Oleh: Ubedilah Badrun
(Pengajar Ilmu Politik & Sosiologi di UNJ dan Direktur Puspol Indonesia)
*Saksi Ahli dalam permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
(Pengajar Ilmu Politik & Sosiologi di UNJ dan Direktur Puspol Indonesia)
*Saksi Ahli dalam permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Sebagaimana permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat
(1) dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan saudara
AH.WAKIL KAMAL,
S.H., M.H. dan saudara IQBAL TAWAKKAL
PASARIBU, S.H. advokat-advokat pada Law Office AWK &
Partners berdasarkan Surat kuasa khusus tanggal 05 Juni 2014, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama YONAS RISAKOTTA
dan BAIQ
OKTAVIANTY, S.H, M.H. Tulisan ini bermaksud memberikan pandangan
sebagai ahli dalam permohonan pengujian tersebut. Dalam pandangan ini saya
menggunakan perspektif pendekatan institusionalisme dan etika politik.
Pokok persoalan dari permohonan pengujian tersebut adalah sebagaimana
termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.42/2008
berbunyi “Pejabat
negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai
calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari
jabatannya”. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No.42/2008 menyatakan yang
dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini
adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan
Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Adanya pembatasan pengaturan tentang siapa itu pejabat negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No.42 Tahun
2008 jelas telah menimbulkan adanya kerugian konstitusional berupa munculnya ketidaksamaan
kedudukan dihadapan hukum terhadap warga negara yang menjadi pejabat negara.
Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 7 ayat (1)
dan (2) UU No.42/2008 yang menyatakan Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil
bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik
atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden
harus meminta izin kepada Presiden. Surat permintaan izin gubernur, wakil
gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil
Presiden. Jadi, dalam konteks ini Gubernur yang sedang menjabat ketika
mencalonkan diri sebagai calon Presiden cukup hanya dengan izin kepada
Presiden, padahal Gubernur sesungguhnya sama posisinya sebagai pejabat negara
juga.
Hal tersebut bisa dikonfirmasi sebagaimana diatur dalam Pasal 122
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: a.Presiden dan
Wakil Presiden; b.Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat; c.Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat; d.Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah; e.Ketua, wakil ketua, ketua muda dan
hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil
ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali
hakim ad hoc; f. Ketua, wakil ketua, dan anggota
Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota
Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi
Yudisial; i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j.
Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh; l.Gubernur
dan wakil gubernur; m.Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n.Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam perspektif pendekatan politik kelembagaan (institutional
approach) Gubernur adalah orang yang menduduki posisi sebagai pejabat
negara dalam lembaga negara (eksekutif) di tingkat daerah yang menjalankan
pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-Undang dan dalam sistim politik
demokrasi di Indonesia saat ini Gubernur adalah mereka yang terpilih secara
demokratis dalam pemilu kepala daerah sesuai Undang-Undang sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang Pemilu
sejak disahkannya Undang-Undang no 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan
Pemilihan Umum. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai
penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam
undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota.
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara dan lembaga
Negara sebagai fokus kajian utama.
Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang mampu
menjalankan pemerintahannya dengan baik dan efektif yang kemudian dikenal
dengan good governance dan negara otoriter yang menjalankan
pemerintahanya tanpa ketaatan pada undang-undang dan cenderung mengandalkan
kekuasaan secara personal yang kemudian dalam praktik pemerintahan disebut bad governance. Bahasan tradisional dalam pendekatan ini
menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan
kekuasaan formal serta yuridis
dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti
eksekutif, legislatif dan eksekutif. Dengan kata lain, pendekatan
ini mencakup unsur legal
maupun institusional.
Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah di tingkat provinsi yang dalam
perspektif institutionalisme adalah menduduki kekuasaan formal sebagai pejabat
Negara pada lembaga eksekutif ditingkat daerah.
B. Guy Peters dalam Institutional in Political Science: The New
Institutionalism (New York: Continuum,1999) mengemukakan setidaknya ada
lima karakteristik atau kajian utama dalam pendekatan institusional ini,
yakni: (1). Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan
pemerintah dalam mengatur hukum; (2). Strukturalisme, yakni berfokus pada
perangkat kelembagaan
utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur; (3). Holistik (holism) yang
menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik dalam artian
lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif ; (4). Sejarah atau historicism
yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan; (5). Analisis
normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif
sehingga akan terfokus pada penciptaan good government. Dengan lima
karakteristik tersebut menjadi sangat tepat jika digunakan untuk melihat
persoalan Gubernur yang belum selesai masa jabatanya lalu mencalonkan diri
untuk memperebutkan posisi struktural kelembagaan pada lembaga eksekutif
tertinggi di suatu negara (Presiden). Khususnya dapat dianalisis dengan
karakteristik institutionalisme approach pada point ke dua (strukturalisme
yang berfokus pada perangkat kelembagaan
utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur) dan pada poin ke lima (normative
analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif
sehingga akan terfokus pada penciptaan good government). Dalam konteks
itu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah bagian dari perangkat kelembagaan utama di
tingkat daerah, dan dengan perspektif ini menunjukan posisinya sebagai pejabat
Negara di tingkat daerah. Bukti struktural lainya adalah Gubernur juga dalam
penyelenggaraan pemerintahannya menggunakan anggaran tidak hanya terikat oleh
perda APBD tetapi juga terikat oleh Undangg-Undang APBN, ini menunjukan kelekatan
padanya identitas pejabat Negara. Dalam perspektif normative analysis, Gubernur Joko
Widodo memiliki kewajiban normative ketaatan pada Undang-Undang yang berlaku. Hal ini juga nampak ada korelasinya dengan
perspektif etika politik.
Dengan menggunakan perspektif politik pendekatan kelembagaan (institutional
approach) tersebut maka sekali
lagi saya mengatakan bahwa Gubernur
adalah pejabat negara dan dalam konteks pencalonan Gubernur untuk menjadi calon
presiden maka berlaku padanya Undang-Undnag No.42/2008 pasal 6 ayat
(1) yang berbunyi “Pejabat negara yang
dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon
Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan demikian posisi Gubernur DKI
jakarta Joko Widodo secara politik kelembagaan seharusnya mengundurkan diri
dari jabatannya.
Sementara dalam perspektif etika politik, jika mengutip tulisan Dennis F
Thompson yang berjudul Political Ethics dalam
International Encyclopedia of Ethics (Blackwell Publishing, 2012)
dikemukakan bahwa Political
ethics (also known as political morality or public ethics) is the practice of
making moral judgements about political action and political agents. Dengan
menggunakan perspektif Thompson tersebut saya menilai Gubernur Joko Widodo
adalah political
agent, atau sebagai agen politik. Sebagai agen politik yang memiliki
legitimasi karena dipilih secara demokratis oleh rakyat DKI Jakarta maka ia
menjadi milik publik Jakarta yang sarat dengan etik publik. Oleh karena itu
sebagai agen politik posisi dan perilaku politiknya menjadi rasional jika
dipandang sebagai obyek dari perhatian publik, karena padanya harapan warga
Jakarta ditambatkan. Publik memiliki hak konstitusional terhadap Gubernurnya
yang mereka pilih untuk dimintai pertanggungjawabanya atas segala sikap dan
perilaku politiknya.
Sementara Andrew Stark dalam Conflict of Interest in American
Public Life. (Harvard University Press, 2003) mengemukakan bahwa political ethics not only
permits leaders to do things that would be wrong in private life, but also
requires them to meet higher standards than would be necessary in private life.
They may, for example, have less of a right of privacy than do ordinary
citizens, and no right to use their office for personal profit. The major
issues here concern conflict of
interest. Perspektif
Andrew Stark ini menekankan pentingnya etika politik dimana seorang pemimpin
atau pejabat politik harus memenuhi standar tinggi untuk memenuhi keinginan
publik yang memilihnya karena ia memiliki legitimasi yang kuat dipilih oleh
publik dengan sejumlah ekspektasi publik yang ideal, selain itu etika politik
juga menghendaki agar elit politik tidak memanfaatkan jabatanya untuk
kepentingan pribadi.
Dengan memperhatikan perspektif etika politik maka menjadi tidak etis
ketika seseorang Gubernur yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun
lalu kemudian ikut berlaga untuk menjadi Presiden dan tidak mundur dari
jabatannya. Kelekatan jabatan Gubernur dan praktik kampanye pemilu presiden
nampak terlihat dan ini memungkinkan apa yang diingatkan oleh Andrew stark
sebagai ruang kemungkinan personal profit
dan conflict of
interest. Oleh karena itu secara etika politik Kepala Daerah yang
mencalonkan diri sebagai Presiden seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya
sehingga menjamin adanya kepastian hukum akan jabatan sebagai Kepala Daerah
sekaligus memenuhi tuntutan etis publik atau dalam konteks tersebut adalah
ekspektasi warga Jakarta. Hal ini dikarenakan berkaitan sangat erat dengan
keputusan strategis yang harus diambil oleh seorang Kepala Daerah untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat didaerah tempat ia memimpin. Logika ini secara
etik adalah benar.
Dalam perspektif etika politik Indonesia yang berbasis pada nilai nilai
moral Pancasila, UUD 1945 dan sejumlah Undang-Undang (diantaranya UU 32 Tahun
2004) yang mengikat seorang Gubernur, hakikat menduduki jabatan Gubernur adalah
menjalankan amanat rakyat yang memilihnya dan mentaati undang-undang yang
mengikatnya termasuk pada Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara pasal 122 dan pada UU No.42/2008 Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Pejabat negara yang
dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon
Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Oleh karena itu secara institusional dan secara etik politik Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo dalam pencalonannya sebagai calon Presiden 2014 yang tidak
mengundurkan diri dari jabatanya sebagai gubernur adalah tindakan dan sikap
politik yang tidak etis dan tidak patut dicontoh oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konteks pembangunan politik (pembangunan demokrasi) di Indonesia, sikap
tidak mundur dari jabatan Gubernur yang dilakukan Joko Widodo yang
mencalonkan sebagai calon presiden 2014 adalah sikap yang merusak pembangunan
demokrasi karena demokrasi itu memerlukan ketaatan pada undang-undang dan
sekaligus ketaatan pada konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia, UUD
1945.
Sesungguhnya
ada spirit penting dari kesaksian ahli yang saya sampaikan ini, selain
kepentingan pembangunan demokrasi yang tidak meninggalkan ketaatan pada undang-undang
yang berlaku dan pentingnya perilaku politik yang memperhatikan kearifan etika
politik, juga pada semangat memperoleh kekuasaan yang sehat melalui proses
demokrasi yang sehat dengan spirit tanpa semangat haus kekuasaan. Saya menilai
ketika pak Jokowi mundur dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta karena
mencalonkan diri sebagai calon Presiden 2014, secara etik politik ia menunjukan
sebagai seorang negarawan untuk memenuhi panggilan kepentingan Negara
yang lebih besar dengan demikian lepas dari persepsi sebagai seorang yang
memiliki hasrat dan ambisi kekuasaan.
0 komentar:
Posting Komentar