menjadi urutan ke-63 tahun 2012.
Yang lebih merisaukan bukanlah penurunan indeks itu sendiri,
melainkan cara pemerintah dan ilmuwan lingkaran dalam istana menanggapi
indeks tersebut. Sikap apriori dan kritisisme tanpa pemahaman mendalam
atas basis penilaian indeks tersebut dikembangkan secara reaktif dengan
maksud melemahkan validitasnya.
Padahal, dengan mengedepankan sikap hanif (membuka diri pada
kebenaran) orang awam pun dengan mudah bisa meraba berbagai fenomena
negara gagal di negeri ini. Ciri-ciri Indonesia sebagai negara di ambang
kegagalan terlihat dari performa pemerintah pusat yang lemah atau tidak
efektif dalam mengendalikan kabinet dan pemerintah daerah, kelumpuhan
pelayanan publik, penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus buruh
migran, dan memburuknya kesenjangan ekonomi.
Karena itu, kritik bukan ditanggapi defensif, melainkan diterima
sebagai peringatan dini agar penyelenggara negara bersungguh-sungguh
menyelesaikan masalah nyata, dan tidak berhenti sebagai wacana
pencitraan semata
Tahun 2013 merupakan tahun penentuan bagi pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono untuk menentukan nilainya dalam sejarah Republik. Tetapi pada
tahun ini pula kegawatan korupsi politik akan semakin menggila seiring
dengan persiapan kontestasi Pemilu 2014.
Untuk memenuhi mahalnya ongkos politik dalam situsi defisit modal
sosial dan moral, partai-partai politik menjadikan sentra-sentra kuasa
ibarat negara dalam negara, yang berkhidmat pada kepentingan partai
masing-masing. Para aspiran kekuasaan berlomba mengundi peruntungan
dengan saling curi kesempatan, tak segan dengan menabrak lampu merah dan
membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan kepentingan di
persimpangan jalan. Maju kena, mundur kena; semua pengemudi kendararaan
saling mengunci. Terjadi gridlock dalam tata hubungan kenegaraan, yang menimbulkan kemacetan di semua jalur.
Mengatasi gridlock seperti itu mengandaikan kehadiran
otoritas yang berdiri tegas, dapat mengupayakan jalur putaran atau
pengalihan, yang secara perlahan bisa mengurai kemacetan. Namun,
pengandaian inilah yang tak terpenuhi di negeri ini. Tony Blair berkata, “The art of leadership is saying no, not yes. It is easy to say yes.”
Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang saling serobot, yang
sangat dituntut dari otoritas pemimpin adalah keberanian berkata
“tidak”.
Namun, dalam ketiadaan otoritas yang tegas , usaha mengatasi kemacetan politik itu mengandaikan adanya prakarsa sukarela dari “non-state actors”, semacam “polisi preman” yang biasa ditemukan di berbagai persimpangan.
Dalam istilah Jurgen Habermas, masyarakat sipil perlu melakukan
pengepungan terhadap masyarakat politik, dengan mendiktekan agenda untuk
berbalik haluan atau mengambil jalan alternatif.
Dalam kurewetan dan kemacetan lalu lintas politik, masyarakat sipil
harus mengembalikan politik ke khitahnya sebagai sarana perjuangan
kewargaan untuk kebajikan kolektif.
Lewat revitalisasi partisipasi publik, politik yang memprioritaskan
kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan
’kebajikan publik’, bisa didesak mundur oleh politik sejati yang
memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui
perbaikan otoritas publik
0 komentar:
Posting Komentar