Sabtu, 05 Juli 2014

Pencalonan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo Sebagai Calon Presiden Perspektif Pendekatan Institusionalisme dan Etika Politik

Oleh: Ubedilah Badrun 
(Pengajar Ilmu Politik & Sosiologi di UNJ dan Direktur Puspol Indonesia) 

*Saksi Ahli dalam permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).


Sebagaimana permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan saudara AH.WAKIL KAMAL, S.H., M.H. dan saudara IQBAL TAWAKKAL PASARIBU, S.H.  advokat-advokat pada Law Office AWK & Partners berdasarkan Surat kuasa khusus tanggal 05 Juni 2014, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama YONAS RISAKOTTA dan BAIQ OKTAVIANTY, S.H, M.H.  Tulisan ini bermaksud memberikan pandangan sebagai ahli dalam permohonan pengujian tersebut. Dalam pandangan ini saya menggunakan perspektif pendekatan institusionalisme dan etika politik.

Pokok persoalan dari permohonan pengujian tersebut adalah sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.42/2008 berbunyi “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya”. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No.42/2008 menyatakan yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Adanya pembatasan pengaturan tentang siapa itu pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No.42 Tahun 2008 jelas telah menimbulkan adanya kerugian konstitusional berupa munculnya ketidaksamaan kedudukan dihadapan hukum terhadap warga negara yang menjadi pejabat negara. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.42/2008 yang menyatakan Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden. Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Jadi, dalam konteks ini Gubernur yang sedang menjabat ketika mencalonkan diri sebagai calon Presiden cukup hanya dengan izin kepada Presiden, padahal Gubernur sesungguhnya sama posisinya sebagai pejabat negara juga.

Hal tersebut bisa dikonfirmasi sebagaimana diatur dalam Pasal  122 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal  121 yaitu: a.Presiden dan Wakil Presiden; b.Ketua,  wakil  ketua, dan  anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.Ketua, wakil  ketua, dan  anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d.Ketua, wakil  ketua, dan  anggota Dewan Perwakilan Daerah; e.Ketua,  wakil  ketua,  ketua muda dan  hakim  agung pada Mahkamah Agung serta  ketua,  wakil  ketua, dan  hakim pada semua  badan  peradilan  kecuali hakim ad hoc; f.  Ketua,  wakil  ketua, dan  anggota  Mahkamah Konstitusi; g.  Ketua,  wakil  ketua, dan  anggota  Badan Pemeriksa Keuangan; h.  Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan  wakil  ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j.  Menteri dan jabatan setingkat menteri; k.  Kepala perwakilan Republik  Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l.Gubernur dan wakil gubernur; m.Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan  n.Pejabat  negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Dalam perspektif pendekatan politik kelembagaan (institutional approach) Gubernur adalah orang yang menduduki posisi sebagai pejabat negara dalam lembaga negara (eksekutif) di tingkat daerah yang menjalankan pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-Undang dan dalam sistim politik demokrasi di Indonesia saat ini Gubernur adalah mereka yang terpilih secara demokratis dalam pemilu kepala daerah sesuai Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang Pemilu sejak disahkannya Undang-Undang no 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara dan lembaga Negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik dan efektif yang kemudian dikenal dengan  good governance dan negara otoriter yang menjalankan pemerintahanya tanpa ketaatan pada undang-undang dan cenderung mengandalkan kekuasaan secara personal yang kemudian dalam praktik pemerintahan disebut bad governance. Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti eksekutif, legislatif dan eksekutif. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional. Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah di tingkat provinsi yang dalam perspektif institutionalisme adalah menduduki kekuasaan formal sebagai pejabat Negara pada lembaga eksekutif ditingkat daerah.

B. Guy Peters dalam  Institutional in Political Science: The New Institutionalism (New York: Continuum,1999) mengemukakan setidaknya ada lima karakteristik atau kajian utama dalam pendekatan institusional  ini, yakni: (1). Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah dalam mengatur hukum; (2). Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur; (3). Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik dalam artian lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif ; (4). Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan; (5). Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.  Dengan lima karakteristik tersebut menjadi sangat tepat jika digunakan untuk melihat persoalan Gubernur yang belum selesai masa jabatanya lalu mencalonkan diri untuk memperebutkan posisi struktural kelembagaan pada lembaga eksekutif tertinggi di suatu negara (Presiden). Khususnya dapat dianalisis dengan karakteristik institutionalisme approach pada point ke dua (strukturalisme yang berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur) dan pada poin ke lima (normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government). Dalam konteks itu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah bagian dari perangkat kelembagaan utama di tingkat daerah, dan dengan perspektif ini menunjukan posisinya sebagai pejabat Negara di tingkat daerah. Bukti struktural lainya adalah Gubernur juga dalam penyelenggaraan pemerintahannya menggunakan anggaran tidak hanya terikat oleh perda APBD tetapi juga terikat oleh Undangg-Undang APBN, ini menunjukan kelekatan padanya identitas pejabat Negara. Dalam perspektif normative analysis, Gubernur Joko Widodo memiliki kewajiban normative ketaatan pada Undang-Undang yang berlaku. Hal ini juga nampak ada korelasinya dengan perspektif etika politik.

Dengan menggunakan perspektif politik pendekatan kelembagaan (institutional approach) tersebut maka sekali lagi saya mengatakan bahwa Gubernur adalah pejabat negara dan dalam konteks pencalonan Gubernur untuk menjadi calon presiden maka berlaku padanya Undang-Undnag No.42/2008 pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan demikian posisi Gubernur DKI jakarta Joko Widodo secara politik kelembagaan seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya.

Sementara dalam perspektif etika politik, jika mengutip tulisan Dennis F Thompson yang berjudul  Political Ethics  dalam  International Encyclopedia of Ethics (Blackwell Publishing, 2012) dikemukakan bahwa Political ethics (also known as political morality or public ethics) is the practice of making moral judgements about political action and political agents. Dengan menggunakan perspektif Thompson tersebut saya menilai Gubernur Joko Widodo adalah political agent, atau sebagai agen politik. Sebagai agen politik yang memiliki legitimasi karena dipilih secara demokratis oleh rakyat DKI Jakarta maka ia menjadi milik publik Jakarta yang sarat dengan etik publik. Oleh karena itu sebagai agen politik posisi dan perilaku politiknya menjadi rasional jika dipandang sebagai obyek dari perhatian publik, karena padanya harapan warga Jakarta ditambatkan. Publik memiliki hak konstitusional terhadap Gubernurnya yang mereka pilih untuk dimintai pertanggungjawabanya atas segala sikap dan perilaku politiknya.

Sementara Andrew Stark  dalam Conflict of Interest in American Public Life. (Harvard University Press, 2003) mengemukakan bahwa political ethics not only permits leaders to do things that would be wrong in private life, but also requires them to meet higher standards than would be necessary in private life. They may, for example, have less of a right of privacy than do ordinary citizens, and no right to use their office for personal profit. The major issues here concern conflict of interest. Perspektif Andrew Stark ini menekankan pentingnya etika politik dimana seorang pemimpin atau pejabat politik harus memenuhi standar tinggi untuk memenuhi keinginan publik yang memilihnya karena ia memiliki legitimasi yang kuat dipilih oleh publik dengan sejumlah ekspektasi publik yang ideal, selain itu etika politik juga menghendaki agar elit politik tidak memanfaatkan jabatanya untuk kepentingan pribadi.

Dengan memperhatikan perspektif etika politik maka menjadi tidak etis ketika seseorang Gubernur yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun lalu kemudian ikut berlaga untuk menjadi Presiden dan tidak mundur dari jabatannya. Kelekatan jabatan Gubernur dan praktik kampanye pemilu presiden nampak terlihat dan ini memungkinkan apa yang diingatkan oleh Andrew stark sebagai ruang kemungkinan  personal profit dan conflict of interest. Oleh karena itu secara etika politik Kepala Daerah yang mencalonkan diri sebagai Presiden seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya sehingga menjamin adanya kepastian hukum akan jabatan sebagai Kepala Daerah sekaligus memenuhi tuntutan etis publik atau dalam konteks tersebut adalah ekspektasi warga Jakarta. Hal ini dikarenakan berkaitan sangat erat dengan keputusan strategis yang harus diambil oleh seorang Kepala Daerah untuk kepentingan kesejahteraan rakyat didaerah tempat ia memimpin. Logika ini secara etik adalah benar.

Dalam perspektif etika politik Indonesia yang berbasis pada nilai nilai moral Pancasila, UUD 1945 dan sejumlah Undang-Undang (diantaranya UU 32 Tahun 2004) yang mengikat seorang Gubernur, hakikat menduduki jabatan Gubernur adalah menjalankan amanat rakyat yang memilihnya dan mentaati undang-undang yang mengikatnya termasuk pada Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 122 dan pada UU No.42/2008 Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Oleh karena itu secara institusional dan secara etik politik Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dalam pencalonannya sebagai calon Presiden 2014 yang tidak mengundurkan diri dari jabatanya sebagai gubernur adalah tindakan dan sikap politik yang tidak etis dan tidak patut dicontoh oleh seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks pembangunan politik (pembangunan demokrasi) di Indonesia, sikap tidak mundur dari jabatan Gubernur yang dilakukan Joko Widodo  yang mencalonkan sebagai calon presiden 2014 adalah sikap yang merusak pembangunan demokrasi karena demokrasi itu memerlukan ketaatan pada undang-undang dan sekaligus ketaatan pada konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945.

Sesungguhnya ada spirit penting dari kesaksian ahli yang saya sampaikan ini, selain kepentingan pembangunan demokrasi yang tidak meninggalkan ketaatan pada undang-undang yang berlaku dan pentingnya perilaku politik yang memperhatikan kearifan etika politik, juga pada semangat memperoleh kekuasaan yang sehat melalui proses demokrasi yang sehat dengan spirit tanpa semangat haus kekuasaan. Saya menilai ketika pak Jokowi mundur dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta karena mencalonkan diri sebagai calon Presiden 2014, secara etik politik ia menunjukan sebagai seorang negarawan untuk memenuhi panggilan kepentingan Negara yang lebih besar dengan demikian  lepas dari persepsi sebagai seorang yang memiliki hasrat dan ambisi kekuasaan.

0 komentar:

Posting Komentar