Oleh:
Gurnadi Ridwan[1]
Desa Karangsong adalah salah satu
desa di Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat.
Karangsong memiliki luas wilayah
243.067 Ha, dengan batas wilayah
Desa Pabean Udik di sebelah utara, disebelah selatan berbatasan dengan Desa
Tambak, disebelah barat berbatasan dengan Keluarahan Paoman, dan disebelah
timur berbatasan dengan Laut Jawa.
Sebagai pelabuan baru, Karangsong
mengalami kemajuan. Pelabuan ini sudah ada sejak tahun 90-an, akan tetapi
mengalami perbaikan pada tahun 2004, dan pada tahun 2008 pelabuan ini sudah
menjadi pelabuan dengan omset terbesar se-Jawa Barat. Sebagai pelabuan
Karangsong memiliki daya tarik investor yang tinggi, sehingga menimbulkan
geliat ditingkat civil. Berbagai pemain baru dengan modal besar menanamkan
investasinya baik berupa pembelian kapal atau jual-beli ditempat Pelelangan
Ikan. Dampak dari kemajuan tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, sehingga wajar jika mayorita penduduk karangsong adalah nelayan.
Ratusan kapal besar dan kecil
mendaratkan ikannya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) peisir karangsong. Biasanya
pelelangan dimulai pada pagi hari sampai pada siang hari. 60% distribusi ikan
di kirim ke Jakarta dan di susul 40%nya ke bandung, tasik, tegal, Cirebon dan
subang. Jika di total omset TPI mencapai 78 milyar rupiah per tahun. Dalam
sehari TPI bisa mencapai omset 800 juta dengan rata-rata ikan sebanyak 70-100
ton/hari. Sehingga wajar saja jika pelabuan karangsong menjadi pelabuan terbesar
dan tersukses di jawa barat.
Kondisi Geografis karangsong adalah
0,5 Mdl ketinggian dari permukaan laut. Banyaknya Curah Hujan pertahun bisa
mencapai 200 mm, ini menunjukan intensitas curah hujan di Karangsong cukup.
Tofografi daerah karangsong termasuk datar, hal ini yang memungkinkan segala
bangunan dan arsitektur yang dibuat masyarakat tidak banyak menyulitkan
masyarakat. Suhu udara rata-rata mencapai 29 ºC, suhu yang terbilang umum untuk
daerah pantai di pulau Jawa yang notabennya subtropis. Jarak Desa Karangsong ke pusat Pemerintah
seperti Kecamatan/administrasi mencapai 5,00 Km, jarak ini sama dengan jarak
dari desa karangsong ke Pusat Pemerintah Kabupaten, yaitu 5,00 Km.
Untuk masalah pertanahan, desa
karangsong memiliki Bangunan Umum seluas 1.595 Ha. Total luas Empang dan Tambak
yang terdata di desa mencapai 202. 067 Ha. Perladangan mencapai, 2750 Ha.
Tegalan mencapai 204 Ha. Sedangkan untuk luas pemukiman dan Penduduk seluas
20,562 Ha. Untuk Jalur Hijau, karangsong memiliki jalur hijau mencapai 47 Ha
dan memiliki 3 titik Tempat Pemakanam Umum atau kuburan.
Penelitian
ini sendiri akan mendeskripsikan tentang konsep ruang kewargaan (civic
space) [dipinjam dari A. Daniere dan M. Douglass (2009)] di masyarakat Pesisir Karangsong dalam upaya menciptakan
kemandirian. Masyarakat pesisir pantai Karangsong adalah masyarakat yang
kreatif dan memiliki karakter pekerja keras. Potensi ekologis yang terdapat di
Karangsong menciptakan roda ekonomi yang sesuai dangan potensi lokalnya.
Berbagai macam bentuk kemandirian ini terlihat dari banyaknya lapangan
pekerjaan dibidang ekonomi kreatif yang tercipta di ruang sosial yang mereka
(masyarakat) ciptakan sendiri.
Secara sosiologis, ruang sosial adalah dasar dari
berbagai bentuk komunitas yang mengadakan interaksi. Dari interaksi-interaksi
tersebut meyebabkan terjadinya relasi antara pengetahuan dan kuasa (Zielniec
2007:128). Kemandirian tersebut tidak berdiri sendiri, berbagai konflik muncul
untuk merebutkan sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis. Konflik tersebut muncul baik ditingkat macro (antara pengusaha dan Negara) dan ditingkat
micro (civil dengan civil), hal
tersebut membuat sumberdaya alam menjadi satu hal yang sangat berarti bagi kelompok-kelompok
kepentingan. Relasi antara ruang dan kekuasaan ini kemudian bersitegang dengan
kebutuhan masyarakat. Bagi masyarakat Karangsong, Negara hannya menyediakan market untuk pemilik kapal besar dan
pengusaha, sehingga masyarakat ditataran micro
terpaksa membuat ruang kewargaannya sendiri.
Sebagai pelabuan terbesar di Jawa Barat, Karangsong
membuat geliat civil yang meningkat
tiap tahunnya. Pemerintahan daerah dituntut untuk memberikan inovasi dalam
rangka mensejahterakan masyarakat karangsong dan sekitar. Besarnya pemasukan
dan omset di Karangsong tidak berbanding dengan fasilitas yang ada, sehingga
berbagai konflik ruang sosial dalam perebutan sumberdaya tidak terhindarkan.
Kemudian ditataran mikro, masyarakat membentuk ruang kewargaan sendiri, terlepas
dari peran pemerintah dan pasar. Disililah konsep civic space lahir.
Dalam
penelitian ini, penulis akan memetakan konflik yang terjadi di Karangsong dalam upaya
perebutan sumberdaya ekonomi, diataranya
konflik di tingkat nelayan, konflik antara nelayan dan pasar, pasar-negara dan
nelayan. Sumber ekologis ini melahirkan pergesekan konflik di berbagai tingkat
meskipun dalam tataran nelayan (micro)
tidak terlalu besar. Pertikaian besar terjadi di tingkatan pasar dan Negara
dimana nelayan menjadi korban dari konfik tersebut. Hal ini tentu berdampak
pada pemasukan mereka.
Masyarakat Karangsong dan desa
sekitarnya adalah masyarakat yang terampil berlayar
dan membuat
kerajinan perahu, baik perahu besar maupun
kecil, wajar saja jika notabennya masyarakat pesisir karangsong tidak lepas dari pekerjaan di sekitar pesisir
dan lautan. Sejalan dengan, Kusnadi ia
mengungkapkan tentang karekteristik sosial budaya masyarakat pesisir salah
satunya adalah Etos kerja yang tinggi, hal ini kemudian menjadi dasar lahirnya
kemandirian masyarakat dengan memanfaatkan ruang publik yang mereka ciptakan
sendiri terlepas dari peran pemerintah dan pasar.
Pasar dianggap gagal
memberikan lapangan pekerjaan yang membawa masyarakat pada kesejahteraan.
Mereka cenderung mementingkan market dan penambahan kapital. Hal ini berdampak
pada kesejahteraan nelayan karangsong. Relasi kekuasaan dari interaksi sosial
ini kemudian menumbulkan berbagai konflik kepentingan, baik masyarakt di
tataran mikro atau Negaran dan Pasar pada tataran makro. Dampaknya bermuara
semua ke masyarakat, civil menjadi
korban dari pertikaian dan konflik kepentingan ini. Adapun negara dan pasar
berdamai, itu semata-mata akibat adanya kepentingan yang memeiliki kapital
material. Masyarakat pada tataran makro hannya menjadi korban. Anehnya mereka sulit
melawan, dan kemudian mencari ruang sosial yang sekiranya bisa melepaskan
dahaga phiscologis dan ekonomi mereka
yang begitu penat.
Negara dipandang tidak bisa berbuat apa-apa, akibat
sumber keuangan yang terbatas sehingga cenderuh hannya bantuan yang sifatnya
sementara. Negara Indonesia juga diharapkan tidak hannya mencari citra pada
Negara maju –dengan meninabobikan market,
tetpai juga harus memperhatikan dampak ekologi dan kebudayaan masyarakat
pesisir. Karena bagaimnapun juga pembangunan tidak memiliki makna universal,
jika tidak membangun dirinya sendiri, melainkan hannya pada pembangunan sesuatu
yang dalam kasus ini adalah kehasan ekologis tertentu.
Selanjutnya
tulisan ini juga menjelaskan bagaimana posisi civil dalam terbentuknya civic space sebagai ruang baru nelayan. Baik itu nelayan sendiri selaku civil society, pasar (market)
atau Negara. Masing-masing memiliki peran dan kontribusinya sendiri dalam
menghidupkan perekonomian.
Terakhir
tulisan ini akan menjelaskan bagaimana ruang kewargaan nelayan yang real dan
bisa dinikmati sebagai satu yang dimiliki bersama. Ruang ini kemudian menjadi
tempat berbagi dan melahirkan solidaritas ditingkan nelayan kecil. Karen abagai
manapun juga pelabuan karangsong juga memiliki klasifikasi kapal yang juga
menentukan jumlah pendapatan dan lamanya berlayar, ada juga pembagian kerja
yang jelas untuk kapal yang lebih modern. Solidarita ini terbentuk dilaut dan
menjadi satu ikatan emosional yang sangat hangat sehingga pelabuan sendiri
memiliki nilai yang sangat penting bagi nelayan.
Salah satunya dalam tingkatan nelayan adalah dengan budaya minum alkohol dan
dandutan, hal ini di anggab sebagai pelepas dahaga dan jamu bagi mereka agar
mereka bisa bekerja kembali dengan baik, atau semat-mata untuk melepaskan
tekanan yang ada dalam diri mereka. Bagi
mereka itu semua bukan hura-hura, minuman atau dandut keliling yang mereka
peroleh semua dari patungan bahkan ikan sisa yang ada dikalap kerap kali
ditukar untuk dibelikan minuman. Relasi civil
socety pada tataran micro, peopel vis
peopel tidak begitu ketara. Kebersamaan ditataran ABK (anak buah kapal)
sangat kuat dan kental, bahkan menimbulkan Solideritas organik (Emil Durkehim).
Justru kontestasi dan perebutan ruang sosial lebih banyak di laut itu juga
dengan nelayan-nelayan nusantara, bukan sesama nelayan Song. Disini munculah konsep viesta extravaganza nelayan dan
ruang kewargaannya guna melupakan sejenak tekanan ekonomi dan memuaskan dahaga
phiskologisnya.
Untuk
data tambahan sebagai temuan lapangan akan dideskripsikan tentang bagaimana
ekosistem dipelabuan dan lautan. Dalam temuan lapangan terlihat bahwa aktifitas
kapal-kapal besar dan PT.Pertamina berpengaruh pada ekositem yang ada di
karangsong dan menimbulkan degradasi lingkungan yang berakibat pada matinya
usaha petani tambak. Selain itu akan di jelaskan juga bagaimana usaha-usaha
perbaikan lingk,ungan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahan desa.
Degradasi lingkungan berdampak pada nelayan tambak, dimana nelayan tambak
mengalami pasang surut dalam mencari penghasilan akibat akitifas nelayan kapal besar/modertn.
Dulu dalam sehari petani tambak bisa menghasilkan udang atau kepiting 3 kg
perhari, sekarang sudah tidak lagi. Ini akibat aktifitas kapal besar yang
sering melakukan pencearan lingkungan seperti membuang oli sembarangan dan
putaran kipas kapal besar yang membunuh telur-telur udang dan biota disekitar
pantai, akibatnya penghasilan petani tambak berkurang akibat siklus alamiah
–modal alamnya rusak.
Selain itu aktifitas pabrik
pertamina menyumbang dampak yang besar terhadap berlangsungnya kehiduan petani
tambak. Plangton/makanan ikan pergi
atau mati akibat aktifitas pabrik pertamina. Sekarang petani tambak harus
membeli pangan ikan bandengnya. Sebelum masuknya kapal-kapal besar dan
berdirinya PT.Pertamina, petani tambak hannya memberikan makan ikannya sebanyak
2-3 kali dalam 1 bulan. Sekarang hampir tiap hari patani tambak harus
memberikan makan ikannya, ditambah lagi harga pangan ikan dirasa cukup mahal.
Usaha usaha yang dilakukan masyarat dalam memperbaiki lingkungan terbilang
cukup baik dan menarik, dimana merak berusaha melakukan penanaman pohon
disekitar pantai untuk menambah kelestarian pantai dimana perbaikan tersebut
berupaya merangsang pariwisata di karangsong.
Berbagai macam aturan dan upaya pelestarian
dilakukan, Karena bagaimanapun juga pantai, laut dan sungai selain menjadi
ruang lingkungan yang memiliki dampak kesehatan ia juga menjadi sumber ekonomi
bagi nelayan dan petani tambak, sehingga keberadaanya harus tetpa di jaga dan
dilestarikan. Sayangnya tidak semua memiliki kesadaran akan pentingnya laut,
sungai dan pantai, sebagai kapital-ekologi, kebanyakan mereka berorintasi
hannya pada nilai materialinya saja. Contohnya aktifitas meyarakat membuat
perahu besar dipinggiran sungai yang dapat menggangu aktifitas pengerukan dan
penggalian sungai dengan alat berat. Akibatnya pengerukan dan penggalian jadi
tidak maksimal. Juragan dan nakodah sering juga di undang dalam seminar dan
sosialisasi terail tingkunan, hannya saja Anak Buah Kapal sering tidak di
libatkan sehingga, sebaik apapun penyusunan program ABK hannya di jadikan
sebagai subejk dari pembangunan dan tidak memberikan nilai yang berarti bagai
lingkungan, karena bagaimanapun juga yang menjalankan pererjaan adalah ABK dan
buruh kapal.
Desa bersama lembaga Pantai lestrai berusaha
memberdayakan potensi alam dengan tetap memperhatikan permasalahan ekologis
pantai. Akan tetapi peran dan dinergisitas ataran civil society kurang berjalan baik, sehingga bembangunan terkesan
asimetris. Harapannya usaha malukukan perbaikan ekosistem di desa karangsing
ini kemudian berdampak pada masyarakat into sendiri, terutama untuk ia yang
memang menggantungkan nasipnya dengan lingkungan yang baik dan sehat.
Penelitian ini
selain mengkaji konsep civic space,
baik konflik dan bentuk civic space-nya
penelitian ini juga mencoba melihat dampak ekologis yang terjadi dan usaha
pelestariannya sebagai data tambahan. Akan tetapi focus penelitiannya adalah civic
sepace dan ruang kewargaan nelayan pesisir Karangsong Indramayu.
Sumber Referensi
Buchanan, Robet Angus. (2006) “Sejarah Teknologi,” Yogyakarta: Pall Mall
Hettne, Bjorn. (2003), “Teori Pembanunan dan Tiga Dunia,”
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Mitchell, Bruce. B. Setiawan dan Hadi Rahmi, Dwita, (2003) “Pengelolahan Sumber Daya Lingkungan,” Jogyakarta : UGM Press
Daniere,
A dan Douglass, M. (2009). “Urbanization
and Civic
Space in Asia”. Dalam A.
Daniere M. Douglass (Eds.). The Politics of Civic
Space in Asia: Building Urban Communities. New York: Routledge.
Dwi Sosilo, Rachmad K. (2012), “Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam”, Ar-Ruzz Media: Jogyakarta
Emil, Salaim, “Membangun Keberlanjutan Pemabngunan”
dalam pidato penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX Tahun 2003, 20
desember 2003. Hlm 6-9
Emil, Salaim. “Ratusan
Bangsa Merusak Satu Bumi” Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Fakih dalam noam Chomsky, (2001), “Amerika Serika Dan Dunia Ketiga Pasca Perang Dingin” Dilli: Sa’he
Institute for liberation
Fatchan, 2004, “Teori-Teori
Perubahan Sosial: Dalam Kajian Prespektif Dan Empiric Pada Proses Pembangunan
Pertanian,” Surabaya: Luftansah Mediataman
Van Klinken, Gerry, 2007, “Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi Di Indonesia,” KITLV dan Yayasan Obor
Indoneisai: Jakarta
Habermas, Jürgen “The Public Sphere”, dalam C. Mukerji dan M.
Schudson (eds). 1991. Rethinking Popular Culture. Berkeley: University
of California Press.
Harry, Hikmat, 2006 “Strategi
Pemberdaaan masyarakat” Bandung: Humaniora Utama Press
Jim ife dalam Zubaedi, 2008 “Wacana Pembanguan Alternative: Ragam Perspektif Pembanguan dan Pemberdayaan
Masyarakat,” Jogyakarta : Ar-Ruzz media
Ichsan, Malik, (2003) “Menyeimbaknan
Kekuasaan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik Sumber Daya Alam,” Jakarta: Yayasan Kemala
Ramli, Soehatman, (2010), “Pedoman Praktis Manajemen Bencana,” Jakarta; Dian Rakyat
Sunirtiningsih, Agnes (Ed.), (2004), “Strategi Pemberdayaan Masyarakat” (Yogyakarta: Aditya Meida dan Jurusan Sosaitri, FISIPOL UGM)
Edi D.
Suharto 2005 “Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat” hlm 59
Sukehiro hasegawa dalam FUWA Yoshitaro, (2001) “Evolving concepr of peace bulding: natural Resource Management for
Conflict Prevention” Tokyo: FASID
Hadi, Malik dan Widjajanto, andi. (2007) “Disintergarasi Pasca Orde Baru: Negara.
Konflik Lokal
Dan Dinamika
Internasional,” Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Purba, Jonny (Ed), (2002), “Pengelolahan lingkungan Sosial,” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Yusuf, Maftuchhah (2000), “Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan,” Jogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi Pendidiakan
[1] Mahasiswa Program Studi
Sosiologi Pembangunan, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Jakarta Angkatan 2009
1 komentar:
tulisan ini masih dalam proses pengembangan, tunggu publis selanjutnya ;)
Posting Komentar