Oleh : AT. Alkhudri An – Nawawi III., M.Si
Makna Esensial Ramadhan
Fenomena Ramadhan selalu menghadirkan nuansa dan pernak-pernik yang menarik untuk dikaji. Tak mengherankan jika
Ramadhan menjadi komodifikasi yang sangat laku di pasaran. Sebab Ramadhan hadir dalam
wujud dialektis antara wahyu Tuhan (puasa) dengan nilai-nilai budaya
masyarakat. Antara entitas yang sakral dengan bungkus yang profan. Antara
penghambaan ilahiyah dan kesadaran sebagai manusia. Dalam konteks inilah
entitas yang sakral (puasa, tarawih, dan lainnya) memiliki peranan penting
sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama. Makna yang
tentunya berimplikasi kualitatif. Dan, makna yang tidak sekedar berdimensi
teologis semata. Karena hakikat berpuasa bukan sekedar ritual keagamaan, tetapi
juga menghadirkan nilai-nilai kesadaran, hidup toleran dan kebersamaan yang
relevan dengan nilai-nilai kebangsaan dan semangat kemerdekaan yang dalam
kondisi nyata saat ini tengah rapuh, mencair, dan kian tercerabut.
Pada titik ini ibadah puasa diharapkan benar-benar
dilakukan dengan sebaik-baiknya, imanan wahtisaban, agar puasa yang kita
lakukan dapat mengurai problematika bangsa yang kian kompleks. Dari
demoralisasi individu hingga sosial, dari korupsi hingga konflik, baik yang
bersifat horizontal (komunal-sosial) maupun vertikal (politik) yang terjadi
hampir di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian substansi ibadah puasa
memiliki implikasi reformatif bagi perilaku dan moralitas kita sehari-hari. Ini
sungguh penting, karena Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita dalam salah
satu haditsnya bahwa, "Sekian banyak orang menjalankan puasa, tetapi
mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".
Berangkat dari hadits tersebut, Hujjatul Islam Imam
al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin-nya, kemudian membagi tingkat puasa ke
dalam tiga kualifikasi. Pertama, puasa am, yaitu puasa yang
dilakukan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan seks. Kedua, puasa
khash, yaitu puasa yang dilakukan selain dengan menahan diri dari ketiga
hal di atas, juga menjaga penglihatan, pendengaran, dan ucapan yang berbau
maksiat. Ketiga, puasa khawasul khawas, yakni puasa
yang dilakukan bukan hanya menahan diri dari ketiga hal pertama dan kedua,
tetapi diikuti juga dengan menjaga suasana hati atau batin dari hal-hal yang
rendah, demoralisasi, berorientasi materialis, dan berbagai kecenderungan hati
yang destruktif-anarkis. Di sini, pastinya kita ingin menjalankan ibadah puasa
dengan kualitas khawasul khawas. Yakni puasa yang memiliki makna
kualitatif. Puasa yang membawa berkah bagi kita semua sesuai dengan janji Allah
Swt dan Hadits Nabi Muhammad Saw. ”berpuasa akan bermanfaat secara
biopsikososial berupa sehat jasmani, rohani dan sosial (al-hadits)."
Konsekuensi logis puasa kualitas khowasul khawas
secara moral di antaranya adalah pemaknaan yang mendalam terhadap hakikat
kesadaran. Dan, kesadaran secara kontekstual hanya akan terbentuk melalui
jiwa-jiwa yang
mampu memahami makna spirituality dalam
kehidupan sehari-hari. Di sini, puasa
mengajarkan kita untuk senantiasa menjadi hamba yang sadar akan eksistensi diri
dan peka terhadap kehidupan sosial, selain bentuk penghambaan kepada Tuhan.
Oleh karena itulah term takwa (Q.S. 2: 183) menjadi terminal akhir ibadah puasa. Di sinilah dimensi teologis puasa
bertemu dengan dimensi sosiologisnya. Di mana ibadah puasa diharapkan mampu
menjadikan pelakunya melihat dan membuka nuraninya untuk membenahi moralitas
bangsa yang semakin tercerabut.
Sosiologi
Profetik Ramadhan
Dengan demikian ibadah puasa di tengah masyarakat
kekinian, masyarakat yang tengah mengalami pemiskinan spiritual diharapkan
mampu menggerakkan seluruh potensi negara dan bangsa menuju Indonesia Baru yang
berkeadaban, etis, demokratis, dan egaliterian sesuai titah Tuhan. Melalui
pemahaman semacam ini, makna hakiki kemerdekaan dan nilai-nilai kebangsaan
disemaikan lewat ibadah puasa. Artinya puasa memberikan warna kepada kita
tentang makna terdalam kompleksitas hidup dalam universitas kehidupan. Pada
titik ini pula puasa merupakan amanah terbesar bagi kita untuk bangkit dari
segala keterpurukan dan ketidakadilan. "Puasa adalah amanah, hendaknya
setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR.
Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq)." Begitulah pesan Nabi Saw dalam salah satu hadits-nya.
Akhirnya semoga momentum ibadah Ramadhan dapat kita
jadikan sebagai momentum untuk berbenah diri, evaluasi diri, dan merefleksikan
diri, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa yang tengah mengalami
kerentanan (vulnerability),
kelesuan, keminderan dan kegairahan untuk membangun peradaban yang cemerlang.
Salah satu caranya adalah dengan memberanikan diri untuk melakukan lompatan
sejarah dengan memperbaiki sistem birokratisasi, politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan. Inilah titik temu makna puasa dalam dimensi sosiologi profetik.
0 komentar:
Posting Komentar