Dr. Linda Darmajanti, MT
Pengantar
Sejak Sosiologi dan Antropologi
dijadikan mata pelajaran ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMU), maka di tingkat Perguruan Tinggi dirasakan
adanya kesenjangan pemahaman pemberian mata ajar ini. Kesenjangan dirasakan
baik dari materi ajar, pemahaman konsep-konsep dasar dan metode pengajaran yang
digunakan. Berbagai faktor utama yang mengakibatkan kesenjangan ini terjadi
antara lain di tingkat SMA : (1) Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
mengajar mata ajar Sosiologi dan Antropologi; (2) Keterbatasan ruang untuk
mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengintegrasikan kesinambungan materi yang
diajarkan; (3) Keterbatasan pemahaman mata ajar Sosiologi dan Antropologi
sebagai ilmu yang harus diajarkan ditingkat dasar (basic) dan lanjutan (advance)
sesuai dengan kompetensinya; (4) Keterbatasan melakukan intervensi pada
pihak-pihak pemangku kepentingan yang terlibat (regulator), seperti penerbitan
Buku Ajar dsb. Sampai saat ini berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi
kesenjangan yang selama ini menjadi isu dan belum dikelola berbagai pihak yang
berkepentingan. Isu ini semakin kuat setelah mata ajar Sosiologi dan
Antropologi masuk kedalam mata ajar yang diujikan di Ujian Nasional (UN).
Keprihatinan ini sudah sejak lama muncul,
namun berbagai kendala menjadi hambatan baik dari pengelola di tingkat Perguruan Tinggi maupun di tingkat SMU,
apalagi pada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders). Seharusnya pemerintah sebagai regulator harus ikut
mengatasi masalah ini baik di tingkat perencanaan kurikulum, proses perumusan kebijakan
sampai di tingkat praktis. Aturan main yang dijalankan harus jelas karena mata
ajar ini akan memberi bekal pengetahuan dan membangun karakter penting bagi
siswa, serta awal belajar dan
mempelajari tata-prilaku dalam kehidupan sosial.
Di tingkat makro perubahan
kebijakan kurikulum tidak diikuti oleh upaya-upaya untuk mengintegrasikan
berbagai pihak yang terlibat, Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai lembaga
pendidikan, penulis buku ajar, penerbit, pemerintah daerah dsb. Sehingga
kesenjangan ini semakin terasa dan dampak yang paling buruk adalah sasaran utama
terhadap siswa tidak tercapai. Bahkan yang paling buruk adalah berbagai konsep-konsep
dasar Sosiologi dan Antropologi difahami dan diajarkan tidak sesuai dengan
metode ajar yang berbeda-beda. Seminar ini adalah awal dari upaya untuk
memperbaiki dan mengurangi keprihatian semua pihak. Forum-forum seperti ini
penting untuk dilanjutkan sebagai wadah komunikasi dari semua pemangku
kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan tinggi maupun menengah
atas.
Sebaliknya ditingkat yang lebih
mikro dan praktis forum seperti ini bisa terus berjalan dengan kerjasama dan
partisipasi pemangku kepentingan di wilayah masing-masing (Kabupaten /Kota).
Sasaran utama adalah perbaikan kualitas proses pembelajaran Sosiologi dan
Antropologi baik ditingkat SMA maupun Perguruan Tinggi dimasing-masing program
studi. Mulai dari rancangan kurikulum sesuai kompetensi, kualitas bahan ajar
(buku yang digunakan), pemahaman materi ajar, evaluasi (pembuatan kisi-kisi soal), metode
pengajaran, dsb. Meskipun dengan keterbatasan yang ada metode Teaching Centered Learning (TCL) sudah
lama harus ditinggalkan dan sudah saatnya memperbaiki pendekatan fokus terhadap
siswa atau Student Centered Learning
(SCL).
Makalah ini berupaya untuk mengkaji
kembali kurikulum Sosiologi dan Antropologi trahun 2013 dari aspek kompetensi
dan SAP-Silabus yang diberikan bagi siswa SMA (sesuai ToR panitia
penyelenggara).
Kurikulum
2013 Sosiologi dan Antropologi
Secara umum diuraikan tujuan dari
kurikulum 2013 yaitu menumbuhkan kesadaran, kepekaan dan penghayatan dalam
menyikapi dan merespon berbagai keberagaman peristiwa/gejala sosial
budaya dengan menggunakan prinsip-prinsip kesetaraan dalam rangka
membangun masyarakat multikultur. Mengembangkan kompetensi dalam menerapkan
konsep-konsep dasar sosiologi dan antropologi sebagai ilmu dan metode serta mengkomunikasikannya
ke berbagai media. (Sosiologi dan Antropologi SMA_121212).
Jika dicermati dari tujuan di atas
maka tidak mudah bagi siswa maupun guru Sosiologi dan Antropologi dalam
pencapaian tujuan tersebut. Bagaimana prinsip-psinsip kesetaraan diharapkan
guna membangun masyarakat multikultur. Belum jika kita kembali pada SDM
guru-guru SMA yang tersedia. Secara rinci bagi anak kelas X, khususnya butir 3
dan 4 dimana mahasiswa kompetensi inti : butir 3
memahami,
menerapkan pengetahuan konseptual, faktual, prosedural dalam ilmu pengetahuan
teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusian, kebangsaan,
kenegaraan dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan..........
dengan kompetensi dasar :
mendeskripsikan
peran dan fungsi ...... menerapkan konsep dasar.....mendeskripsikan proses
internalisasi nilai-nilai dan norma sebagai pembentukan dasar kepribadian dan dasar membentuk
hubungan......mengkaji adanya berbagai bentuk perilaku menyimpang..........
butir 4
mengolah,
menalar, dan menyajikan dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan
dari yang dipelajari di sekolah secara
mandiri dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah kelimuan.
Kompetensi dasar :
menyusun
rancangan penelitian sederhana tentang kehidupan sosial budaya dalam
masyarakat....mengolah data....sampai mampu mengkomunikasikan melalui berbagai media.....
Untuk siswa kelas X kompetensi inti
dan dasar cukup berat, khususnya bagi guru yang dituntut mampu menunjukkan
langsung dalam kehidupan sehari-hari (role
model), lebih penting dari sekedar mengajarkan. Apalagi jika mengkaji lebih
dalam untuk butir ke empat, siswa diharapkan mampu melakukan penelitian sampai
mengolah data bahkan mengkomunikasikannya ke media massa. Kompetensi dasar ini
kemudian didukung dengan mengajarkan metode penelitian yang diajarkan dalam 4
bab tersendiri dalam buku Sosiologi dan Antropologi. Di perguruan tinggi
mahasiswa dituntut untuk melakukan penelitian mulai merancang dan mengolah
data, menulis laporan penelitian serta mengkomunikasikannya dibimbing secara
intensif selama 6 bulan. Penelitian sosial budaya adalah bentuk pengayaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan oleh sebab itu harus sesuai dengan kaidah ilmu
pengetahuan. Etika penelitian menjadi suatu hal penting untuk
membangun kebenaran atas peristiwa empirik yang terjadi di masyarakat. Proses
yang harus dilakukan secara sistimatik sesuai dengan metode ilmiah menjadi
dasar hasil akademik suatu penelitian dalam Sosiologi dan Antropologi sebagai
ilmu.
Kompetensi inti dan dasar dari
kelas X, belum untuk kelas XI dan XII, semakin berat dan tidak mudah dilakukan
dalam proses belajar mengajar di SMA. Kemampuan untuk mendeskripsikan ketimpangan sosial, merumuskan langkah-langkah antisipatif
bahkan bersifat intervensi bahkan
sampai menemukan strategi untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Indonesia di
tengah-tengah arus globalisasi. (Sosiologi dan Antropologi SMA_121212).
Pada butir keempat, silahkan untuk direnungkan bagaimana siswa diharapkan
mampu,
merancang
rencana aksi yang sudah bersifat intervensi, melaksanakan, mengekspose, membuat
laporan hasil kegiatan kepedulian sosial.
Dalam rumusan tersebut di atas
menjadi renungan bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses belajar
mengajar baik ditingkat mikro (relasi dalam institusi pendidikan) sampai
ketingkat yang lebih makro, khusunya kebijakan dalam bidang pendidikan mulai
dari dasar-menengah dan atas. Bahkan di
Perguruan Tinggi yang mengajarkan Sosiologi dan Antropologi sebagai ilmu
yang menghasilkan Sosiolog dan Antropolog memiliki kompetensi sesuai dengan
generik ilmunya yang harus bekerja di masyarakat secara profesional (standar
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia).
Konsep-konsep
Dasar Sosiologi dan Antropologi
Jadi dapat dibayangkan jika
kemudian diminta untuk mengkaji isi dari sap-silabus yang harus diajarkan guna
pencapaian kompetensi inti dan dasar dalam Kurikulum SMA 2013. Sosiologi
sebagai ilmu bukan common-sense
berpikir menurut akal sehat tetapi justru yang diajarkan yang beyond common-sense. Konsep-konsep dasar yang diberikan sebagai
contoh kajian yang bisa didiskusikan adalah :
Tindakan
Sosial (paradigma dalam sosiologi)
Tindakan sosial bukan hanya sekedar
konsep dasar tetapi merupakan paradigma berpikir dari Max Weber. Diperlukan
kemampuan untuk menjelaskan pemikiran tokoh sosiologi dengan contoh-contoh,
agar mudah difahami oleh siswa. Pemahaman paradigma sosiologi diawali dari
perkembangan Sosiologi sebagai ilmu, disamping paradigma-paradigma lain seperti
fakta sosial dari Emile Durkheim. Tindakan sosial sebagai paradigma tidak dapat
diartikan sebagai konsep tentang bagaimana orang bertindak secara sosial.
Kemudian Tindakan Sosial diajarkan sama dengan mengajarkan konsep-konsep dasar
lain diantaranya Relasi Sosial, Interaksi Sosial, Realitas Sosial. Sistimatika
Sosiologi dan antropologi sebagai suatu Ilmu menjadi tidak sistimatik, tentu
akan membawa dampak serius dalam menerapkannya dalam kehidupan sosial.
Konsep
dasar dalam Antropologi diberikan mulai dari konsep Kebudayaan, seolah-olah
kebudayaan bukan konsep dasar dalam Sosiologi. Dalam memberikan konsep-konsep
dasar Sosiologi dan Antropologi ada konsep-konsep yang diajarkan dalam
Sosiologi dan Antropologi. Sebagai Ilmu Pengetahuan, Sosiologi dan Antropologi
memiliki kajian utama yang harus diajarkan memiliki generik ilmu yang
berbeda. Perbedaan generik yang harus jelas diajarkan sejak awal jika ilmu ini
akan diajarkan muali dari tingkat pendidikan menengah atas. Sebagai ilmu
pengetahuan tentu Kerangka Berpikir Sosiologi dan perkembangan ilmu berbeda
dengan Kerangka Berpikir Antropologi, dan kesamaannya sebagai ilmu yang belajar
tentang manusia dan masyarakat. Konsep dasar bisa mulai dengan generik ilmu
seperti yang dikemukakan oleh T.O. Ihromi seorang antropolog Indonesia sejajar
dengan Selo Soemardjan (Sosiolog), Ilmu yang mempelajari tentang manusia.
Memahami semua sifat-sifat manusia yang telah sirna di
bumi ini, tinggal di pedalaman berbagai benua dunia yang telah
rumit sekali cara hidupnya (Ihromi).
Sebaliknya
Sosiologi adalah a systematic study of
social behaviour ( Macionis, 2007), selanjutnya dikenal sebagai ilmu yang
mempelajari tentang struktur sosial, proses sosial, kelompok sosial, lembaga
sosial dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Konsep- konsep dasar
tentang masyarakat antara Sosiologi dan Antropologi tentu tidak berbeda dalam
konteks tertentu seperti tentang Kebudayaan, Norma dan Nilai-nilai sosial,
Lembaga Sosial, proses sosial dalam kebudayaan yang terkait dengan proses Sosialisasi,
Asimilasi, Akulturasi, dan sebagainya. Sebagai ilmu sosial dan humaniora tentu
memiliki batang ilmu yang sama (filsafat) dan berkembang sebagai cabang ilmu
pengetahuan, ada arsiran yang sama terutama pada konsep-konsep dasar. Untuk
Sosiologi dan Antropologi, konsep-konsep dasar penting sama dan digunakan untuk
kajian masalah-masalah sosial dengan keranga berpikir yang berbeda.
Kebudayaan
Manusia
sebagai mahluk budaya diuraikan sebagai konsep dasar secara komprehensif baik
adri unsur, terbentuknya kebudayaan dari berbagai pakar Antropologi dan ada
yang dimulai dari Maslow. Kemudian berbagai pengertian lain disejajarkan dengan
konsep kebudayaan antara lain, Pengetahuan, Tradisi, Teknologi, Ilmu, Norma,
Lembaga, Seni dan Bahasa. Konsep-konsep dasar dikaji sebagai konsep dasar
Antropologi padahal konsep-konsep dasar ini menjadi konsep dasar dalam
Sosiologi. Harus hati-hati meletakan konsep dasar dalam konteks kajian ilmu
pengetahuan (sciences). Jika
penguasaan kedua ilmu ini tidak “baik” maka akan mengalami kesulitan
menyampaikan pemahaman dalam proses belajar mengajar (transfer of knowledge). Kemudian Indonesia sebagai masyarakat yang
majemuk, pemahaman konsep-konsep dasar akan sangat terbantu apabila mampu
memberikan contoh-contoh yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang
tepat akan sangat membantu siswa untuk memahami konsep dasar, untuk itu
diperlukan wawasan yang luas dan kemampuan untuk menjelaskan. Kesalahan
memberikan contoh atau perumpamaan akan berakibat fatal dalam memberikan pemahaman
konsep dasar, sebagai contoh konflik sosial diumpamakan sebagai sayur lodeh
(dalam salah satu buku ajar Sosiologi). Bagi saya tidak jelas bagaiman
menjelaskan contoh tersebut. Tokoh-tokoh masing-masing pakar ilmu juga harus
jelas baik yang ada di dunia Barat sebagai pelopor maupun tokoh di Indonesia.
Penutup
Kritik
utama yang paling mendasar terhadap konsep-konsep dasar Sosiologi dan
Antropologi adalah pada kompetensi dasar dan inti yang terlalu “berat” bagi
siswa kelas X SMA. Tidak salah jika SAP-Silabus yang diberikan berupaya untuk
memenuhi kompetensinya. Kompetensi seharusnya terintegrasi dan berjenjang
sesuai dengan tingkat pendidikan. Untuk
kelas X, konsep-konsep dasar Sosiologi dan Antropologi sebaiknya pada
tahap memperkenalkan apa itu Sosiologi dan Antropologi dan mengapa harus
diberikan di SMA ? Pertama, solusi internal terkait proses belajar mengajar
fokus pada sistem pendidikan. Ada 3 komponen penting dalam sistem pendidikan
yaitu[1]
: (1) the content of the curriculum;
(2) the mode of delivering this
curriculum to students;(3) the
assessment of performance. selain
isi dari kurikulum cara menyampaikannya kepada siswa juga sangat penting. Di
bawah ini dapat dilihat pergeseran dari model tradisional ke model belajar
berdasarkan masalah (PBL).
Model pendekatan tradisional
digantikan dengan proses belajar yang menggunakan skenario- skenario dalam
dunia nyata (real-world). Pemahaman
konsep-konsep Sosiologi dan Antropologi sangat tepat jika digunakan metode PBL,
pemahaman siswa diperoleh dari belajar aktif serta dari lingkungan sehari-hari
siswa itu sendiri. Kondisi ini menjadi lebih kondusif karena ditunjang oleh
kemajuan teknologi komputerisasi. Tingkat kompetensi inti dan dasar dapat
diturunkan namun pencapaian sasaran pembelajaran dapat terpenuhi. Baik siswa
maupun guru sebagai fasilitator/mediator akan memperluas wawasan secara aktif
dan mandiri.
Kedua secara eksternal, masalah ini
harus ditindak lanjuti dengan merumuskan kembali secara vertikal dan
terpadu Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sesuai dengan profil lulusan
SMA yang akan dihasilkan. Hal ini guna menghindari pengenalan konsep-konsep
dasar di SMA yang terlalu “berat” dibandingkan dengan yang akan diajarkan
di pendidikan lanjutan (PT). Cakupan
pelajaran Sosiologi dan Antropologi di tingkat Program Studi Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi lebih “advance”
dibandingkan dengan di SMA. SAP dan Silabus harus mengikuti tuntutan
rumusan kompetensi baik inti maupun
dasar.
Acuan
Pustaka
Onn-Seng
Tan, Problem-based Learning Innovation,
using problems to power learning in the 21 st century. Singapore : Thomson
Asia Pte ltd, 2003.
Lynda,
Wee Keng Neo, Jump Start Authentic
Problem, Based Learning. Singapore : Pearson Education South Asia Pte Ltd,
2004.
Kompetensi
Inti dan kompetensi Dasar Kurikulum 2013
Buku-Buku
Pegangan Sosiologi dan Antropologi untuk kelas X dan XI
Kumpulan Kebijakan dan Peraturan Sistem Pendidikan
di Indonesia terkait Kurikulum Berbasis Kompetensi
0 komentar:
Posting Komentar