Rabu, 19 Juni 2013

“Pendidikan: Harus benar-benar”


            19 juni 2013, aku mengajar ngaji di pedongkelan. Langit kala itu tenang, setenang tengggelamnya surya di anatara sela-sela gedung. Pengajaran ngaji di mulai dari pukul 6.30 sampai 7.30 atau setelah masuk waktu isya. Aku datang lebih awal, kulihat beberapa anak sudah datang sambil bercanda ia menyapa kehadiranku “kakak, nanti ngaji tidak?”, dengan senyuman aku menjawab “ngaji donk, ayo panggil teman-teman yang lain”.

Setelah azan magrib berkumandang aku mempersiapkan diri untuk sholat berjamanah di musholah dekat dengan tempat mengajarku. Setalah selesai melaksanakan sholat aku dan pepe -pengajar ngaji dari pedeongkelan, menyiapkan barisan meja untuk anak-anak yang hendak belajar membaca iqro dan Al-quran di IC (Isalam Cemerlang), setelah memisahkan antara barisan putra dan putri -seperti biasa barisan putri jauh lebih tertib (ini menjadi pertannyaan kita bersama?) kami pun memulai mengajar, aku mengajar murid putra dan pepe mengajar murid putri. 

Satu-persatu baris mengahadap meja, secara bergiliran mereka mengantri membaca, setelah beberapa anak yang sudah membaca iqro dengan ku, aku bertemu dengan murid yang memberikanku pelajaran baru, dari awal aku sudah mengamatinya karena sebelumnya ia sempat menunjukan kekesalannya padaku, ia merasa aku terlalu lama mengajar anak yang lain, seolah tak sabar untuk meneguk segelas pengetahuan baru, ia merenge agar aku segera mengajarkannya membaca. Point positifnya adalah, ia memiliki semangat belajar yang tinggi. 

Kemudian giliran ia membaca, dengan segera ia langsung membaca basmAllah tanpa ku perintahkan, ketika itu ku perhatikan apa yang ia baca, banyak kata yang salah dan ku coba membantunya membaca, tetapi setelah ku ikuti ia memang tidak menguasai bacaan, dan ku potong bacaannya, ku coba bertannya dengan nada tegas padanya “kamu sudah iqro berapa de?” Ia menjawab “5 ka”, dengan sepontan teman disebelah mejanya berkata “bohong ka, ia harusnya iqro 3”, aku berfikir sejenak dan muncula dugaan bahwa anak ini sengaja membaca iqro di longkap agar cepat selesai dan langsung membaca Al-quran, menurutku perbuatan seperti itu sangat merugikan diri sindiri, karena bukan nilai kualitas yang ia dapat, tapi sekedar cepat-tidaknya ia menuju Al-quran.

Kemudian aku memcoba mengerti dan menurunkan bacaannya menjadi iqro 3, bacaanya yang sudah ia baca setangah ku tinggal dengan begitu saja, sepontan ia marah pada aku. Kemudia aku berkata “kamu mau bisa atau sekedar baca de?, kamu punnya adik kan? Ia menjawab “Ia ka, adik ku TK”, “Nah jadi kamu harus benar-benar bisa, nanti klo adikmu tidak bisa siapa yang mengajarkan?” jawabku, ia hannya diam, kemudia aku bertannya lagi padanya sambil merendahkan kepala ku “Namamu siapa?”, dia diam dan kemudian menjadwab “Ausah ka”, baru kali ini sepenjang aku mengajar ada anak ditannya namanya tidak tau dan ia bilang susah, dan kemudian ia berkata lagi “tannya dia saja ma dia” sambil menunjuk temannya, kemudian aku mencoba sabar, dan kurasa anak ini seolah mengajakku bercanda, dan ku tekankan nadaku sedikit keras “de,, kakak tannya serius” dan kemudian ia menjawab “naman ku Irfal”, agak sedikit tak jelas kedengarannya, dan ku minta ia mengulanginya lagi dan ia hannya diam, kemudian temannya mencoba menbantu ku dan berkata “namanya Irfal ka” dengan tegas. Dan ku suruh lagi ia menyebutkan namanya, dan kemudian ia menjawab “IRFAL” dengan keras dan agak kesulitan. Kemudianan aku menyimpulkan bahwa anak ini cadel atau memiliki perbedaan dengan anak yang lain dalam hal mengucap huruf R dan L –waduh harusnya orang tuanya mengganti namanya ini karena nama anak ini memiliki unsur R dan L nya. Aku mencoba memahami anak ini, mungkin memang tidak bisa mengucap kalimat dengan baik ketika memabaca dan seolah bagi ku itu semua salah. 

Kemudian barulah aku mengerti dan mencoba mengajarkan dengan benar, benar-benar mendengar, benar-benar merasa dan benar-benar melihat, karena bagi ku ia butuh bimbinan lebih ekstar ketimbang anak lain, untung aku bisa menjaga emosiku yang dari awal ia sudah buat ku kesal, kemudia ku coba ia megulang iqro 3, ku suruh ia membaca bagian akhirnya saja untuk mengukur sejauh apa ia hafal, ternyata ia hannya bisa sampai DO, dan ku ulang terus menerus. Kemudia ku motifasi ia, “irfal, kamu mau bisa baca al-quraan nga de? kamu mau bisa ngajarin adik mu nga?” ia menjawab, “mau ka” dengan malu-malu. Kemudian aku menganjurkan ia membaca iqro 4, sebagai gantinya dengan harapan ia bisa memabaca lebih baik lagi ketika di iqro 5. Ku motivasi ia lagi, “besok kita belajar lagi ya de, tetep semangat ya, nga apa-apa kamu turun bacaannya, yang penting kamu bisa, biar nanti bisa baca al-quaran” ujar ku. Dengan senyuman bah kembang melati yang baru mekar, ia menjawab “ia, ka mau, besok baca lagi ya”.

Secara teori, kita lahir dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan yang berbeda, bahkan anak yang dari satu rahimpun bisa berbeda sifat. Hal ini yang harus dipahami oleh seorang guru, agar ia bisa benar-benar mengajar dengan metode yang tepat, sejatinya tiap kita berbeda. Kita tidak bisa memaksa terus murid kita dengan setandar dan ukuran kita. Guru harus bisa melihat kemampuan muridnyanya, bakanya, kelemahannya dan menggali potensinya dengan catatan tidak mendeskriditkan ia sebagai mahluk yang statis –tetapi dinamis dan berkembang.  Bagi ku guru bagaikan tukang padai besi, baik-buruknya, tajam-tidaknya dan indah-jeleknya besi yang ia buat, tergantu sejauh apa ia kteratif fan terampil, dan yang terpenting melihat. Guru harus benar-benar melihat, mendengar dan merasa. Bahkan kita tidak bisa men-just murid salah dalam hitungan detik, sekalipun kita memiliki kemampuan sosiologi atau phiskologi.

Dengan mencoba mengeri lebih murid kita lebih dalam, kita bisa menjadi guru yang baik dan memberikan ia makna pendidikan yang sejati. Karena kita adalah GURU.

0 komentar:

Posting Komentar