Jumat, 16 Agustus 2013

Sebuah Pemikiran


Tulisan ini lahir dari sebuah pertannyaan seorang teman tentang islam, ketika itu ia bertannya kepadaku dalam sebuah kunjungan pada tahun 2012 di rumahku, “Apa panduanmu dalam beribadah? kita tak mungkin beragama tanpa satu pendekatan alim ibadah, karena kita hannya manusia biasa yang pengetahuannya masih rendah tentang ilmu Al-Quran dan Islam, jadi butuh ilmu dan pendekatan para alim jika kita mau menjadi muslim yang kafah”–kurang lebih seperti itu pertannyaan temanku. Menangkapi pertannyaan tersebut otakku langsung berfikir, hal yang ku anggap sederhana sebelumnya kemudian menjadi sesuatu yang memang harus kufikirkan, menurutku tidak ada salahnya pertannyaan temanku untuk dicari tau dan ditelusuri secara radikal (mengakar) kebenarannya –apa lagi aku memang suka sekali teka-teki dan investigasi.


Awalnya aku merasa apa yang aku lakukan khususnya dalam beribadah sudah benar dan tepat, apa yang dididik dilingkungan keluarga dan masyarakatku –sejak kecil, sudah ku anggab sebagai kebenaran, akan tetapi seiring dengan bertambahnya usia apa lagi memasuki dunia kampus, hal yang kufikir sederhana ternyata belum ada apa-apanya dan memang harus kita cari tau –carilah ilmu sampai negeri cina atau carilah ilmu sampai liang lahat, pepatah atau peribahasa tersebut seharusnya membentuk seorang muslim menjadi pribadi yang bersemangat dalam mencari ilmu dan kebenaran.

Di rumah, aku dididik dari lingkungan NU, ibu dan engkongku (kakek dalam bahasa betawi) adalah orang NU –meskipun ibuku dalam beribadah tidak pernah mengagungkan ke-NU-an dan menjadikan NU sebagi sitem penanda yang paling benar -cenderung mengalir saja, seolah secara otomatis dianggap sebagai pengetahuan dan kebenarannya. Aku juga banyak belajar pemikiran Muhammadiah –H. Ahmad Dahlan, baik itu dari buku, ceramah atau dari film “Sang Pencerah”, keluarga ayahku adalah orang Muhammadiah meskipun ayahku lebih cenderung fleksibel. Di kampus aku belajar dari beberapa guru untuk menambah wawasan keislaman dan keimananku terhada Allah. Aku memeliki guru dari gerakan Ikhwanul Muslimin (Hasan Al-Banna) sebuah gerakan yang berasal dari Mesir dan sering dikaitkan dengan salah satu partai politik di indonesia, aku banyak belajar tentang pergerakan islam, peribadatan dan amalan keislaman. Kedua dari organisasi islam bernama PERSIS (Persatuan Islam), bersama teman-temanku aku memperdalam ilmu Al-Quran dan melancarkan bacaanku. dan terakhir adalah seorang guru dari Salaf –dia orang Indonesia yang belajar ilmu agama Islam di Yaman, bersama ustad dan kawan-kwan aku banyak belajar seputar fiqih dan akidah. Memang kampus adalah ladangnya ideology segalah pemikiran tentang hal yang ideal ada dan bertumpah ruah, sehingga kampus aku sebut sebagai wahana ilmu dalam mencari kebenaran sejati. Bahkan dulu ketika aku sekolah di Subang, pernah 2 tahun belajar ilmu agama dari guruku yang mendalami ilmunya dipesantern Cirebon. Dari beraneka ragam ladang ilmu tersebut kemudian mengkonstruksi pola pikir dan pandanganku tentang islam dan peribadahannya.

Kenakeka ragaman menjadi menarik ketika kita terjun ke masyarakat, sering sekali aku melihat dan mendengar keluh-kesa masyarakat tentang perbedaan itu sendiri –sedikit berbeda dengan harapanku, bahkan perbedaan ini menjadi konflik laten. Wajar saja, Indonesia adalah Negara yang multikultur baik itu suku, adat, dan kepercayaan beragamanya, apa lagi di-era globalisasi yang jarak antara ruang dan waktu sudah tidak ada (Antoni Gidden -sosiolog), segala informasi dan transfer kebudayaan menjadi satu hal yang mudah bahkan dalam hitungan detik, sehingga wajar menimbulkan banyak pemahaman dan sudut pandang yang multicultural. Sering juga saya melihat kefanatikan seorang penganut kepercayaan tertentu menanggapi perbedaan antar kepercayaan baik dalam bentuk tulisan bahkan dibukukan, atau hal remeh seperti ledekan santai. Entah kenapa ada rasa tidak suka dalam diri ku ketika ada kotak dalam agama islam, aku bukan dalam posisi mebela NU atau guru-guru ku, tetapi entah kenapa ada ketidak sukaan saja ketika ada perbedaan dalam rumah bernama Islam. Karena bagiku tak susah menebalkan garis yang sebenarnya tipis, karena orang yang paling diuntungkan dalam pertikaian ini adalah orang-orang kafir, mereka senang islam terpecah dan sangat takut jika islam bersatu. Jika berbeda, jangan sampai membuat sakit saudara kita, jika tidak paham lebih baik diam saja. Mungkin padangan ini tercipta akibat dari banykanya pengetahuan yang aku dapat dari berbagai sumber.

Lantas jawabanku atas pertannyaan temanku adalah, aku masih belajar. Hhe maaf jika tidak puas. Tapi ini memang kenyataannya, aku lebih suka menuntut ilmu dan mencari terus tanpa berkata cukup dan selesai, jadi pencarian tentang panduan, mazab dan sebagainya aku sendiri masih dalam pencarian, mudah-mudahan tidak bosan apa lagi mencari ilmunya Allah. Apa yang hari ini aku lahukan cukup ku yakinkan, jika ada yang salah biar Allah yang benarkan.

Contohnya ketika aku sholat subuh, aku yang lahir dari keluarga NU ketika berada di masjid yang notabennya Muhammadiah, ya aku melakukan peribadatan yang sesuai dengan mereka, tidak memakai kunut –semata-maat menghormati yang dominan. Ketika tida ada zikir dan doa bersama setelah selesai sholat, ya sudah -aku zikir dan berdoa sendiri. Jika berada di masjid NU, ya pake kunut dan ikut berzikir selesai sholat. Ada juga masalah seperti memakai celana, haruskah diatas mata kaki, atau masalah jenggot –haruskah dicukur atau tidak, sepenggal tangan atau yang penting ada dan lain sebaginya, aku pun masih belajar untuk menanggapi masalh itu.

Aku fikir masalah perbedaan ini terletak pada metode dan prespektif saja –kebenaran hannya milik Allah. Selagi tuhannya masih Allah, panduan hidupnya masih Al-Quran, Rasul dan Nabi terakhirnya masih Rasulullah dan tata cara peribadatnnya masih mengikuti Sunahnya Rasul, ku fikir tak masalah J . Sekali lagi apa yang ku fikirkan bisa jadi berubah seiring dengan bertambahnya ilmu. Kebenaran hannya milik Allah. Ku fikir masalah perbedaan jangan di jadikan gab antar umat islam, Karena yang ku tau ketika seorang muslim sudah bersahadat/ bertahuid maka air laut tidak bisa membatasi persaudaraan muslim. Yang terpenting rukun iman dan islmanya di jalankan, segala perbedaan yang menyangkut keseharian hidup ku –aku yang masih belajar menganggap sebagai perbedaan dalam beragama saja dan tidak menjadi persoalan yang harus diperdebatkan apa lagi bertikai siapa yang paling benar, jika merasa benar ya sudah, jangan sampai mengatakan yang lain salah dan kafir. Hal-hal yang fersifat hubungan antar manusia, tidak apa dilakukan sesuai adat setempat sampai Allah membatasi apa yang tidak boleh dan apa-apa yang dilakukan dalam peribadatan lakukan saja sampai Allah yang membatasi batasanya di dalam Al-Quran.

Pertannyan selanjutnya dari dalam diriku sendiri adalah, Apakah Rasulullah dalam beribadah melakukan banyak cara sehingga menimbulkan multipersektif umat dalam beribadah?
Jawab, Yang ku tahu, sebagi-baiknya panutan dan panduan hidup umat adalah apa yang sudah di lakukan oleh Nabi Muhammad. Karena ia memiliki pesona ahlak yang membuatnya menjadi manusia istimewah dan dicintaii Allah. Kita harus mencontoh perbuatan Rasulullah, meskipun ia adalah nabi dan rasul, apa yang dilakukukan sangat manusiai dan bisa kita tiru -sebatas aktifitas kemanusiaannya bukan tanda-tanda kenabiannya, seperti Rasul memenangkan peperangan dengan cara berusaha dan berperang, ia adalah seorang jendral perang, ia berlatih panah-berkuda dan berenang, Rasul juga bermusyawarah dan menyusun siasat sebelum berperang contohnya ketika perang Parit di Madinah, adapun kemenangan peperangnnya karena pertolongan Allah melalui malaikat-malaikatnya, itu persoalan belakangan, yang terpenting adalah ia berusaha terlebih dahulu. Rasulullah adalah orang yang kaya, hal itu bisa kita tiru juga, ia tidak seperti nabi Sulaiman yang memang kaya dan memiliki harta yang berlimpah sejak lahir, Rasul kaya karena berdagang, bahkan dulu ia adalah pengembala yang miskin, Rasul mulai berdagang kecil-kecilan sampai berniaga besar-besaran bersama Siti Khodijah. Rasul juga berdakwah dalam penyebaran agamanya, bahkan Michael H. Hart  dalam bukunya mencatat Rasul sebagai orang paling berpengaruh dalam sejarah –karena pengaruhnya yang lama, luas dan kuat akibat kepemimpinannya yang dinilai Harts efektif. Jika kita sebagi pendakwah dan dai, cara mencerangkan dan menyebarkan agama Allah -ya dengan cara dakwah, Rasul mencontohkan-nya, tidak bisa ujung-ujung sebuah masyarakat bisa menjadi soleh dan mendapatkan hidayah dengan begitu saja.
Dalam perjalanannya Rasulullah memang melakukan berbagai bentuk peribadatan seiringn dengan turunnya wahyu dan ia bisa memberikan pendapat berbeda kepada beberapa orang yang memiliik masalah yang sama –disinilah letak kecerdasan Rasul. Contohnya saja bab masalah sholat, sebelum perang Parit, tidak ada perintah bisa meringkas sholat dan mengjamaknya –lanataran umat islam kala itu dalam kondisi di serang dan bertahan sehingga konsentarsiny adalah menjaga pertahanan. Perintah berhudu dengan pasir ada ketika peristiwa hilangnya gelang Aisyyah yang ternyata ada dibawah onta yang sedang istrahat –kondisi kala itu tidak ada air sama sekali sampai-sampai Abu bakar, marah dengan sikap anaknya (Aisyyah). Atau bab masalah beribadah untuk orang yang baru dan orang yang sudah beriman, ia tidak memperlakukan sama antar orang badui yang awan dan umat muslim yang sudah lama bersama Rasul. contohnya ketika ada peristiwa seorang badui yang sembarangan kencing di tempat peribadatan (lanataran ia tidak tahu –di tambah lagi kondisi temapt ibadah saat itu tidak berbentuk banguan seperti zaman sekarang –sebatas kayu dari pohon kurma) atau bab masalah beribadah meski hannya sebuah kurma oleh seorang badui miskin yang ingin sekali beribdah kepada Allah dan rasul. Maskawin yang tidak memberatkan, jika tidak ada cincin besi, jika tidak ada hafalan Juz dan sebagainya. Hal itu bisa berubah seiring dengan datangnya wahyu dan sebab hukum yang muncul, maka kita perlu arif dalam menyikapi sebuah kejadian berdasarkan sebab hukumnya –tidak sembarangan memvonis. Rasul sendiri tidak selalu sholat duha, meskipun ia sangat menginginkannya lantara ia takut umantnya mewajibkan apan yang ia sunnahkan –akan tetapi para sahabat dan istri beliau sangat rajin mekaukan shalat sunnah duha. Islam sangat mengakar, tidak hannya dalam masalah peribadahan dari masalah menikah sampai berceraipun diatur. Masalah tidur sampai bangun tidurpun dijelaskan. Masalah bersih bersih sampai makanpun diatur.    

Jika kita telusuri dalam sejarah, jauh sesudah wafatnya Rasul, para sahabat dan orang-orang di zaman tersebut beribadah sesuai dengan apa yang ada di Al-quran dan sunnah Rasul menurut istihad masing-masing, dan kemudian cara bermazab lahir ketika zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Ulama-ulama memutuskan hukum yang ada pada masa itu, oleh karena berlaian cara memahamkan isi Al-Quran –akibat perbedaan riwayat sunnah rasul, sehingga terjadilah pertentangan dalam beribadah, bahkan kerap kali timbulnya sentiment politik dan ambisi perorangan akibat metode yang berbeda. Untungnya dalah beribadah para imam besar sendiri tidak pernah memerintahkan kepada pengikutnya untuk berpegang pada istihdnya, akan tetapi kita disuruh mencari dasar hukum yang lebih kuat dan sempurna, murid Iman Malik pernah mendengar gurunya berkata “Aku hannya seorang manusia, dapat berbuat salah dan juga berbuat benar. Lihatlah pendapatku apabila ia sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasu, akan tetapi jika tidak sesuai maka tinggalkanlah pendapat itu”. Iman Syafi’e pernah berpendapat, “Meskipun aku telah menyatakan fikiranku, jika engkau dapati Nabi berkata berlainan dengan perkataanku, maka yang benar adalah ucapan Nabi dan janganlah engkau bertaqlid kepadaku. Apa bila sebuah hadis yang menjadi perkataanku itu sah maka ikutilah hadis itu karena itu-lah mazabku”. Atau Iman Ahmad Ibn Hambal pernah berkata, “Janganlah kau bertaqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, jangan juga kepada Syafi’e dan jangan juga kepada Tsauri, tetapi ambillah sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil fikiran-fikiran itu”. Dari perkataan para Imam besar tersebut, sikap penulis adalah apa yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul adalah kebenaran, jika tidak kita dapatkan jawabannya kita wajib mencari tau melalui pendekatan atau istihd para iman atau alim ulama, akan tetapi jika kita tidak mendapatkan jawabannya maka tetaplah mencari sesuai dasar hukum tersebut, samapai Allah yang akan membenarkan, karena kesalahan yang tidak kita ketahui kebenarannya bukanlah dosa jika memang perhal di atas sudah kita lakukan, inilah yang kemudian membuat saya kagumi tentang sikap islam mendalami ilmu pengetahuan dan hukum.

Daftar Referensi
Al-Din, Zaki (2008), “Ringkasan Shahih Muslim”, Pt. Mizan Pustaka : Bandung (terjemahan
MH. Hart (1978) “100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia”, Jakarta: Mizan
Stoddard, Lothrop, “Dunia baru Islam”, dicekat dalam Bahasa Indonesia atas prakarsa Presiden Republik Indonesia, Dr. Ir H. Sukarno. Jakarta 1966.
Wahid, Sukhri (2010), “Manajemen Gerakan Dakwah Dimasa Krisi, Belajar dari Sejarah Perang Khondaq”, Al-I’tishom : Jakarta
Ya’qud, Abdurragman (2005), “Pesona Akhlak Rasulullah Saw”, Pt. Mizan Pustaka : Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar