Ubedilah Badrun |
Akhirnya sejak 2 September 2015 ini secara terang benderang PAN
mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Sikap itu
mengkristral dari pernyataan Ketua umum PAN Zulkifli Hasan usai bertemu
Jokowi di Istana.
Berbagai media masa mengabarkan PAN telah bergabung dengan pemerintahan meski agak malu karena sambil menyatakan tidak otomatis bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KIH adalah sebutan koalisi pendukung Jokowi-JK saat Pemilu Presiden 2014 lalu. Koalisi yang pada waktu itu berseberangan dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang diikuti PAN, dimana PAN sebagai salah satu motor penting KMP pendukung Prabowo-Hatta. Lantas apa yang mungkin bisa dibaca dari pergeseran sikap PAN ini?
Berbagai media masa mengabarkan PAN telah bergabung dengan pemerintahan meski agak malu karena sambil menyatakan tidak otomatis bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KIH adalah sebutan koalisi pendukung Jokowi-JK saat Pemilu Presiden 2014 lalu. Koalisi yang pada waktu itu berseberangan dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang diikuti PAN, dimana PAN sebagai salah satu motor penting KMP pendukung Prabowo-Hatta. Lantas apa yang mungkin bisa dibaca dari pergeseran sikap PAN ini?
Motif PAN Mendukung Pemerintah
Hal
yang paling mudah dibaca dari pergeseran sikap PAN ini adalah dari
motif yang manifest (nyata, terucap) oleh Ketua umum PAN Zulkifli Hasan.
Ia mengatakan bergabungnya PAN dengan pemerintahan karena demi
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Situasi ekonomi global saat
ini mendorong PAN meyakini pentingnya kebersamaan dari seluruh elemen
masyarakat, partai politik dan elemen bangsa untuk mensukseskan
pemerintahan.
Motif tersebut memuat tiga makna penting. Pertama
motif mulia kenegaraan karena mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan kelompok, kepentingan koalisi dan kepentingan
partai politik. Motif etik kenegaraan adalah motif yang niscaya harus
dimiliki oleh politisi nasional ketika mengambil sikap politik maupun
memutuskan sebuah kebijakan publik.
Kedua, motif pragmatis. Dalam politik, motif ini sering juga disebut
motif transaksional, motif tentang kesepakatan melakukan apa dan
mendapatkan apa. Dari pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan motif
tersebut nampak dari pernyataanya mendukung pemerintah dan bergabung
dengan pemerintahan Jokowi-JK. Motif bergabung ini menunjukan kesediaan
PAN untuk menempatkan kadernya dalam kabinet. Kemungkinan PAN
mendapatkan kursi kabinet ini sangat tinggi karena akan ada kemungkinan
reshuffle kabinet jilid II.
Motif pragmatis ini juga dimungkinkan misalnya untuk penyelamatan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan terkait kesaksian Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Bambang Supijanto yang dimuat banyak media masa. Bambang Supijanto ketika di Pengadilan Tipikor mengungkapkan tentang peran mantan Mentri Kehutanan Zulkifli Hasan pada waktu itu, khususnya soal revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan 673 yang belakangan ternyata menjadi peluang terjadinya tindak pidana suap yang dilakukan Gubernur Riau nonaktif, Annas Maamun.
Ketiga, motif berdiri di dua kaki. Motif ini sering terjadi pada kelompok politik koalisi dalam sistem presidensil. Pada satu sisi suatu kelompok politik kadernya berada di kabinet untuk mendapatkan financial resource tetapi pada sisi lain kadernya di parlemen berseberangan dengan pemerintahan karena berkoalisi dengan kelompok politik lain.
Dalam konteks PAN ini nampaknya bisa seperti itu karena ada pernyataan bergabungnya PAN itu dengan pemerintah bukan dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Posisi 'dua kaki' ini tentu saja direspon negatif oleh konstituen PAN juga oleh partai partai yang ada di KMP, bahwa langkah PAN bergabung dengan pemerintah tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan KMP dinilai secara etika politik sebagai sikap yang tidak etis.
Motif pragmatis ini juga dimungkinkan misalnya untuk penyelamatan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan terkait kesaksian Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Bambang Supijanto yang dimuat banyak media masa. Bambang Supijanto ketika di Pengadilan Tipikor mengungkapkan tentang peran mantan Mentri Kehutanan Zulkifli Hasan pada waktu itu, khususnya soal revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan 673 yang belakangan ternyata menjadi peluang terjadinya tindak pidana suap yang dilakukan Gubernur Riau nonaktif, Annas Maamun.
Ketiga, motif berdiri di dua kaki. Motif ini sering terjadi pada kelompok politik koalisi dalam sistem presidensil. Pada satu sisi suatu kelompok politik kadernya berada di kabinet untuk mendapatkan financial resource tetapi pada sisi lain kadernya di parlemen berseberangan dengan pemerintahan karena berkoalisi dengan kelompok politik lain.
Dalam konteks PAN ini nampaknya bisa seperti itu karena ada pernyataan bergabungnya PAN itu dengan pemerintah bukan dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Posisi 'dua kaki' ini tentu saja direspon negatif oleh konstituen PAN juga oleh partai partai yang ada di KMP, bahwa langkah PAN bergabung dengan pemerintah tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan KMP dinilai secara etika politik sebagai sikap yang tidak etis.
Langkah PAN Merubah Peta Parlemen?
Sebelum PAN berubah sikap, KMP di DPR berkekuatan 258 kursi. Detailnya Golkar 91 kursi, Gerindra 73, PKS 40, PAN 48, dan PPP loyalis Djan Faridz 6. Sedangkan KIH hanya memiliki 241 kursi, dengan detail PDIP 109 kursi, PKB 47, NasDem 36, Hanura 16, PPP loyalis Romahurmuziy 33. Itulah sebabnya setiap voting KMP selalu menang. Dengan bergabungnya PAN, KIH bertambah kuat. Total kekuatan KIH menjadi 289 kursi, unggul jauh dari KMP yang tinggal 210 kursi. Kalaupun Partai Demokrat mendukung KMP, total kekuatannya hanya 271, masih kalah dari KIH.
Secara kuantitatif di atas kertas jumlah anggota DPR pendukung pemerintah (289) di atas kelompok oposisi (271) tetapi secara kualitatif dimungkinkan terjadi pergeseran karena dua hal. Pertama, jika PAN masuk kabinet, itu artinya ada kader partai lain yang harus diganti, dan pergantian itu memungkinkan adanya anggota parlemen dalam satu koalisi yang resisten.
Kedua, kemungkinan anggota parlemen dari KIH tidak satu suara, ini pernah terjadi pada koalisi pemerintahan SBY ketika DPR memutuskan perkara Bailout Century. Kemungkinan sebagian anggota DPR dari PAN tidak satu suara juga bisa terjadi mengingat posisi 'dua kaki' PAN antara yang ada di kabinet dan yang ada di koalisi oposisi. Dalam konteks itu, politik Indonesia mesti di pahami sebagai suatu dinamika kontestasi yang kompleks.
Dikutip dari:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/09/02/nu228z354-zulkifli-telah-lapor-ke-prabowo-terkait-sikap-pan-dukung-pemerintah
Sebelum PAN berubah sikap, KMP di DPR berkekuatan 258 kursi. Detailnya Golkar 91 kursi, Gerindra 73, PKS 40, PAN 48, dan PPP loyalis Djan Faridz 6. Sedangkan KIH hanya memiliki 241 kursi, dengan detail PDIP 109 kursi, PKB 47, NasDem 36, Hanura 16, PPP loyalis Romahurmuziy 33. Itulah sebabnya setiap voting KMP selalu menang. Dengan bergabungnya PAN, KIH bertambah kuat. Total kekuatan KIH menjadi 289 kursi, unggul jauh dari KMP yang tinggal 210 kursi. Kalaupun Partai Demokrat mendukung KMP, total kekuatannya hanya 271, masih kalah dari KIH.
Secara kuantitatif di atas kertas jumlah anggota DPR pendukung pemerintah (289) di atas kelompok oposisi (271) tetapi secara kualitatif dimungkinkan terjadi pergeseran karena dua hal. Pertama, jika PAN masuk kabinet, itu artinya ada kader partai lain yang harus diganti, dan pergantian itu memungkinkan adanya anggota parlemen dalam satu koalisi yang resisten.
Kedua, kemungkinan anggota parlemen dari KIH tidak satu suara, ini pernah terjadi pada koalisi pemerintahan SBY ketika DPR memutuskan perkara Bailout Century. Kemungkinan sebagian anggota DPR dari PAN tidak satu suara juga bisa terjadi mengingat posisi 'dua kaki' PAN antara yang ada di kabinet dan yang ada di koalisi oposisi. Dalam konteks itu, politik Indonesia mesti di pahami sebagai suatu dinamika kontestasi yang kompleks.
Dikutip dari:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/09/02/nu228z354-zulkifli-telah-lapor-ke-prabowo-terkait-sikap-pan-dukung-pemerintah
0 komentar:
Posting Komentar